Langsung ke konten utama

P-A-R-B-A-D-A



Oleh : Dedy Hutajulu


Dalam bahasa Batak, disebut Parbada bila seseorang itu amat cerewet, pemurka, dan suka bertengkar dengan kadar kecerewetan dan pertengkarannya di luar batas, sampai-sampai hanya gara-gara hal kecil nan sepele meledak perang mulut yang disulut dendam kesumat. Dan tak jarang pertengkaran itu biasanya dilandasi motivasi-motivasi tidak benar seperti perebutan kekuasaan.
Ironisnya, pertengkaran itu justru harus mengorbankan kesenangan orang banyak dan kerap menyita waktu, pikiran, perhatian, dan mengusik nurani orang-orang tak dekat. Sedang orang-orang yang berdiri diluar garis pada awalnya sesungguhnya tidak ada niat sama sekali untuk mencampuri yang bukan urusannya. Namun siapa tak akan bergeming bila nuraninya sudah terusik?
Kicauan M. Nazar memang tak berarti apa apa bila kita tak menceburkan diri pada berita politik. Toh, ada segudang pekerjaan lain yang bisa mengalihkan perhatian. Misalnya, rutinitas harian, urusan rumah tangga, masalah kantor, tugas-tugas kuliah, menonton sepak bola antar kampung, mengajari si kecil mewarnai gambar, menyapu halaman, dll, yang semuanya itu jauh lebih menyenangkan dari pada larut pada kasus Nazar.
Dengan mematikan tv atau radio, menutup koran, mengganti bahan diskusi barang kali perhatian kita bisa terfokus pada hal-hal yang jauh lebih berharga. Tapi, sebagai orang timur yang menghargai budaya dan peduli pada bangsa, meski kita tak tahu siapa yang benar siapa yang salah, omongan siapa yang patut dipercayai dan siapa yang harus dicurigai, kitapun merelakan diri merespon berita moral rendahan itu sembari mengusap dada. Respon kita paling tidak dengan berkomentar positif dan kalau boleh jangan sampai memaki-maki.
Sebab sudah tabiat Parbada senang melempar isu, menabur kontroversi, mengumbar janji, saling menyerang dengan makian dengan satu harapan: menumbangkan lawan dan semua pihak yang dianggap berpotensi menjadi ancaman meski harus menjadi bulan-bulanan masyarakat. Akibatnya, tak jarang pertengkaran itu merembas kemana-mana, menggelinding bagai bola menyeret sejumlah nama serupa nyanyian ‘nazar’.
Si Nazar boleh saja dibilang: Parbada kelas kakap. Cermati kicauannya di media maka borok partai Penguasa menguap bagai ‘tahi sapi’ dijerang matahari. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut-nyebut nama kawan-kawan seperjuangannya, Angelina Sondakh, Nirwan Amir dan Anas ketua PD beserta uang negara yang dikongkalikong. Bahkan, di TvOne pernah pula diwawancarai sopirnya soal uang dan mobil box serta hotel tempat persinggahan sebagai bagian dari skenario aliran uang dari tangan gaib satu ke tangan gaib lain.
Ada banyak Parbada di nusantara negeri ini. Mereka tentu saja elit politik yang doyan bicara seenak perutnya persis seperti kodok berpesta pora di kala bumi diguyur hujan tanpa peduli nasib rakyat. Hebatnya para Parbada ini, mereka piawai mengguncang stabilitas politik dengan taktik inflasi omongan yang dilakukan secara profesional. Alhasil, keahlian mengumbar kontroversi seperti ini dijamin ampuh membuat pemerintah gonjang-ganjing.
Coba bayangkan, gara-gara ‘nyanyian’ satu politikus saja, bangsa sebesar Indonesia yang dibingkai dari Sabang sampai Merauke tercemar di mata bangsa-bangsa lain. Apa pasal? Omongan yang kebenarannya diragukan itu telah mengunggap ketakberdayaan pemerintah menyelesaikan kasus korupsi. Semburan omongan nazar juga telah membuat partai penguasa seperti kambing kebakaran jenggot. Bahkan, lembaga anti korupsi pun mulai terusik.
Tak bisa dipungkiri bila beberapa personil KPK seperti nama Ade Raharja, M Yasin, bahkan Busyro kelak akan diperiksa gara-gara omongan Nazar. Sosok-sosok yang selama ini dimata kita jadi panutan kini secara perlahan kepercayaan itu mulai menguap seiring kinerja KPK yang kian stagnan.
Tak sampai di situ, hamburan uang negara bernilai ratusan trilyun rupiah yang tiap hari beritanya diputar-ulang di tv terkait kasus nazar bukan menjadi kabar gembira bagi 4.800.000 juta jiwa anak-anak terlantar. Meski negara menyelimuti mereka dengan pasal 34 UUD 1945 tapi kenyataannya bumi tetap saja dingin. Hamburan uang itu semakin mempertegas betapa tak berpihaknya negara bagi mereka. Jumlah uang yang besar yang dikorupsi sebesar gajah bengkak itu semakin menebalkan rasa kecewa di rongga dada mereka, anak-anak jalanan yang sekarat, terabai,dan terpinggirkan.
Untung saja, anak-anak yang diterlantarkan negara ini memaklumkan berat kerja pemerintah. Jadi, mereka tak menuntut hak ini dan hak itu. Justru, selarik doa yang tulus mereka menaikkan membubung menembus segala langit: doa untuk presiden dan pemerintah supaya tetap sehat sehingga bisa bekerja memutar roda pemerintahan dengan harapan kelak akan menolong nasib mereka.
Nazar dengan Marzuki Alie setali tiga duit: sama sama Parbada. Dengan mengatasnamakan demokrasi, Marzuki kerap berkata sembrono. Ia bahkan menjadi top skor tokoh paling kontroversi dengan mengoleksi tujuh pernyataan kontroversial sejak ia dilantik Oktober 2009. Pernyataan kontroversi itu antara lain: Pernah ia mengatakan bahwa “salah korban Tsunami Mentawai sendiri, kenapa mereka tak mau mengungsi ke daerah lain, sehingga mereka terkena Tsunami Mentawai”.
Ia juga pernah bilang bahwa salah TKI jika mereka tersiksa karena itu akibat kebodohannya (TKI). Begitulah komentar yang tanpa rasa keadilan itu meluncur bebas dari tenggorokan Marzuki Alie. Dan makin menjadi-jadilah ketua DPR kita itu. Soal pembangunan gedung mewah baru DPR, serta fenomena ulat bulu di Jawa, komentarnya amat sembrono.
Kali ini, politikus PD tersebut melontarkan gagasan pengampunan bagi koruptor sekaligus juga mengumbar opini bahwa “kalau KPK tidak lagi bersih buat apa dipertahankan, lebih baik dibubarkan saja” hanya lantaran beberapa komisioner KPK menjadi tertuding karena meyelewengkan wewenang.
Tak pelak, wacana pembubaran KPK menjadi ramai dibicarakan orang di tengah isu besar penyelamatan bangsa dari korupsi. Aneh, bukannya memberi penguatan dengan memberi semangat kebangsaan bagi KPK, ketua wakil rakyat ini malah menjatuhkan harapan rakyat dengan mewacanakan pembubaran KPK .
Ucapan-ucapan usilnya itu sangat menyakitkan hati rakyat. Benar bahwa tak ada satu rungpun di bumi Indonesia ini yang benar-benar bersih dari korupsi. Namun, dari semua lembaga penegak hukum hanya KPKlah yang dinilai paling bersih. Wajar saja bila banyak orang yang tidak sepakat dengan pandangan tersebut.
Mungkin saja ada banyak nazar-nazar lain. Dan tak menutup kemungkin jika ada banyak Marzuki Alie-marzuki Alie negeri ini. Apakah itu yang sedang bercokol di kursi pemerintahan atau yang sedang duduk santai di bangku antrean calon wakil rakyat 2014-2019 mendatang. Cermatlah kita.
Cukuplah sampai disini sakit hati kita pada sikap para pemimpin kita. Pelajaran berharga dari kasus Nazar dan pernyaataan kontroversi Marzuki Alie ini mesti kita petik. Kita tak sudi bangsa ini dipimpin oleh para Parbada. Bangsa ini hanya layak dipimpin dengan orang-orang pilihan. Pemimpin berhati mulia. (Penulis ketua Perkamen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P