Oleh Dedy Gunawan Hutajulu*
Dari pengalaman selama dua tahun mengajar Matematika di beberapa SD dan SMA di Sumatera Utara (Sumut), hal yang kerap mengganggu pikiran saya adalah keluhan siswa terhadap guru-guru Matematika. Rupanya banyak guru Matematika tak mampu mematahkan stigma “Matematika itu sulit”. Akibatnya, para siswa tak terpacu dalam belajar.
Celakanya, keluhan itu tidak hanya dilontarkan pada pelajaran Matematika, tetapi pada pelajaran lain juga. Siswa rupanya beranggapan bahwa belajar itu momok. Lebih mencemaskan lagi, kondisi ini bukan cuma terjadi di satu dua sekolah, melainkan hampir di tiap sekolah di Sumut—dan, saya kira, di banyak sekolah di Indonesia.
Inilah tantangan bagi para guru. Guru harus mampu menghadirkan suasana kelas yang menyenangkan agar murid nyaman dan merasa belajar seperti sedang bermain. Guru bahkan harus bisa mengajarkan secara sederhana pelajaran-pelajaran yang oleh kebanyakan siswa dianggap sulit.
Sesungguhnya guru tidak punya alasan untuk tidak terampil mengajar atau tidak menghadirkan suasana belajar yang menyenangkan. Bagaimanapun, tugas gurulah untuk melatih diri mengajar secara kreatif. Kreativitas yang dituntut dari guru adalah keterampilan pribadi untuk berinovasi demi terciptanya suasana belajar yang hangat, yang mampu menyedot perhatian murid, tetapi tetap kontekstual.
Kreativitas itu tak lepas dari kejelian guru memilih pendekatan yang tepat sesuai kebutuhan belajar murid. Harus diakui, tidak semua pendekatan cocok dengan setiap materi. Oleh sebab itu, kreativitaslah yang akan menentukan pendekatan seperti apa yang tepat digunakan guru untuk mengajar dengan leluasa sehingga pelajaran lebih mudah dimengerti murid.
Keterampilan seperti ini ditampilkan Siradjudin , guru SD di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia berhasil mengajarkan konsep-konsep dasar Matematika secara sederhana, mudah, tetapi menyenangkan dengan menggunakan alat peraga yang dirancangnya sendiri. Lewat alat itu, Siradjudin menanamkan konsep dasar operasi hitung penjumlahan dan pengurangan.
Alat peraga tersebut dinamainya “Arena Kuda Loncat Bilangan”. Wujudnya berupa sebuah mistar kayu berkala 0 sampai 15 dan 0 hingga minus 15. Alat ini dilengkapi dengan boneka kuda seukuran kuda catur, yang bisa digeser ke kiri dan ke kanan pada mistar. Mistar itu sendiri diberi tiang penyangga pada kedua ujungnya. Dengan bantuan Arena Kuda Loncat Bilangan, belajar konsep penjumlahan atau pengurangan menjadi sangat mudah.
Sebagai contoh, untuk menghitung (-2) – (-3) atau (-2) + (-3) kita cukup menentukan arah loncatan kuda dengan memperhatikan bilangan kedua. Kalau bertanda negatif, berarti arahkan kuda ke kiri, tetapi kalau bertanda positif, arahkan kuda ke kanan. Mengenai tanda operasi hitung, tambah (+) berarti maju dan kurang (–) berarti mundur.
Nah, pada soal pertama di atas, pertama-tama, kuda ditaruh pada angka minus dua. Karena bilangan kedua negatif, kuda diarahkan menghadap ke kiri, lalu mundurkan kuda sejauh tiga langkah dan berhenti pada angka satu. Bagaimana dengan soal kedua: (-2) + (-3)? Caranya sama. Letakkan kuda pada angka minus dua, lalu arahkan kuda menghadap ke kiri. Selanjutnya, majukan kuda sejauh tiga langkah hingga berhenti pada angka minus lima. Untuk soal lainnya, bisa dilakukan dengan cara serupa.
Hasilnya? Matematika jadi mudah diserap murid-murid yang semula membenci pelajaran tersebut. Siradjudin menyadari, siswa sekarang ini tidak terlalu menyukai banyak teori, melainkan perlu mendemonstrasikan pelajaran dengan alat-alat yang bisa membangkitkan imajinasi, serta kreativitas siswa.
Sekelumit kiprah Siradjudin di atas, kiranya membuka cakrawala berpikir kita, para guru di Indonesia dan, khususnya, di Sumut: betapa pentingnya berinovasi, berkreasi, menciptakan sesuatu yang bisa memudahkan siswa mengerti sesuatu, mengembangkan imajinasi, tapi tetap mendaratkan imajinasi itu pada materi pelajaran. Sehingga siswa merasakan belajar itu menyenangkan.
Maka dari itu, guru-guru Sumut dan Indonesia, jadilah para “Siradjudin” yang terus berkarya dengan kreativitas.
*Penulis aktif di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen) Medan
Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang
Komentar