Empat
abad terlelap, suatu malam, yang panjang, di November 2013, Sinabung tiba-tiba
siuman. Sekali-kali ia terbatuk-batuk.
Melontarkan dahak berupa lahar bara
disertai selimut awan panas yang memukul-mukul langit. Puluhan desa
porak-poranda. Ladang sayur lantak oleh debu hingga tampak seperti gurun pasir.
Dedaunan tanaman lesu dan mati kering terpanggang awan panas.
Tak pelak, sekitar 32.351 jiwa dari 15 desa
yang ada di kaki Sinabung terpaksa mengungsi. Puluhan sekolah ditutup. Salah
satunya, SMA Negeri 1 Simpangempat, Sibintun yang berada di 4,5 Km, harus
diungsikan ke sekolah lain, demi keselamatan anak.
Dampak erupsi Sinabung menghebohkan warga di
sejumlah perkampungan yang tinggal di kaki gunung tersebut. Orangtua tunggang
langgang mengangkuti tilam, tikar, perkakas dibungkus lampin menuju
pengungsian. Mamak-mamak sambil menggedong bayinya terbirit seperti kaki
seribu. Para peladang gegas meninggalkan ladangnya. Dan ternak pun terlantar di
kandang. Semua gegas lekas menyelamatkan diri. Posko-posko pengungsian darurat
dibangun seadanya.
Syukur, banyak tangan terulur membantu.
Bahu-membahu. Berlaksa-laksa doa dihaturkan. Berkardus-kardus bantuan materi
datang. Dan penguatan batin bagi para korban datang dari segala penjuru. Para
pengungsi mengira, batuknya Sinabung hanya seketika. Tak dinyana,
berbulan-bulan, mendekati setahun.
Memasuki awal Januari 2014, Sinabung terus
mendehem. Batuk berdahak lava pijar. Dahsyatnya. Bahkan menelan korban jiwa. Berulang kali pihak terkait mengundurkan
waktu kepulangan ke kampung karena status Sinabung selalu awas.
Kejenuhan di pengungsian pun makin kentara.
Anak-anak terganggu belajar. Suara ribut dimana-mana, rengek bocah-bocah dan
bayi di tetek ibunya mengganggu nikmatnya tidur di tenda pengungsi. Belum lagi
gempuran hawa dingin angin gunung yang menggigilkan tubuh, sehingga tiap
pengungsi harus berusaha menghangatkan tubuh dengan bersembunyi di balik
selimut tebal.
Namun, rasa senasib dan sepenanggungan telah menguatkan
batin mereka.
Sembilan bulan adalah bukan waktu yang singkat.
Tidak mudah melaluinya. Apalagi, bagi mereka yang terbiasa hidup penuh
aktivitas harian, tiba-tiba pola hidup hanya berdiam di tenda pengungsi. Tak
bisa berbuat apa-apa. Lebih mengharukan, ketika 303 siswa dari SMA Negeri 1
Simpangempat, Sibintun harus menumpang belajar di SMP Negeri 2 Simpangempat,
desa Ndokum Siroga, Kabanjahe.
Kondisi di SMP 2 tersebut, ada dua sekolah yang
menumpang belajar. Sehingga jam belajar disusun tiga shif per hari. Pagi bagi
anak-anak SMP tersebut, siang untuk sekolah lain, dan Sore bagi SMA Negeri 1
Simpangempat. Anak-anak SMA N 1 Simpangempat merasakan perubahan pola belajar.
Dulu terbiasa pagi, kini, masuk Sore. “Kami jadi ngantuk. Karena pagi hari kami
kerja ke ladang,” ungkap Nur Dinar, salah satu siswa.
Di sekolah tumpangan, fasilitas belajarnya
seperti mobiler kursi-meja terlihat sekarat. Tripleks lapis meja sebagian
terkelupas. Jendela kaca banyak yang telah pecah. Plavon bolong-bolong. Papan
tulis banyak yang tergores. Cat ruangan kusam, diperkirakan, lama tak direhab.
Peletakan sapu dan kain pel sembarangan. Serta sulit menemukan penghapus dan
kapur.
Memasuki pintu masuk sekolah, ada aroma yang
sangat memualkan. Bau pesing kencing yang menguar dari dua titik. Kamar mandi
sekolah di pojok kiri dekat kantor guru dan di pojok kanan dekat ruang kelas
tiga. Bau pesing itu tercium ke semua penjuru sekolah tersebut. Setelah dicek,
kamar mandi itu ternyata sudah lama sekali tak dipakai.
Terbengkalai. Sampah
dan kotoran menumpuk. Sisa-sisa urin juga terlihat kentara di dinding dan
lantainya. Karena, anak-anak masih menggunakannya, secara terpaksa. Sulit betul
menemukan air bersih di sekolah tersebut.
Kondisi belajar yang masuk di sore hari
ternyata masih menyimpan duka bagi anak-anak SMA Negeri 1 Simpangempat. Kelas
selalu kotor saat mereka temukan. Bahkan ada tulisan di meja, bangku dan papan
tulis yang menyebut “Hei, anak pengungsi, jangan duduki kursi saya” atau
“Jangan kotori kelas kami.” Sering kali, anak-anak SMA N 1 Simpangempat
dituding sebagai biang kelai kotornya SMP tersebut. “Padahal, kami selalu
berusaha menjaga kebersihan,” ungkap Michael, ketua Agen Mesra.
Agen Mesra adalah sebuah gerakan siswa bersatu
menuju sekolah ramah anak yang dibentuk anak-anak SMA Negeri 1 Simpangempat.
Inisiasi agen Mesra oleh Keluarga Peduli pendidikan (Kerlip) yang datang
membantu penanganan psiko-sosial di SMA Negeri 1 Simpangempat. Agen Mesra
didaulat sebagai lembaga baru saat 26 Mei, pada acara Festival Gembira. Disebut
Gembira adalah singkatan dari Gerakan bersama membangun Indonesia ramah anak.
Gerakan ini hendak memperjuangkan terwujudnya
sekolah yang pro anak, yang berpihak pada pemenuhan hak-hak anak secara utuh
dan terpadu. Dipercaya, sekolah yang ramah anak efektif membantu tumbuh kembang
anak, mendorong partisipasi anak, mampu menggali potensi anak dan menolong anak
mengembangkan kapasitasnya hingga ia bisa menjulang menjadi mutiara atau
berlian-berlian Indonesia.
Sekolah ramah anak tentunya mengutamakan peningkatan
mutu pembelajaran. Proses belajar yang menyenangkan dan konstekstual. Mampu
menjawab kebutuhan anak dalam tumbuh kembangnya. Karena ketika belajar
menyenangkan, anak merasa lebih nyaman. Mereka akan lebih optimal mengembangkan
potensi dirinya. Rasa nyaman adalah hal teramat penting bagi anak.
Kita tahu, bukan hal mudah bagi anak untuk
menyampaikan gagasannya. Karena itu, perlu diciptakan iklim belajar dan iklim
sekolah yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak untuk berkreasi,
berekspresi, bersuara. Suara anak mesti didengarkan dan ditanggapi secara
positif oleh siapa pun. Sebab dengan begitulh, anak akan merasa dihargai dan ia
berani mengungkapkan gagasannya.
Sekolah ramah anak juga tak lepas dari dukungan
guru-gurunya. Anak butuh guru yang berkompetensi atau menguasai teknik mendidik
dan membimbing anak. Menguasai konsep sekolah ramah anak dan payung hukum
konvensi anak, sehingga ketika berhadapan dengan anak, guru menjadi teladan.
Guru selaku ujung tombak perwujudan sekolah ramah anak, sejatinya menjadi ikon
bagaimana jadi pandu, jadi teladan bagi anak-anak.
Selain itu, fasilitas belajar juga perlu
didukung. Setidaknya, standar pelayanan minimal terpenuhi. Sayangnya, yang
terjadi bagi siswa SMA Negeri 1 Simpangempat jauh panggang dari api. Kondisi
fasilitas belajar di sekolah tumpangan sangat memiriskan hati. Karena itu,
Kerlip berupaya keras mendorong berdirinya sekolah darurat. Alhasil, dengan
lobi ke sana-sini, bersinergi dengan pihak BNPB dan TNI, akhirnya lima tenda
darurat bisa terpasang di lapangan SKB (Sanggar Kerja Bersama), Karo.
Tak sampai di situ, pemindahan anak dari
sekolah tumpangan ke tenda ternyata tak mudah, sebab mobiler bangku-meja tak
tersedia. Beberapa kali lobi dilakukan terhadap dinas pendidikan Karo dan dinas
pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Namun hasilnya, mengecewakan.
Akhirnya, diambil inisiatif, hanya perwakilan
masing-maisng kelas yang akan didampingi di sekolah darurat di SKB, yakni
sebanyaik 25-30 anak. Selebihnya, pendampingan dilakukan di sekolah. Pendampingan
pada anak di tenda dan di sekolah dilakukan secara kontinu dan progresif.
Bekerjasama dengan Komunitas Air Mata Guru,
Kerlip menggelar BBM (Bimbingan Belajar Mandiri) bagi siswa kelas tiga.
Kerjasama dengan tim Psikolog profesional dari USU bernama CPF, Kerlip melakukan penangangan psiko-sosial dengan guru
dan siswa. Proses ini juga tak mudah. Karena ada saja perintang seperti
paradigma guru yang harus dicerahkan terlebih dulu.
Masa-masa awal pendampingan terasa berat.
Karena upaya menghadirkan sekolah darurat tidak tercapai sepasti diharapkan.
Namun semangat Tim Kerlip tak pernah patah arang. “Demi anak, kita harus terus
maju,” ungkap Nurasiah Jamil, manager program.
Berulang kali, fasilitator dari Bandung
dihadirkan. Ada Bu Nia yang setia dan tekun serta sangat teliti menilai
masing-masing anak. Meneropong secara detil potensi masing-masing anak dan
mendorog mereka untuk berkreasi. Ada Amilia Agustin yang tangguh dan selalu
menghadirkan pembelajaran yang mengasyikkan.
Pendampingan dengan tutor sebaya terasa lebih
diterima anak-anak. Amilia yang usianya hanya bertaut setahun atau dua dengan
anak-anak SMA Negeri 1 Simpangempat gampang beradaptasi. Begitu pun anak-anak
SMA Negeri 1 Simpangempat tidak merasa digurui oleh Amilia namun serasa
menemukan kakak yang kesannya sangat dekat. Selain Ami, ada Arlian juga sebaya,
turut menginspirasi.
Kehadiran inspirator-inspirator muda tersebut
mendorong, dan menantang, anak-anak SMA N 1 Simpangempat untuk tunjukkan
kiprah. Tak butuh berapa lama, pendampingan berbuah manis. Tampaklah
berlian-berlian Karo. Ada Nita yang kreatif bikin puisi dan lantang bicara. Ada
Hendy Farta Milala yang juga fasih bicara dan jago main musik.
Belakangan, secara menakjubkan, bermunculan
sosok-sosok muda lainnya dengan potensi masing-masing. Ada Michael yang
bertanggungjawab serta kreatif dalam hal komputer. Inez dan Andika yang pintar
menjadi pembawa acara, Astri si penari juga bersuara emas, Yossi yang
semangatnya meledak-ledak dan selalu ingin tampil menjulang.
Ada Frendy si
‘Suckseed’ yang menciptakan lagu “Kita punya banyak mimpi,” serta Rizky Tanjung
‘Si tukang mual” yang menggubah lagu “Agen Mesra.”
Heliyani ‘sicentil’ dan Sri Magdalena ‘si
pencuri’ juga tak ingin ketinggalan dalam berkarya. Keduanya jago mencipta
puisi dan membacakannya. Yang lain juga tak kalah hebat.
Benar, kata Pak Zulfikri Anas, pakar kurikulum,
“Tidak ada anak yang bodoh. Semua anak punya kehebatan masing-masing.” Kami, saat pendampingan terhadap anak-anak di
Karo telah menyaksikannya. Dan kami tak malu menceritakannya ke pada siapa pun.
Biar dunia tahu, di Karo ini banyak berlian-berlian yang akan menjulang jadi
pandu bangsa.
Berlian-berlian muda ini, dari yang pemalu dan
pendiam kini berani bersuara. Mereka sambangi kantor-kantor pejabat. Audiensi
menjadi corong mereka untuk meneriakkan suara mereka. Dari Kabanjahe, pukul 7
pagi, mereka menempuh jalanan dua jam ke Medan. Untuk audiensi. Ke Biro
Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB Provinsi Sumatera Utara, di lantai 6 kantor
Gubernur Sumut, mereka sambangi. Menjumpai Ibu Rohani Bakkara. Berdiskusi
tentang sekolah ramah anak. Hingga mendapatkan dukungan dari biro PPAKB.
Tak cukup hanya dukungan dari Biro PPAKB, Agen
Mesra melanjutkan perjalanan galang dukungan ke kantor kepala dinas pendidikan
Sumatera Utara. Bertemu Masri, sang kepala dinas dan Hendri Siregar,
sekretarisnya. Masri mengatakan Dinas pendidikan Provsu ikut mendukung
terwujudnya sekolah ramah anak.
Sorenya, Agen Mesra menyambangi kantor USAID
PRIORITAS di Jalan Sei Tenang. Diterima Erix Hutasoit, ahli komunikasi. Erix
secara pribadi mendukung dan berjanji memberikan waktunya untuk pengembangan
kapasitas anak berupa pelatihan, sanggar kerja dan diskusi.
Galang dukungan terus digalakkan dengan
menggelar diskusi grup terfokus di aula Institut teknologi Medan. Mengundang
pihak-pihak terkait yang berkewajiban memangku tanggung-jawab perwujudan
sekolah ramah anak. Mujur, dukungan datang dari banyak pihak. Dukungan juga
diberikan oleh dua media surat kabar terbesar di Sumut, Analisa dan
Tribunmedan. Dukungan itu seperti tetes-tetes embun di tanah gersang.
Terakhir, galang dukungan didapat dari kepala
dinas Pendidikan Kabupaten Karo, saroha Ginting. Kendati dukungan sudah banyak,
upaya mewujudkan sekolah ramah anak barulah langkah awal. Perjalanan mengawal
komitmen bahwa sekolah ramah anak akan dicetus di Karo harus terus didampingi.
Di saat bersamaan, program safari gembira dari
Agen Mesra sebagian sudah dimulai dan akan terus dikerjakan dengan target,
menjenguk sekolah-sekolah eks SMP masing-masing dalam rangka berbagi ilmu,
berbagi pengalaman Projek PUSAT (pungut sampah yang terlihat) kini menghadapi
tantangan dari sekolah yakni bagaimana program ibu bukan isapan jempol
melainkan sebuah kebiasaan baru di sekolah dan dimana-mana.
Agen Mesra
ditantang menjadi ikon. Sedang program jamban bersih dan pengumpulan air bersih
sebotol per anak per hari, kini dalam tahap konsolidasi dengan sekolah
tumpangan.
Pergerakan Agen Mesra, sejauh ini kian mantap.
Langkah untuk unjuk karya, unjuk kreativitas makin dipancang. Gerakan
antikorupsi diinisiasi di sekolah lewat datang tepat waktu. Gerakan “Malu
datang terlambat” digagas agar membangun kedisiplinan anak-anak dalam hal
mamajemen waktu. Sebab, terlambat, kata Nita Hayati, salah satu agen Mesra,
adalah awal korupsi. Korupsi waktu akan membuka pintu korupsi pada hal lain.
Partisipasi, kreativitas, keberanian untuk
gagal serta semangat berkarya telah ditunjukkan Agen Mesra. Mereka menyebutnya
dalam tagline “Speak n Act”, bicara dan beraksi. Mereka mengaku sebagai pelajar
anti kekerasan dan amat cinta keluarga. Mereka percaya, sebagai pelajar cinta
terhadap keluarga amat penting. Karena
di keluargalah pertama kali diemai benih-beih kebaikan, bibit-bibit karya. Dan
dalam tagline Speak n Act itu pula mereka bersafari gembira untuk mengkat ilmu
lewat berbagi.
Menyaksikan karya nyata Agen mesra, semangat
yang membara serta kesatuan tekad, adalah satu kebanggaan. Kita yakin, mereka
akan bergerak, berderap membawa perubahan secara menghentak sedahsyat pasukan
Leonidas.
Sepasti petuah Erix yang mereka aminkan kala
itu, “Baru kali ini, saya lihat ada anak-anak yang peduli dengan sekolah ramah
anak. Bahkan berjuang mewujudkannya. Teruslah berjuang, sobat.”
Atau pesan manis dari arifin Alamudi, reporter
Tribunmedan, ‘Ayo, adik-adik. Terus semangat belajar. Kalian harus jadi yang
terbaik. Keterbatasan fasilitas tidak boleh menyurutkan semangat kalian
berkarya. Kalian adalah yang terbaik dari terbaik.”
Benar, mereka adalah agen-agen pembawa
perubahan. Agen pewujud sekolah ramah anak. Biar waktu yang akan menguji,
mengasah bahkan menyesah mereka meraih impian.
Desain
foto dan teks By Dedy Hutajulu
Foto-Foto
: By Dedy Hutajulu
Disusun
Juni 2014
Dari Hulu ke Hilir
1.
Sekolahku
2.
Sekolah Tumpangan
3.
Belajar di Tenda
4.
Aktivitas Lain
5.
Festival Gembira
6.
Testimoni
7.
Asa
Bangun dari tidur panjangnya 4 abad, Sinabung siuman
dan terbatuk-batuk muntahkan dahak lahar panas di akhir 2013.
SEKOLAHKU
Sekitar
32.351 jiwa dari 15 desa yang ada di kaki Sinabung terpaksa mengungsi. Puluhan
sekolah ditutup. Salah satunya, SMA Negeri 1 Simpangempat, Sibintun yang berada
di 4,5 Km, harus diungsikan ke sekolah lain.
Kondidi lapangan sekolah membelukar setelah
sembilan bulan ditinggal pergi.
Lebatnya rumput menutupi pinggang kelas
Jejak langkah membekas pada debu erupsi Sinabung
yang menempel di teras kelas sekolah
Bekas aliran air
yang membentuk alur-alur pada debu
eruspsi Sinabung kentara
Mengukur ketebalan debu Sinabung yang menempel
di lapangan Volly
Bangunan sekolah masih bagus namun berada di
kisaran 4,5 KM dari Gunung Sinabung (zona merah)
Ruang Laboratorium telantar
Tebalnya debu erupsi Sinabung yang menempel di
teras kelas sekolah
Debu melumpur di toilet sekolah
Toilet rusak dan berdebu
Kantin sekolah rusak
Debu-debu digonikan untuk dijadikan pupuk
Pupuk untuk tanaman di kebun
Berangkat
ke sekolah naik Truknya militer
Bersesakan di mobil bak terbuka
SEKOLAH TUMPANGAN
SMP N 2 Simpangempat Ndokum Siroga
Jendela kaca banyak pecah. Plavon
bolong-bolong
Pintu kelas rusak
Kelas
Berdebu
Banyak sampah berseliweran
Toilet
tak bisa dipakai
Sekolah Darurat
Pendirian tenda di lapangan SKB, Kabanjahe, Karo
Tim BNPB dan TNI bekerjasama mendirikan tenda
sekolah darurat
BELAJAR DI
TENDA
Inez
sedang membuat lingkaran untuk mandala diri
Rhabba dan lingkaran yang dilukisnya
Pendampingan
Frendy unjuk kebolehan menyanyikan lagu ‘suckseed’
berbahasa Thailand
Mendiskudikan kartu pos untuk calon presiden
2014-06-21
Astri mengintip dari balik tirai
Tenda adalah rumah kedua kami
Rhabba dan impiannya
Ericha mendiskusikan (kiri) impiannya dengan
kawan-kawan sekelompoknya
Selalu gembira
Sangat gembira
Terus Gembira
Bersenang-senang karena belajar diselingi game
Bermain sambil belajar
Memilih isu sosial
Nia Kurniati sebagai
Fasilitator
Dari balik jendela tenda
Baku
gali ide
Andika ingin jadi presiden
Bersama orangtua belajar membikin kerajinan
tangan dari sampah plastik
Mandala diri Roy
Presentasi projek
Bu Nia menunjukkan tas hasil rajutan dari
sampah
Sajadah rajutan dari olahan bungkus minuman
caffucino sachet.
Orangtua belajar menyusun papan impian
Orangtua, guru dan siswa sama sama menyusun
papan impian masing-masing
Gembira
berdiskusi
Aktivitas
Lain
Menyusun papan impian di kelas Dipandu mentor
Tes psikologi anak oleh tim psikolog
tes ke pada semua anak per kelas
Perkembangan psikologi anak terus dipantau
Tes psikologi juga dilakukan pada para guru
Tim psikolog dari USU
Melatih pengungsi membuat kerajinan dari sampha
plastik menjenguk anak-anak pengungsi
Bahan
bungkus minuman kopi sacet
Produk
Berlatih bikin kerajinan
Festival
Gembira
Menarikan tari Karo, lestarikan kearifan lokal
Menari di bawah matahari
Hardiles dan gayanya
Heliyani dan jurus silatnya menantang Hendy
Evi ‘si pemalu’ akhirnya berani bicara di
depan publik
Kita punya banyak mimpi, Bung
Pede jadi MC (Andika dan Inez)
Michael (pegang mike), ketua Agen Mesra yang
bertanggung jawab
Yossi dan Frendy menyanyikan lagu “Kita Punya
Banyak Mimpi”. Lagu tersebut adalah karangan Frendy sendiri
Penonton rela
berpanas-panasan menyaksikan para agen mesra unjuk kebolehan
Nita
dengan puisinya bertajuk “Pendidikan” dan Heliyani dengan puisinya bertema
“Mengertilah Kami”
Sri Magdalena juga dengan puisinya “Pencuri!”
PELEMBAGAAN AGEN MESRA KARO
Penyematan PIN pada Hendy, dkk, tanda resmi didaulat
sebagai agen Mesra
Swardi, perwakilan dari Dinas pendidikan Prov
Sumut menyematikan Pin ke Michael
Para pengunjung menikmati pameran karya di
dalam tenda
Bu Nelli Saragih, guru sosiologi, menangis
terharu karena bangga akan potensi para agen Mesra
Opera (Obrolan seputar ramah anak) bersama
orangtua, guru dan pendamping dari kerlip di tenda
GALANG DUKUNGAN
Mempersiapkan mental
Briefing materi di Masjid AgungAudiensi ke kantor
Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB, Prov Sumut
Ir Rohani Bakkara menerima para Agen Mesra
audiensi di ruangannya, Lantai 6 Kantor Gubernur Sumatera Utara. Biro PPAKB,
kata Rohani mendukung terwujudnya sekolah ramah anak
Presentase sat audiensi ke Kantor Dinas
Pendidikan Sumatera Utara
Berdialog dengan Kepala Dinas Pendidikan
Provsu, Masri dan sekretarisnya Hendri Siregar
Menyambangi
kantor USAID PRIORITAS
Mendengarkan cita-cita anak-anak Agen Mesra
Bergembira bersama Erix Hutasoit, ahli
komunikasi USAID PRIORITAS
Diskusi
bareng Arifin Alamudi, asisten redaktur Tribunmedan
Di Ruang redaksi Tribunmedan
Newsroom Tribunmedan
Cha-cha dan Luki menertawakan isi berita
Di Aula kantor Harian Analisa
Foto bareng RedakturSumut Analisa, Sugiatmo dan
wartawan Taufik Wal Hidayah
Michael menyampaikan pendapat ke Kadisdik
Karo, Saroha Ginting
Bersempit-sempitan di ruang kerja Saroha Ginting saat
audiensi
Yossi saat presentasi di hadapan Kepala Dinas
Pendidikan Karo, Saroha Ginting
Frendy menampilkan lagu ciptaannya saat diskusi terfokus
tentang Ramah Anak di Aula Institut Tekologi Medan
Para pemangku kewajiban pendidikan menandatangani
lembar komitmen dukungan untuk perwujudan sekolah ramah anak
Testimoni
ASA DARI KAWULA MUDA
Gerakan PUSAT (Pungut Sampah yang Terlihat)
Menuju
Sekolah Ramah Anak
Umur kami masih muda. Masih panjang jalan masa depan yang
akan kami tempuh. Termasuk masa depan terwujudnya sekolah yang ramah anak.
Namun kami tahu, tidaklah mudah mencapai itu. Karena itu, hari ini kami bajakan
mental kami. Kami penuhkan tangki spirit kami dengan semangat membara. Dan kami
baku genggam tangan. Berpengangan satu sama lain. Bahu membahu. Kami yakin,
sekolah ramah anak bisa kami wujudkan di kampung halaman, tanah Karo
Simalem. Dari kampung halaman ini, lalu
kami gelindingkan semangat itu ke segala penjuru. Lewat safari gembira ke
sekolah-sekolah. Kami percaya perubahan perlu digelindingkan, disuarakan,
diperjuangkan terus menerus. Perjuangan kami tak mengenal lelah, tak kenal
menyerah. Karena kami adalah agen Mesra.
Salam
Mesra,
Tanah Karo,
Juni 2014
Komentar