Langsung ke konten utama

Lagi-lagi Profesor Plagiat


Oleh: Dedy Hutajulu

Plagiarisme kembali mengangkangi dunia akademik kita. Dunia tempat dimana harapan akan kejujuran bisa disemai dengan baik. Setelah berulang kali jatuh bangun, kini kembali ternoda. Satu lagi kasus yang menyentak jiwa perguruan tinggi kita itu datang dari Riau. Seorang Guru Besar Universitas Riau, Profesor II terbukti memplagiasi buku Budaya bahari karya Mayor Jenderal (Marinir) Joko Pramono, terbitan Gramedia tahun 2005 dengan bukunya, Sejarah Maritim, (kompas, 24/8). Maka, kasus ini menambah bopeng di wajah pendidikan kita
Padahal, dikabarkan bahwa Profesor II termasuk dalam bilangan penulis produktif karena ia telah menorehkan namanya dalam rekor MURI sebagai penulis yang mampu melahirkan 66 buku dalam waktu 5 tahun. Dan buku Sejarah Maritim termasuk dalam ke-66 buku yang mendapat penghargaan itu. Prestasi yang luar biasa itu kini dirusak oleh plagiarisme. Memalukan, bukan?
Plagiarisme sungguh tak mudah dihindarkan. Kita perlu berkaca pada pengalaman masa lalu bagaimana plagiarisme berkali-kali berhasil menjatuhkan martabat dunia perguruan tinggi kita. Sebut saja, AR, dosen pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Gorontalo yang terbukti dua kali menjiplak karya tulis orang lain. Pertama: tulisan asli karya bung Dion Eprijum Ginanto dan kedua, tulisan bung Muh Rizal Siregar. Padahal, AR sendiri selama ini dikenal aktif menulis di berbagai media dan menjadi contoh bagi dosen lain (kompas, 3/6/11).
Contoh lain yang akan menguatkan ingatan kita pada plagiarisme tak henti-hentinya menyergap kaum pendidik dan penulis. Kasus plagiat seorang guru besar Hubungan Internasional Universitas Parahyangan menjiplakan terhadap tulisan Carl Ungerer, asal Australia. Tulisan itu dipublis sang profesor di The Jakarta Post (kompas, 10/2/2010).
Nah, para plagiator yang kita sebut dimuka, seperti lalai berpikir panjang. Mereka mengambil keputusan yang salah dan tak mengindahkan nurani mereka sendiri sehingga pragmatisme telah merenggut karirnya di kemudian hari. Mereka lupa nasehat orang tua “Nila setitik merusak susu sebelanga”.
Dari tiga contoh di atas, ada satu benang merah yang bisa kita tarik: tak ada yang kebal dari sengat plagiarisme. Orang pintar bahkan penulis yang piawai sekalipun tak lepas dari serangan plagiarisme. Namun, bukan berarti daya pikatnya tak bisa dilawan. Maka, kita harus berhati-hati, seperti kata orang bijak, jangan bermain-main dengan api.
Nah, kita semua jangan bermain-main dengan plagiarisme. Sebab, sekali api plagiarisme disulut di kampus, masa depan dunia akademik kita bisa hangus-binasa. Kita harus menyadari bahwa praktik jiplak-menjiplak itu justru telah tumbuh subur di kampus-kampus, tempat yang kepadanya dititip asa untuk mencetak agen-agen perubahan, manusia-manusia pemimpin, orang-orang yang berhati mulia yang kelak mampu membangun bangsa Indonesia ini.
Oleh sebab itu, maraknya fenomena plagiarisme patut kita perangai. Perlu upaya keras dan konsistensi yang tinggi untuk memerangi penyakit bermental ‘serba instan’ ini dalam dunia pendidikan kita, khususnya di perguruan tinggi tempat paling strategis melestarikan benih-benih kejujuran di kalangan anak muda. Terlebih, di tengah era penelitian yang kian kompetitif dewasa ini yang menuntut kemampuan memproduksi karya tulis ilmiah berkualitas.
Kita tak bisa mengelak dari akselerasi peradaban. Zaman kini menuntut kualitas, akurasi, kecepatan, dan kemandirian. Kita harus mengedepankan kualitas. kualitas—baik dalam segala bentuk—harus menjadi lencana. Sebab, tanpa kualitas, yang pemula (amatir) dan yang tidak berkualitas rentan terdepak dari kompetisi. Itulah yang membuat para plagiator harus siap terjungkal dan tersingkir dari dunia akademik.
Dunia akademik harus dipelihara dengan baik agar jauh dari jangkauan penyakit menjiplak ini. Di kampus harus dibiasakan pelatihan-pelatihan menulis. Bahkan seharusnya pelatihan menulis perlu diajari sejak di bangku sekolah. Sebab, pelatihan menulis efektif menumbuhkan sifat kejujuran dan kepercayaan diri bagi tiap orang.
Dunia tulis menulis adalah ajang melatih diri berbicara apa adanya (jujur), menuliskan pikiran diri sendiri (orisinil), mengasah nurani dan menajamkan kekritisan. Sedang originalitas (keaslian ide) itu sendiri erat kaitannya dengan kemandirian berpikir dimana hanya orang-orang yang mampu berpikir mandirilah yang bisa memproduksi ide-ide orisinal. Dan kemandirian itu sendiri dicetus oleh otak-otak yang terasah, teruji, terlatih untuk berpikir setiap hari. Berpikir pada hal-hal yang baik, yang mulia, yang suci yang berguna bagi orang banyak. Orang yang mampu berpikir diluar kemampuan orang banyak, out of the box.
Melalui kasus ini kita belajar bahwa siapa yang naik dengan menipu, ia akan diturunkan dengan cara memalukan. Ungkapan ini pas untuk mencermati kasus-kasus plagiat yang terus bermunculan. Betapa tidak, beberapa nama yang kita sebut di muka, mereka ‘jatuh’ karena awalnya mereka tenar karena menipu banyak orang dan mengangkangi martabat pendidikan demi prestise, ambisi, dan reputasi—dan mungkin juga karena uang, maka sudah waktunya mereka diturunkan dari ‘ketenarannya’ itu.
Betapa berlipat ‘kejatuhan’ itu sesungguhnya, karena ternyata mereka yang tersandung plagiarisme itu umumnya para pendidik sekaligus penulis yang produktif. Para pendidik yang sehari-harinya mengajari murid-muridnya berlaku jujur sekaligus para penulis yang sehari-harinya menggemakan untuk menulis dengan integritas. Tapi, runtuh sudah segala teladan roboh segala kemuliaan.
Jadi, kampus-kampus seriuslah mewaspadai bahaya plagiarisme ini. Langkah konkret yang urgen dan esensi dilakukan adalah membuka kelas-kelas menulis dan konsisten melatih menulis. Dengan begitu, pelatihan menulis secara progresif akan melahirkan generasi-generasi kompetitif di kancah nasional, regional maupun internasional.(Penulis bergiat di Perkamen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I...

Menunggu Langkah Progres Timur Pradopo

Oleh Dedy Hutajulu “Congratulation pak Timur Pradopo. Semoga sukses menakhodai kepolisisan di negeri ini, segala harapan kami dipundakmu sang Jenderal. Kami (rakyat) kini menanti kepemimpinanmu”. Demikianlah gema harap dan ucapan selamat masih terus mengalir dari hati-ke-hati, meski proses terpilihnya bapak Timur sebagai Kapolri baru sarat dengan kontroversi. Namun, meski demikian (sarat kontroversi), siapapun yang terpilih berhak mendapat kesempatan itu. Timur Pradopo sudah dilantik menjadi Kapolri baru. Begitu beliau menanggalkan jubah lamanya, dan telah mengenakan jubah barunya, maka segala harapan rakyat terkait tugasnya, melekat dalam jubah baru yang dikenakannya saat ini. Seiring dengan itu, segala restu, doa, harap senantiasa menyertai hari-hari kapolri baru kita ini. Sederet Tugas Kapolri Dengan terpilihnya Timur sebagai kapolri bukan berarti semua masalah lantas berakhir, seperti riak kontroversinya yang kini tinggal sayup-sayup. Sederet panjang nan berat tugas untuk k...