Oleh: Dedy Hutajulu
Patut dicermati baik-baik hasil penelitian LSM Imparsial yang melansir analisis ketidakpuasan publik terhadap kinerja kepolisian RI. Survey ini mengambil sampel 500 responden masyarakat DKI Jakarta yang diambil secara acak. Pencarian data dilakukan hampir satu bulan (sejak 17 Juni hingga 4 Juli 2011).
Tak tanggung-tanggung, dari hasil survey diperoleh 61,2 persen publik tidak puas dengan kinerja kepolisian. Sebanyak 33,4 persen diantaranya menyatakan puas, dan 5,4 persen lainnya mengaku tidak tahu.
Dari sejumlah pencapaian polisi, publik menilai pencapaian paling memuaskan ialah penanganan terorisme, yaitu sebanyak 67,09 persen. Tetapi 78,4 persen menyatakan tidak puas dengan penanganan korupsi yang dilakukan oleh polisi. Penanganan persoalan lain seperti korupsi, premanisme, penegakan hukum dan hak asasi manusia, narkoba, lalu lintas, serta pencurian kendaraan bermotor mayoritas menyatakan ketidakpuasannya (kompas, 19/7).
Dengan kata lain, pencapaian polisi yang dianggap berhasil oleh masyarakat hanyalah penanganan terorisme. Kinerja lainnya belum menunjukkan adanya reformasi di tubuh Polri. Jadi, patut disikapi serius.
Reformasi yang selama ini didengung-dengungkan yang diyakini sebagai jalan membawa perubahan, implementasinya masih jauh dari harapan. Reformasi bahkan tak berarti apa-apa karena dikerjakan dengan nihil kesungguh-sungguhan. Masyarakat menilai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di tubuh kepolisian masih terus terjadi. Berdasarkan analisis ini, fencing mencolok ialah praktek KKN pada pembuatan SIM (75,8 persen responden percaya kepolisian terlibat dalam korupsi pembuatan SIM).
Walau pengukuran hanya dilakukan di Jakarta, tetapi survey ini layak menjadi bahan pertimbangan bagi kinerja polisi di daerah lain. Adapun maksud dan tujuan dipublikasikannya hasil survey ini antara lain: Pertama, sebagai barometer atas kinerja kepolisian di tanah air. Hasil analisis LSM Imparsial ini layak dijadikan sebagai cermin bening bagi kepolisian untuk berbenah diri dari luar dan dalam. Memperbaiki kinerja secara total, terintegrasi, dan menyeluruh jangan lagi ditangguhkan.
Dalam keadaan seperti ini, kita jadi merindukan sosok Hoegeng, polisi anti sogok yang hidup di zaman Soeharto. Selama bertugas, polisi Hoegeng getol memperjuangkan institusi polri agar bersih dari korupsi dan dari segala jenis penyimpangan. Kapolri zaman Soeharto ini berani bahkan berani memeriksa menteri yang tersangkut dugaan korupsi. Dan tak sedikitpun nyalinya ciut meski ia kerap berseberangan dengan Soeharto. Meski sosok Hoegeng belum juga lahir dari ‘rahim’ kepolisian, tapi masyarakat masih menaruh harap pada kredibilitas Polri.
Polisi semestinya berterima kasih kepada LSM Imparsial yang peduli dan tetap konsisten memperhatikan institusi kepolisian. Hasil survey mereka bukan semata-mata hendak menjatuhkan citra dengan membuka borok kepolisian, tetapi lebih didasari oleh rasa kecintaan kepada instansi kepolisian dan nasib masa depan penegakan hukum di tanah air.
Kedua, survey ini juga hendak mengingatkan kita (masyarakat) untuk tetap menjadi mitra kerja polisi dalam memerangi korupsi dan memberantas kejahatan. Konsistensi kita akan sangat membantu kinerja kepolisian.
Amat tidak elok bila kita hanya mengingat segala keburukan saja, tetapi sisi positif kepolisian juga perlu kita apresiasi. Masih ada sejumlah kelebihan dan beberapa pencapaian keberhasilan yang telah ditorehkan kepolisian RI, misalnya dalam penanganan terorisme ini polisi berhasil mencetak rekor gemilang. Karya nyata Densus 88 dalam menekan dan memberantas terorisme memang patut diacungi jempol.
Di lain sisi, kita mesti berbangga hati memiliki kapolda yang baru, Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro yang siap mengabdikan diri bagi rakyat, khususnya masyarakat Sumut. Kita juga harus mendukungan kiprah Kapolda Wisjnu Aji. Dibawah kepemimpinannya yang baru seumur Perjudian dan premanisme di Medan kini mulai berkurang. Bahkan, pak Kapolda Wisnu telah berkomitmen: siap mempertaruhkan jabatan demi tegaknya kebenaran dan keadilan di Sumut (Analisa, 28/3).
Bukan cuma itu, beliau juga berjanji tidak akan segan-segan menindak anggotanya jika terbukti terlibat melakukan penyimpangan. Kelihatannya, perwira bintang dua ini cukup jeli memilih dan memilah mana masalah urgen (genting) dan mana masalah important (penting). Komitmen seperti inilah yang kita ingin saksikan terjadi di Sumut.
Maka angka 78,4 persen ketidakpuasan public terhadap penanganan korupsi diharapkan ke depan bisa kempis sekecil-kecilnya. Begitu pula angka 78,4 persen ketidakpuasan di bidang penegakan hukum dan 58 persen bidang HAM harus menurun signifikan. Sementara 53,2 persen ketidakpuasan terhadap penangangan narkoba harus bisa ditekan sekecil mungkin. Apalagi, pak Kapolri Irjen Wisnju sendiri telah mengagendakan perang terhadap narkoba dan perjudian dimasa jabatannya.
Segala “ketidakpuasan” harus menjadi titik perhatian bagi kepolisian di hari-hari selanjutnya. “Ketidakpuasan” public itu harus ditafsir sebagai bentuk kekecewaan, kemarahan, dan keberingasan atas kinerja buruk polisi selaku pelayan masyarakat. Di sisi lain ketidakpuasan itu juga berarti pesimisme masyarakat atas kinerja yang asal-asalan tapi optimis terhadap kinerja yang solutif, komprehensif, dan progresif. Semoga kepolisian tetap bisa diandalkan memberantas segala jenis kejahatan. (Penulis ketua Perkamen)
Komentar