Langsung ke konten utama

Mewaspadai Kepungan Iklan Rokok


Pemeo: Sebagus apapun pesan yang disampaikan, lihat dulu siapa yang menyampaikan pesan itu. Pendapat ini rasa-rasanya penting dijadikan pisau bedah untuk mencermati pesan-pesan iklan yang berkembang belakangan ini, khususnya iklan rokok. Kalau Anda rajin menonton TV, anda pasti tidak asing lagi dengan iklan yang satu ini. Iklan yang disponsori oleh perusahaan rokok X.
Iklan itu bertutur tentang bahaya korupsi dan betapa korupsi sudah mengepung kita. Saking bahayanya, sampai-sampai otak mahluk yang bernama jin pun sudah terkorupsi. Padahal, konon, jin kerap diilustrasikan sebagai sosok yang menyeramkan dan menakutkan, bukan yang suka sogok-menyogok. Sekarang kok berbeda? Itu sebabnya iklan ini saya sebut sangat menarik.

Iklan itu benar-benar bagus luar-dalam, baik segi tampilan maupun isi. Namun, biarpun bagus, iklan itu sebenarnya sedang berusaha menggusur nilai kepekaan generasi muda saat ini. Coba simak dengan jeli iklan tersebut. Begini. Jin, "Kuberi satu permintaan. Monggo", kata si Anu, "Semua yang namanya sogokan, suap-menyuap lenyap dari bumi ini. Bisa jin?" tandas si Anu dengan segala harap, "Bisa diatur..." jawab jin dengan enteng sambil menggesek-gesek jarinya dengan jempol.

Penonton, khususnya anak muda berhasil dibuat terkesima, karena iklan mini itu sukses mendaratkan pesannya yang sangat kontras dengan realita hari ini. Bahwa korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, meski penonton berhasil disadarkan bahwa korupsi itu berbahaya, di saat yang bersamaan perusahaan rokok X itu malah sedang mendoktrin kita bahwa merokok itu menyenangkan. Padahal, itu barang haram juga.

Maka, apapun motif perusahaan tersebut, iklan yang disampaikan tak lain dan tak bukan, hanyalah untuk menginisiasi kaum muda agar tergiur merokok. Artinya, perusahaan rokok X itu sebenarnya tidak sedang peduli apakah kaum muda akan anti korupsi atau tidak. Apalagi, soal masa depan anak-anak. Mereka hanya sekadar prihatin atau sedang beriklan ria, karena bisnis rokok seumpama ladang yang hijau yang mampu meraup uang sangat besar.

Perusahaan rokok paham betul bahwa kaum muda adalah aset yang paling menjanjikan untuk dituai. Dan jalan masuk paling strategis adalah lewat jalur mengubah cara berpikir. Cara paling jitu adalah dengan menanam di benak kaum muda, bahwa merokok itu mengasyikkan. Dan rokok itu sendiri tidak berbahaya sama sekali. Nah, kalau sudah tertanam, perusahaan rokok tinggal menuai saja.

Itulah sebabnya, perusahaan rokok terus mengepung anak-anak dan remaja dengan rokok dan iklannya yang masif. Serangan itu ditujukan untuk menanamkan di otak generasi muda bahwa merokok itu baik. Tak sampai di situ saja, dengan iklan, perusahaan rokok telah berhasil menanamkan pandangan keliru bahwa yang tidak merokok akan merasa menyesal kalau tidak mengecap nikmatnya rokok. Inilah dampak buruk iklan yang masif.

Masifnya iklan rokok harus kita cemasi. Jika perusahaan rokok saja mampu membuat iklan tentang bahaya korupsi sebagai tindakan yang merusak moral bangsa, maka sebagai bukti kepeduliannya, seharusnya mereka juga perlu membuat iklan yang bernas tentang bahaya merokok dengan menanamkan ide bahwa merokok itu tindakan yang bisa merusak masa depan bangsa. Tapi, rasanya itu mustahil dilakukan.

Daripada terus menuding perusahaan rokok, lebih baik kita bercermin. Kitalah si pengiklan itu. Anda dan saya, yang gemar mengkritik orang lain, tapi di saat bersamaan justru menginisiasi kejahatan lain. Kita juga gemar menilai orang lain tapi abai berbuat baik bagi sesama. Ini adalah potret buram mentalitas bangsa kita.

Kita semua-tanpa kecuali-mestinya mampu mengimbangi gempuran iklan rokok yang membahayakan itu dengan meneladankan gaya hidup sehat tanpa merokok, supaya generasi kita bisa mencontoh. Kita harus serius mendidik anak berpikir jernih dengan menanamkan di mereka pandangan bahwa masa depan tidak sebanding dengan "nikmat rokok". (Dedy Hutajulu)

Penulis ketua Perkamen, tinggal di Medan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P