Oleh: Dedy Hutajulu
Tema lomba menulis kali ini, “Andai Saya DPD RI” menarik serta menggelitik untuk diulas. Menarik karena berandai-andai itu seru. Saya membayangkan posisi diri sebagai orang “besar”. Besar karena mewakili aspirasi banyak orang, yang tentu membesarkan nama saya sebagai “pelayan” rakyat. Tetapi, menggelikan karena bagaimana ya rasanya, mengemban tugas besar sementara saya tak ada niat sama sekali jadi DPD RI.
Tetapi menarik karena jika saya bisa berandai-andai jadi DPD, itu berarti saya juga bisa menjadi berandai-andai jadi DPR RI, jadi presiden, jadi Pimpinan KPK, atau jadi apa saja. Saya akan semeja dengan Abraham Samad. Dipandang ‘sekelas’ dengan orang-orang hebat, bergaul dengan para petinggi negeri ini, dicap sebagai ‘malaikat’ bagi 200 juta penduduk Indonesia. Tetapi, menggelikan karena menulis saja masih amatiran.
Soal berandai-andai, saya mungkin rajanya. Andai saya DPD, saya mau kelola SDA, SDM, dan budaya yang ada. Caranya, pertama, saya akan meninjau kampus-kampus pencetak guru. Saya akan kaji (tentu bersama tim atau LSM) mengapa guru-guru tidak berkualitas, juga mengapa anggaran pendidikan 20 persen tidak cukup untuk membuat pendidikan berkualitas dan maju.
Itu prioritas utama saya. Mengapa? Karena carut-marut pendidikan menyebabkan banyak persoalan bangsa. Kegagalan pendikan mencetak insane-insan cerdas rentan memperlambat gerak kemajuan bangsa. Pendididikan berkualitas mestinya mampu mencetak manusia-manusia yang mencerdaskan, memberdayakan, dan memperlengkapi sesamanya. Tentu pokok persoalannya adalah guru. Kualitas guru yang jauh dari harapan menjadi biang keladinya. Itu yang akan saya akan dorong lebih dulu.
Kedua, soal impor sembako. Persoalan ini kelihatannya sepele, tetapi bagi saya ini perkara sangat besar. Sebutlah, garam, gula, dan beras. Ketiganya selalu diimpor. Kenapa bisa? Padahal, kita punya sumber daya memadai baik alam maupun manusia. Ini akibat dikelola dengan tidak becus alias salah urus! Maka, saya akan upayakan bagaimana supaya produk-produk masyarakat lokal diberdayakan secara optimal. Dan meredam kekuatan produk-produk asing. Tentulah fungsi regulasi akan saya mainkan.
Ketiga, sigap turun ke lapangan. Kondisi-kondisi sebenarnya di daerah menjadi kewajiban DPD untuk mengetahuinya. Jadi, menjadi kewajiban saya sebagai utusan daerah untuk mengetahuinya secara detail dan cepat. Sikap tanggap cepat dan respon ligat harus ditunjukkan dalam melayani. Saya akan serap aspirasi rakyat secara terbuka. Bekerja sama dengan elemen-elemen terkait yang mendukung riset dan advokasi, analisa persoalan, agar kebijakan yang saya ambil tidak mengorbankan kepentingan masyarakat banyak. Selain itu, agar saya bisa merencanakan proposal secara matang dalam mengatur dana dan anggaran bagi projek-projek yang bertujuan untuk menyejahterakan.
Terakhir, tugas mediasi akan dengan senang hati saya lakoni. Saya lihat, fungsi ini belum dimaksimalkan para DPD RI. Beberapa DPD hanya turun ke lapangan lalu berfoto dengan masyarakat. Foto-foto dan pemberitaan di koran dikoleksi. Tapi, tindak lanjutnya tidak jelas seperti apa. Ini seperti fenomena gelembung sabun. Awalnya indah, kemudian ketika ditiup gelembung membesar dan makin membesarkan hati. Dan tiba-tiba pyarr. Pecah berkeping-keeping.
Awalnya janji DPD begitu manis membesarkan hati kita. Seiring waktu, belangnya kelihatan: kinerjanya mengecewakan. Fungsi mediasi acap kali dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitasnya, agar di kemudian hari kelak bisa mencalonkan diri merebut kekuasaan yang lebih besar. Gelitik kekuasaan yang menggiurkan, sulit untuk ditolak.
Nah, benarkan, saya bilang juga apa? Saya ini rajanya berandai-andai
Tema lomba menulis kali ini, “Andai Saya DPD RI” menarik serta menggelitik untuk diulas. Menarik karena berandai-andai itu seru. Saya membayangkan posisi diri sebagai orang “besar”. Besar karena mewakili aspirasi banyak orang, yang tentu membesarkan nama saya sebagai “pelayan” rakyat. Tetapi, menggelikan karena bagaimana ya rasanya, mengemban tugas besar sementara saya tak ada niat sama sekali jadi DPD RI.
Tetapi menarik karena jika saya bisa berandai-andai jadi DPD, itu berarti saya juga bisa menjadi berandai-andai jadi DPR RI, jadi presiden, jadi Pimpinan KPK, atau jadi apa saja. Saya akan semeja dengan Abraham Samad. Dipandang ‘sekelas’ dengan orang-orang hebat, bergaul dengan para petinggi negeri ini, dicap sebagai ‘malaikat’ bagi 200 juta penduduk Indonesia. Tetapi, menggelikan karena menulis saja masih amatiran.
Soal berandai-andai, saya mungkin rajanya. Andai saya DPD, saya mau kelola SDA, SDM, dan budaya yang ada. Caranya, pertama, saya akan meninjau kampus-kampus pencetak guru. Saya akan kaji (tentu bersama tim atau LSM) mengapa guru-guru tidak berkualitas, juga mengapa anggaran pendidikan 20 persen tidak cukup untuk membuat pendidikan berkualitas dan maju.
Itu prioritas utama saya. Mengapa? Karena carut-marut pendidikan menyebabkan banyak persoalan bangsa. Kegagalan pendikan mencetak insane-insan cerdas rentan memperlambat gerak kemajuan bangsa. Pendididikan berkualitas mestinya mampu mencetak manusia-manusia yang mencerdaskan, memberdayakan, dan memperlengkapi sesamanya. Tentu pokok persoalannya adalah guru. Kualitas guru yang jauh dari harapan menjadi biang keladinya. Itu yang akan saya akan dorong lebih dulu.
Kedua, soal impor sembako. Persoalan ini kelihatannya sepele, tetapi bagi saya ini perkara sangat besar. Sebutlah, garam, gula, dan beras. Ketiganya selalu diimpor. Kenapa bisa? Padahal, kita punya sumber daya memadai baik alam maupun manusia. Ini akibat dikelola dengan tidak becus alias salah urus! Maka, saya akan upayakan bagaimana supaya produk-produk masyarakat lokal diberdayakan secara optimal. Dan meredam kekuatan produk-produk asing. Tentulah fungsi regulasi akan saya mainkan.
Ketiga, sigap turun ke lapangan. Kondisi-kondisi sebenarnya di daerah menjadi kewajiban DPD untuk mengetahuinya. Jadi, menjadi kewajiban saya sebagai utusan daerah untuk mengetahuinya secara detail dan cepat. Sikap tanggap cepat dan respon ligat harus ditunjukkan dalam melayani. Saya akan serap aspirasi rakyat secara terbuka. Bekerja sama dengan elemen-elemen terkait yang mendukung riset dan advokasi, analisa persoalan, agar kebijakan yang saya ambil tidak mengorbankan kepentingan masyarakat banyak. Selain itu, agar saya bisa merencanakan proposal secara matang dalam mengatur dana dan anggaran bagi projek-projek yang bertujuan untuk menyejahterakan.
Terakhir, tugas mediasi akan dengan senang hati saya lakoni. Saya lihat, fungsi ini belum dimaksimalkan para DPD RI. Beberapa DPD hanya turun ke lapangan lalu berfoto dengan masyarakat. Foto-foto dan pemberitaan di koran dikoleksi. Tapi, tindak lanjutnya tidak jelas seperti apa. Ini seperti fenomena gelembung sabun. Awalnya indah, kemudian ketika ditiup gelembung membesar dan makin membesarkan hati. Dan tiba-tiba pyarr. Pecah berkeping-keeping.
Awalnya janji DPD begitu manis membesarkan hati kita. Seiring waktu, belangnya kelihatan: kinerjanya mengecewakan. Fungsi mediasi acap kali dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitasnya, agar di kemudian hari kelak bisa mencalonkan diri merebut kekuasaan yang lebih besar. Gelitik kekuasaan yang menggiurkan, sulit untuk ditolak.
Nah, benarkan, saya bilang juga apa? Saya ini rajanya berandai-andai
Komentar