Oleh: Dedy Hutajulu
Trenyuh hati saya mendengar kabar bahwa sebagian besar guru di zaman ini telah menakar nilai sebagai pendidik dengan uang dan kemutakhiran fasilitas. Fakta bahwa banyak sekali guru yang tak sudi mengajar bila digaji rendah tak terbantahkan. Dan tak sedikit yang merasa bahwa mendidik siswa miskin sebagai sebuah aniaya. Sebuah aib. Bagaimana ini?
Belum lagi menyandingkan berita di atas dengan fakta terkait pengangkatan guru-guru di daerah yang tak terkontrol, yang berakibat persoalan guru secara nasional semakin runyam, mulai jumlah guru, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diampunya hingga distribusi guru.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 873.650 guru SD hingga SMA/SMK “berani benar” mengajar mata pelajaran yang tak sesuai dengan latar belakang ilmu atau ijazahnya (mismatch). Data kemendiknas menunjukkan ketidaksesuaian ilmu guru dengan pelajaran yang diampunya pada jenjang SMA sekitar 49,24 persen dari total 252.947 guru, di jenjang SD ada 34,8 persen dari total 1,55 juta guru SD, dan 31,49 persen dari total 166.881 guru SMP, serta 22,68 persen dari total 40.208 guru SMK (kompas, 18-20 juli). Tentu, kondisi guru yang banyak mismatch ini berpengaruh besar pada kualitas pembelajaran.
Seperti kita tahu, peran guru sangat strategis dalam mewujudkan pendidikan berkualitas. Untuk itu, persoalan ini harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, karena kondisi guru yang tak sesuai dengan disiplin ilmu berpengaruh besar pada kompetensi guru. Jadi, sangat relevan gugatan Sidharta(dalam tulisanya di harian kompas, 22/7) saat menjulurkan tanya pada hati nurani kita, para insan yang dikaruniai sang Khalik talenta dan kesempatan mendidik anak, “generasi macam apa yang akan kita lahirkan dari pendidik yang mengerami paham ‘nihil idealisme’ dan ‘sepi pergulatan batin’ sebagai pendidik?
Di tengah gempuran pemikiran yang sarat pragmatisme serta luapan arus dehumanisasi yang menggerus jiwa paedagogig para pendidik, semestinya kita belajar seperti Sidharta yang berani tampil beda sembari berkarya melawan arus konsumerisme dan pragmatisme pemicu lumpuhnya profesionalisme dan kompetensi guru.
Lumpuhnya profesionalisme guru dikarenakan para calon pendidik sedari awal tak punya motivasi yang tinggi dan telah kehilangan semangat untuk menjadi guru. Menurut pengamatan saya, mahasiswa yang jebol di jurusan pendidikan umumnya adalah pilihan kedua dan ketiga. Yang memilih menjadi guru sejak awal bisa dihitung dengan jari. Di lingkar yang lebih luas kita bisa saksikan bagaimana lembaga-lembaga pencetak guru (LPTK) masih kurang serius memperlengkapi mahasiswa calon guru, akibatnya susah menemukan calon pendidik yang militan dan rela hati mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan.
Lain lagi cerita sertifikasi guru. Sertifikasi yang diharap sebagai jalan untuk memacu perbaikan kualitas guru, kenyataannya tak menghasilkan apa-apa, malah menjadi ajang sandiwara bagi para begundal pendidikan. Salah kaprah mengharap reformasi guru terjadi dengan jalan sertifikasi sementara substansi rekrutmen tidak menjadi titik perhatian serius para stakeholder. Rekrutmen terhadap guru seharusnya mengedepankan kualitas daripada fokus terhadap kesejahteraan guru, meskipun kesejahteraan terhadap guru tak boleh diabaikan.
Ironisnya, perbincangan mengenai kompetensi guru tidak menjadi diskursus yang menarik bagi pemerintah. Maklum, pemerintah lebih doyan terhadap masalah yang menyangkut eksistensi kekuasaan ketimbang masa depan pendidikan sehingga enggan menggubris masalah yang menyangkut guru. Pemerintah malas dan tak loyal (ekspert) dengan pendidikan. Terbukti dari keseriusan pemerintah mengakomodasi setiap masalah pendidikan yang cenderung menyederhanakan masalah dengan cara menutupi isu pendidikan dengan isu lain seperti masalah Nazaruddin atau isu korupsi lain.
Pemerintah juga lebih ekspert terhadap perhelatan politik busuk dan candu korupsi ketimbang mengurai masalah guru dalam kaitannya memajukan pendidikan. Tak perlu kaget bila PGRI menilai bahwa dalam dua tahun terakhir ini tak ada kemajuan berarti dalam pendidikan. Justru, muncul banyak persoalan, mulai dari laporan keuangan kementerian pendidikan nasional yang ditolak, penyaluran bantuan operasional sekolah yang selalu tersendat, hingga pembayaran tunjangan profesi dan fungsional guru yang kabur (Kompas edisi 18 juli 2011). Sejak awal memang tak ada niat dan kesungguhan hati membangun pendidikan.
Fungsikan sesuai fungsi
Berdasarkan kacamata UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pendidikan pada hakikatnya memandang anak sebagai manusia yang seutuhnya, subjek bukan objek didik, sehingga perlu diusahakan dengan baik dan terencana. Sesuai dengan prinsipnya memanusiakan manusia, pendidikan membutuhkan sentuhan tangan-tangan manusia bertalenta yang terampil membawa setiap anak mengenali dirinya sebagai manusia yang seutuhnya dan menjadi berarti saat berinteraksi dengan lingkungan dan sosialnya.
Untuk memanusiakan manusia, pendidikan yang humanis menjadi media pembebasan jadi pertaruhan. Selain itu, pendidikan juga mesti mencerdaskan. Pendidikan yang mencerdaskan itu adalah pendidikan yang dijalankan dengan mengadopsi kearifan lokal untuk membangun kultur, moral dan jiwa yang dinamis pancasilais.
Tanpa pelibatan kearifan lokal dalam pembelajaran, pendidikan itu menjadi abstrak, atau sesuatu yang sulit dimengerti, dicerna dan dipahami. Padahal, pendidikan itu harus realistis yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Sehingga pendidikan menjadi alat untuk mmebangun pola pikir manusia untuk memecahkan masalah kebangsaan.
Jadi, sulit rasanya membayangkan suasana proses pembelajaran dimana guru mengajar secara mismatch. Belum lagi ia harus menguasai materinya, jadi bagaimana ia bisa menciptakan pembelajaran yang menyenangkan? Apakah ia masih layak disebut sebagai guru yang humanis, sedang ia telah mengajarkan muridnya berlaku tidak fair karena berani mengajarkan yang diluar batas kompetensinya? Bagaimana caranya membentuk cara berpikir, cara pandang, nilai-nilai, keyakinan, sifat dan karakter unggul murid secara efektif sedang gurunya sendiri tak memberi teladan yang baik dalam prinsip, cara pandang, nilai-nilai serta karakter.
Relevansi adagium, the right men in the right place mendapat tempat yang tepat di ruang pendidikan saat ini. Tiap guru hendaklah bersikap fair dengan mengajarkan materi yang diampunya. Karena dengan materi yang diampu, semestinya guru mampu memngkombinasikan pengajaran yang menarik. Selain itu, dibalik itu ada tanggung jawab moral yang harus diperhatikan, yaitu mendidik dan menanamkan nilai-nilai pancasila sebagai modal bagi sianak untuk memberantas kuasa jahat seperti benih korupsi, kebohongan, perjudian, diskriminasi dan kemunafikan di bangsa ini.
Jika guru mismatch masih marak bagaimana mungkin rencana besar memberantas kebodohan dan ketidakberdayaan bisa terwujud? Ketidakkonsistenan pada disiplin ilmu penyebab gagalnya proses pembentukan generasi menjadi agen perubahan. Kerja asal-asalan hanya akan mendatangkan keburukan. Tugas guru tidak sekedar mengajar tetapi mentransfer transfer ilmu secara ilmiah dan demokratis. Jadi, kalau seorang guru mengajarkan materi yang tidak diampunya sama saja ia telah mengajarkan diskriminasi dan menjadi anti demokrasi.
Kita mendorong pemerintah supaya serius menangani masalah ini dengan beberapa cara, (1) Hentikan komersialisasi pendidikan dan berantas korupsi di bidang pendidikan; (2) penataan guru harus segera diindahkan. Apalagi sekarang ada Undang-undang guru dan dosen yang seharusnya menjadi kompas dalam berbenah menentukan kualitas guru memperbaiki kualitas guru yang muaranya demi kemajuan pendidikan; (3) LPTK harus berbenah diri.
Terakhir, pemerintah daerah mesti serius dalam menangani distribusi guru, agar terjadi pemerataan guru di tiap wilayah. Jika tidak akan terjadi penumpukan guru di kota tetapi sulit merotasi guru lintas kota. Bila tak disikapi serius, bersiaplah melihat pemandangan tak elok: kelas gado-gado. (Penulis guru matematika SMA di Medan dan bergiat di komunitas Perkamen)
Komentar