AKU semangat sekali saat akan berangkat
ke Sidikalang, Jumat (23/4) kemaren. Karena, esoknya, akan bertemu dengan para siswa
SMA N 1 Lae Parira, untuk berbagi cerita.
Materiku sudah kusiapkan, berupa
poto-poto dan teks pendukung. Tinggal merampungkan sedikit lagi dan menyusunnya
jadi slide. Kerangkanya sudah lama kurancang. Bahkan perlengkapan selama di
sana juga sudah kuatur rapi di dalam ranselku. Sepotong kemeja dan celana
keper, oblong, dan kaos kaki. Jaket, buku, pulpen, charger henpon dan kamera.
Tak ketinggalan, buku catatan harianku.
Namun semangat itu tiba-tiba surut
akibat selembar amplop yang diberikan Yogi, sejawatku, ketika aku singgah ke meja
kerjaku di ruang redaksi kantorku. Isi amplop yang bikin semangatku merosot itu
adalah surat penugasan peliputan dari redakturku ke hotel Santika Dyandra
selama dua hari, Jumat dan Sabtu. Sialnya, tugas liputan itu bertabrakan dengan
jadwal keberangkatanku ke Lae Parira. Aku dilema.
Jika aku pergi malam itu, tugas
liputanku akan terbengkalai. Aku bakal
kena tegur lagi. Sekali telah dikenai surat peringatan pertama lantaran tak
meliput menteri Kominfo Tifatul pada Juni
lalu. Aku tak ingin kena SP lagi. Sebab, akan banyak sekali beban yang harus
kuhadapi.
Tapi jika kuliput, berarti aku akan
mengecewakan Panitia. Sebab, aku sudah mengiyakan permintaan panitia sejak dua
bulan lalu. Terlebih Ristauli Sianturi, rekanku di Campus-concern FE USU
menulis. Dialah yang mengusulkan namaku untuk jadi narasumber untuk seminar
itu. Tentu saja, Togar Manik, ketua panitia bakal sakit hati selamanya padaku
jika aku sampai tak datang.
Kebingunganku terjadi lantaran tiba-tiba
saja surat penugasan itu datang sementara agendaku sudah terjadwal rapi
jauh-jauh hari. Sialnya, saat kumintai tolong ke rekan-rekanku di kantor untuk
mengambil alih tugas ini, semuanya juga mengatakan tidak bisa. Dengan alasan berhalangan
ini-itu. Aku bahkan sampai memohon. Tapi hasilnya sia-sia. Aku tidak bisa
memaksa mereka, karena ini memang resiko pekerjaanku sebagai wartawan. Harus
siap ditugaskan kapan pun dan dimana pun.
Aku merasa menyesal datang ke
kantor sore itu. Sebenarnya aku ke sana cuma untuk menitipkan kereta, karena aku dan
Maruntung Sihombing berencana naik Sampri ke Sidikalang. Tapi entah kenapa aku
sempatkan memeriksa meja kerjaku dan bertemulah surat yang bikin kepalaku pening.
Dalam situasi pikiran penuh itu,
Rista berulang kali menelpon. Aku makin tak tenang, karena tak tahu harus
menjawab apa jika panggilannya kuangkat. Malam itu, redakturku juga belum datang,
sehingga tidak bisa mendiskusikannya langsung. Redaktur baru datang sekitar
pukul 9 malam. Sementara bus ke Sidikalang mungkin sudah tidak ada lagi kalau
lewat jam 9.
Akhirnya kuputuskan ke Santika
Hotel untuk meliput tugas dari redaktur itu. Lalu cepat-cepat menuliskan
laporan dan menyetornya ke meja redaksi. Kutunggu-tunggulah sampai Bang Rizal,
asisten Redakturku. Begitu dia datang, segera kusampaikan kerisauanku. Syukur,
ia respek dan merestui kepergianku ke Parira.
Aku melonjak girang begitu keluar
dari pintu kantor. Aku dan Maruntung gegas pulang ke kosku di Pancing. Karena
sudah pukul 10 malam, kami putuskan besok pagi saja berangkat. Malam itu, Rindu
Hartoni Capah juga tiba di Medan. Ia praktek mengajar (PPL) di SMP Galang,
Sergei. Kami bertiga bertemu di Simpang Aksara sambil minum bandrek susu. Rindu
juga mau ikut besok. Semangatku bangkit lagi.
***
AKU BANGUN PUKUL 4 PAGI. Semangat
untuk ke Sidikalang benar-benar membuatku nyaris tidak bisa tidur. Aku sudah
tak sabar pergi. Rindu dan Maruntung masih pulas. Kutarik kelambu dan selimut
mereka secara paksa supaya mereka bangun. Lalu kami segera berangkat.
Kami sempat kewalahan menitipkan
kereta ketika sudah di Padang Bulan. Kami kontak kawan-kawan untuk tempat
menitipkan kereta. Ternyata tidak mudah. Sampai pukul setengah 6 baru ada kawan
yang bisa dikontak.
Namanya Chandra Haris Lubis, eks se-kosku 4 tahun lalu. Kereta
kami titip ke dia. Pukul 6 barulah kami benar-benar sudah duduk di bus yang
membawa kami ke Parira, tempat pelabuhan semangat untuk hari ini.
Perjalanan lancar. Makan waktu 4
jam sampai di loket, di kota Sidikalang. Dari sana kami dijemput naik inova
langsung ke sekolah. Hanya makan waktu 15 menit. Begitu mobil yang membawa kami
memasuki kawasan sekolah, sekelompok siswa berseragam putih abu rook dan
putih-putih berdiri di pintu masuk menunggu kami.
Sepanjang jalan menuju sekolah
benar-benar rapi-bersih, bahkan tembok-tembok pagar sekolah dicat kuning. Dari
penuturan Beny, anggota panitia, rekan sopir kami, itu cat disumbangkan pejabat
dari salah satu partai besar, yang logonya Pohon Beringin.
Memasuki halaman sekolah, aku
melihat ratusan siswa dan guru duduk manis di kursi mereka. Mendengarkan
ceramah dari pemateri yang belakangan kuketahui seorang dokter. Di bawah
tenda-tenda kuning itu para siswa tampak kelelahan. Di situ baru aku sadar, ternyata,
seminar bukannya digelar di gedung serbaguna, melainkan di ruang terbuka.
Panitia menyambut kami dengan
hangat. Kami dibawa ke ruang tata usaha,
karena jadwalku naik panggung baru pukul
2. Kumanfaatkan waktu itu untuk mengobrol dan merapikan slide. Selagi menata
slide, kudengarkan alasan para orangtua siswa kenapa tidak menguliahkan
anak-anaknya. Jawaban mereka klasik: ekonomi tidak sanggup.
Padahal, dari penuturan panitia,
serta anak-anak itu orang tua mereka tidaklah terbilang miskin. Sawah mereka
luas-luas. Ladang mereka juga ada.
Jadi, sungguh tak masuk akal alasan itu. Persoalan
mendasar Cuma satu: pola piker orang tua yang mengangap kuliah itu akan
menghabiskan duit banyak. Dan tak terlalu menguntungkan kalau pun anaknya nanti
sarjana. Bagi para orangtua di sana, cukuplah anaknya tamat SMA lalu pergi merantau.
Mandiri. Tanggungan berkurang. Ini menyedihkan.
Di sisi lain, mereka juga ingin
anak mereka bisa PNS (pegawai), anehnya anaknya tak dibekali pendidikan
sewajarnya (sarjana) supaya nanti pantas jadi abdi negara.
Pemikiran demikian
benar-benar perlu diubahkan. Bagian itu disasar oleh si dokter yang tak
kukenal. Sayang paparannya ada yang tidak ramah ditelingaku. “Suatu hari nanti,
bila sudah jadi sarjana teknik, kalian tak perlu berbangga hati bisa kaya-raya
dari berdagang. Karena itu tak sesuai dari bidanggarapan kalian.” ujar si
dokter.
Pendapatnya itu sama sekali tidak
bisa dibenarkan walau juga tidak salah. Menurutku, bolehlah orang senang kaya
dari berdagang atau dari pekerjaan apa pun itu—sepanjang sehat dan positif—walau
bertolak belakang dari ilmu kesarjanaannya di kuliah. Asal, dengan kekayaannya
itu bisa turut mendatangkan salam sejahtera bagi orang lain. Apa salahnya,
bukan?
Pemateri kedua, seorang mantan
tentor yang kemudian naik karir sebagai kepala bidang di bimbingan belajar GO
di Sidikalang ini. Ia lulusan jurusan sastra dari USU. Jauh lebih tua dariku. Gaya
bicaranya tak jauh beda dengan tentor-tentor umumnya. Iamenekankan bahwa
MOTIVASI kunci utama keberhasilan. Tanpa motivasi, katanya, mustahil bisa
berhasil.
Maka dari awal sampai akhir
paparannya, ia memotivasi siswa supaya kuliah. Ia beri tips-tips memilih
jurusan. Ia papar sepak terjang Thomas Alva Edison yang dikenal sebagai sosok
hebat namun semasa kecil ditolak dari sekolah karena bodoh. Cukup menarik
memang, saying gaya bicaranya seperti kereta api yang melintas. Cepat. Sangat
cepat. Susah ditangkap. Tak mudah diingat, mungkin karena otakkua yang setara Pentium
dua.
Setelah kedua narasumber kelar.
Acara selingan masuk. Kedua pemateri gegas pulang.Selanjutnya sesiku. Aku tak
mau seminar satu arah. Karena itu aku memilih turun dari panggung. Menjadikan
tanah lapang itu sebagai arenaku untuk berbagi cerita. Aku tahankan terik
matahari sore itu.
Sesi kubuka dengan cerita tantang
perjalananku menuju perguruan tinggi setelah melewati banyak rintangan. Salah
satunya, ya, kami miskin. Karena itu, mama yang mendesakku supaya merantau saja
begitu tamat SMA. Bukan karena mama tak ingin aku meraih sarjana, melainkan ia
takut jika aku kuliah lalu putus di tengah jalan karena kekurangan biaya.
Tapi aku nekad untuk ke Medan
dengan alasan main-main. Diam-diam aku mendaftar bimbingan intensif yang
didanai abangku, Paul. Pendek kata, atas kemurahan Tuhan aku diterima sebagai
mahasiswa di Unimed. Karena, oppungku (alm ayah mama) dulu guru, dan jurusan
yag kuambil keguruan, maka mama merestuiku kuliah.
Uang SPP kuliahku tergolong murah.
Cuma Rp 1,3 juta setahun. Uang pembangunan 300 ribu. Totalnya 1,6 juta. Yang
mahal, uang buku dan kebutuhan sehari-hari. Namun, mama melihat, biaya kuliahku
jauh lebih murah dari biaya anak sekolah.
Aku pun pernah dapat beasiswa di
kampus. Beasiswa itu sangat membantu. Maka sejak itu, mama berpikir kuliah itu
tidak semahal yang dipikirkannya. Maka adik-adikku semuanya direstui dan
didorong supaya kuliah.
Aku juga memaparkan apa pentingnya
kuliah. Seberapa perlu. Dan apa asyiknya jadi mahasiswa. Apa pula hebatnya jadi
sarjana. Yang menarik,ketika aku katakana, kuliah (belajar) itu seperti
membikin benchmarketing (nilai jual).
Sengaja kusiapkan dua apel beda
warna (merah dan hijau—sebenarnya warnanya merah jambu) sebagai alat peraga.
Dua apel itu mengajarkan: barang yang sama tapi mutu (nilai jualnya) beda,
sepasti siswa-siswi itu sama-sama berseragam, sama-sama berdasi, sama-sama
bersepatu dan dididik guru yang sama pula.
Kutekankan ke mereka, mutulah yang
membuat kedua apel itu sehingga beda harga, sepasti para siswa itu, mutu
(keterampilan kecerdasan dan sikap) itulah kelak yang akan membedakan mereka
satu sama lain. Apakah mereka akan jadi orang yang otaknya di bawah rata-rata, biasa-biasa
saja, atau di atas rata-rata atau luar biasa cerdas?
Mungkin sekarang tak nampak
perbedaannya. Tapi nanti, lima, sepuluh, atau tahun lagi, akan kelihatan yang
mana Anda sebenarnya. Apel merahkah atau apel hijau?”
Yang super cerdas tentu akan
menduduki jabatan dan posisi yang tepat. Melakukan apa yang bisa mereka lakukan
melebihi yang mereka bayangkan.
Kiprah mereka benar-benar dirasakan masyarakat
hingga orang-orang mengaminkan, kalau ke-super-an mereka itu tak lepas dari
keseriusan mereka menata sepak terjangnya secara super pula semasa kuliah. Sedang
mereka yang di bawah rata-rata atau yang biasa-biasa saja akan gigit jadi dan
terdepak dari kompetisi.
Dari keempat tipe tadi, Anda yang
mana? Tentukan sikapmu dari sekarang, Kawan.
Komentar