Langsung ke konten utama

Agar Suara Tidak Hilang


dicapture dari laman http://www.kawalpemilu.org/#0

RISET dan teknologi bisa menghentikan pencurian suara di pemilihan umum. Penggunaan teknologi informasi seperi kawanlpemilu.org memungkinkan semua orang mengawasi sendiri suara pemilih.
 
Martin Hutabarat, Artha Berliana Samosir dan Budiman Panjaitan ikut bertarung dalam pemilihan legislatif periode 2014-2019. Ketiganya memang turun di arena berbeda, namun mereka sama-sama kehilangan suara.

Mengenakan kemeja hijau dipadu celana keper hitam, Martin duduk nyantai di resto sembari menceritakan ihwal sengketa pemilu 2014 silam. Martin adalah anggota DPR RI 2014-2019 dari partai Gerindra, mewakili daerah pemilihan Sumut 3.

Pada pemilu lalu, Ia menggugat KPU Simalungun dengan tudingan penggelembungan suara. Pesaingnya Sortaman Saragih yang tidak diprediksi menang malah bisa unggul. Sedang suara Martin berkurang.

Martin Hutabarat berang tak ampun ketika KPU mengumumkan, ia kalah dari Sortaman Saragih. Padahal, politisi asal Siantar ini sudah memprediksi bakal menang telak dari rivalnya itu. Sebab dari delapan kabupaten/kota, Martin sudah mengungguli Sortaman dengan selisih sekitar 10.000 suara.

Martin yakin betul Sortaman tidak mampu mengejarnya. Hanya tinggal dua dapil yang tersisa. Namun apa yang terjadi? Esoknya, Kamis, 24 April 2014, KPU Simalungun menetapkan Sortaman unggul dengan selisih 20 suara. “Saya mencurigai pasti ada yang tidak beres,” ujarnya.

Martin berusaha membuktikan penetapan KPU itu keliru. Ia pun bergerak cepat. Bersama timnya yang berjumlah 10 orang, Ia menyisir semua formulir C1 dari empat partai lain. Lalu setiap suara dicocokkan. Ternyata, ia menemukan adanya penggelembungan 586 suara atas nama Sortaman Saragih.

Di saat yang sama, Martin menemukan suara pendukungnya lenyap dari hitungan resmi. “Lebih 2.000 suara saya hilang,” katanya saat ditemui di Merdeka Walk, Medan usai reses mengunjungi petani cabai di desa Cuik, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara 

Seperti Martin, Artha Berliana Samosir, kandidat Legislatif DPRD Sumut dari Partai Hanura juga mengalami peristiwa yang sama. Kala itu, Berliana menduduki kursi keenam. Namun ia mengklaim mendapatkan kursi ketujuh sampai di tingkat kecamatan. 

Ternyata perhitungan di KPU malah menetapkan Januari Siregar dari partai berlogo perisai garuda, (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) sebagai peraih kursi ketujuh. Atas penetapan itu, Berliana keberatan.

Berliana berusaha sekuat tenaga untuk membalikkan suaranya. Ia menempuh upaya hukum ke Panitia Pengawas (Panwas) pemilu Kota Medan supaya dilakukan perhitungan ulang. Lalu Panwas merekomendasikan hitung ulang ke KPU Medan.  Namun sebelumnya, srikandi asal Dolok Sanggul itu telah menyampaikan permintaannya ke KPU Sumut untuk menghitung ulang suara secara internal.

KPU Sumut mengabulkan permintaannya. Dari hasil peringkat hitung ulang yang dilakukan Panwas, dengan membuka kotak suara, ternyata ditemukan beberapa kesilapan perhitungan di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara). Tapi suara itu tidak berdampak signifikan untuk merubah kursi Berliana menjadi kursi ketujuh.

Lantaran tidak ada perubahan signifikan di KPU, Berliana kemudian mengajukan kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK menolak gugatannya karena tidak ada dampak signifikan perubahan suaranya. Bahkan jarak suaranya dengan kursi yang ketujuh terlampau jauh, sekitar seribu suara. Padahal, klaimnya hanya sekitar 500 sampai 800 suara.

Rasa kecewa atas kehilangan suara juga dialami Budiman Panjaitan, caleg DPRD Medan dari Partai Hanura. Ia maju dari daerah pemilihan (Dapil) 3, yakni Medan Helvetia, Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat. Sebagai petahana, Budiman yakin bakal menang lagi. Namun perhitungan KPU bicara lain, suara Budiman kalah dari Ratna Sitepu.

Sepasti Martin atau Berliana, Budiman pun merasa ada yang tak beres dengan perhitungan suara tersebut. Ia kemudian menggugat KPU karena menemukan suaranya banyak berkurang. Ia mengadukan hal kehilangan suara itu ke Panwas. Lalu Panwas memerintahkan KPU Medan untuk menghitung ulang surat suara.

Dari hasil hitung ulang ternyata suaranya berbeda di kecamatan Medan Helvetia. Hampir 800 suara! Waktu itu, KPU Medan menetapkan Ratna Sitepu sebagai pemenang. Budiman tidak terima dengan penetapan oleh KPU Medan. Ia juga menempuh upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi. Namun MK tidak mengabulkannya lantaran dasar gugatan Budiman tidak disertai persetujuan dari partainya. Akhinya perjuangan Budiman kandas di MK.

Baik Budiman maupun Berliana, keduanya mengalami masa tak mengenakkan dalam meraih kursi wakil rakyat. Biangnya, suara hilang di saat pemilu. Pertanyaan berikutnya, kenapa suara bisa hilang?

Modus 

Koordinator Divisi Hukum KPU Medan, Pandapotan Tamba mengatakan sebenarnya bukan hanya satu dua kandidat yang menggugat ke kantornya terkait suara hilang. “Hampir semua caleg mengeluh soal itu. Pemilu kali ini memang banyak sekali aduan soal suara hilang,” ujarnya.

Biang hilangnya suara itu, menurut Tamba, ada empat. Pertama, banyaknya formulir C1, sehingga pihak KPU kesulitan mengetahui mana form asli mana tidak. Tamba mengatakan, form C1 yang diajukan partai berbeda dengan C1 milik caleg, juga C1 dari KPU. Jadi Form C1 yang asli mana?

C1 asli adalah form yang diunggah ke website KPU. “Itulah yang resmi. Kita telusuri kenapa bisa begitu, ternyata form C1 dari caleg itu tidak sampai ke partai. Kadang C1 itu kosong dibagi ke saksi-saksi. Sehingga saksi sesuka hati mengisinya. Jadi itu yang membuat banyaknya persoalan tentang suara hilang,” pungkasnya.

Kedua, suara hilang juga turut dipengaruhi lamanya form C1 dari kelurahan masuk ke KPU. Meski sebenarnya, terang Tamba, peraturan menetapkan bahwa batas pengumpulannya hanya sehari, setelah pemungutan suara.

Namun persoalannya tidak ada sanksi hukum, sehingga ada yang hingga seminggu, masih banyak (penyelenggara) tidak menyerahkan C1 ke KPU. “Mestinya,” usul Tamba, “Dibikin sanksi tegas bagi penyelenggara. Juga libatkan polisi untuk menjemputnya. Dan panwas sendiri pun tidak mendapat form C1 sebagian. Ini problemanya.”

Berikutnya, beberapa penyelenggara pemilu di akar rumput bermain mata dengan kandidat sehingga banyak terjadi kecurangan. Tak heran ada 17 orang penyelenggara KPU Medan dipecat serentak, secara tidak hormat. “Waktu itu,” gerutu Tamba, “Kita minta ke Panwas supaya 17 orang itu ditindaklanjuti ke ranah pidana. Kenapa? Karena mereka telah melakukan kejahatan dan sama sekali tidak bertanggung jawab secara hukum. Sayang, Panwas tidak menindaklanjutinya.”

Tamba menyebut, akibat perbuatan ketujuh belas penyelenggara abal-abal itu, tingkat kepercayaan publik ke KPU merosot tajam. Bahkan institusi KPU dianggap ikut terlibat dalam kasus ini. Sampai-sampai KPU mendapat peringatan keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Terakhir, banyaknya penyelenggara pemilu di Kota Medan. Sebanyak 23.521 orang penyelenggara yang harus diawasi, dengan rincian 152 kelurahan dikali 3 orang, ditambah 21 kecamatan dikali 5 orang, ditambah 3280 TPS dikali tujuh orang. “Inilah total penyelenggara pemilu di tingkat bawah. Nah, bagaimana kami bisa mengontrol penyelenggara segitu banyak?” tanya Tamba.
C1 adalah Senjata

Nasib Berliana dan Budiman berbeda dengan Martin. Kisah Martin mengembalikan suaranya yang hilang berakhir manis, sedang Berliana dan Budiman harus gigit jari. Walaupun Berliana mengklaim banyak suaranya hilang di berbagai kecamatan, ia tidak memiliki bukti dokumen yang didukung partainya, sehingga MK menolak gugatannya. Dokumen yang dimaksud adalah formulir C1.

Pun Budiman begitu. Sengkatanya juga sampai ke meja MK. Tapi MK tidak menolak gugatannya, lagi-lagi, karena tidak ada persetujuan dari DPP Hanura. Nah, menjadi menarik adalah bagaimana cara Martin mengembalikan suaranya?

Martin menjawab, form C1 adalah senjata pembuktian yang kuat pada setiap sengketa pemilu. Martin mengatakan,  ia mengoleksi bukti form C1 dari tiap partai dan juga ketika menggugat, ia terlebih dahulu mengantongi dukungan dari partainya.


contoh surat suara yang rusak

Agar C1 Berdaulat

Pemilihan Presiden 2014 menggoreskan catatan sejarah baru. Kita bisa saksikan bagaimana perpolitikan Indonesia diwarnai dengan kontroversi klaim-klaim lembaga survei yang memenangkan kandidat tertentu. Belakangan diketahui, lembaga-lembaga survei itu ternyata banyak yang pesanan.

Di tengah hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga survei nasional, muncul satu situs independen bernama www.kawalpemilu.org. Kemunculan situs ini membelalakkan mata publik. Bagaimana lima orang  muda mampu mengawal hasil hitung suara pemilu dengan sangat akurat. Tak pelak, kawalpemilu menjadi perbincangan banyak pihak.

Betapa tidak, situs kawalpemilu mampu menjawab keraguan banyak orang atas murni tidaknya suara yang dihitung KPU. Formulir sah C1 dari tingkat kelurahan diunggah KPU, menjadi senjata kuat. Sepasti diyakini Martin Hutabarat di muka, form C1 adalah alat membuktikan agar suara tidak hilang.

Dari situs kawalpemilu kita bisa lihat mekanisme hitung suara secara cepat tapi akurat. Begitu Form C1 masuk ke situs KPU, hitungan menit suara bisa diakumulasi. Walaupun perhitungan di tingkat kecamatan belum selesai di KPU, namun kita sudah punya data hitung ril (real count).

Bahkan Pengamat politik dari USU, Wara Sinuhaji ikut terkejut dengan kehadiran situs kawalpemilu yang dibesut Ainun Najib. Konten situs ini membuka mata publik untuk bisa berpartisipasi aktif mengawal perhitungan  suara. “Memang, kehadiran situs kawalpemilu atau sejenisnya tidak otomatis membuat demokrasi kita lebih baik. Sebab, demokrasi kita baru berumur 15 tahun. Masih premature,” sebut Wara.

Akan tetapi, sambung Sinuhaji, apa yang dipertontonkan Ainun, dkk seakan membuka jalan bagi anak muda dan siapa pun untuk ikut ambil andil secara konkret, membangun peradaban demokrasi kita lebih baik. “Artinya,” cetusnya, “Kita butuh lebih banyak kelompok-kelompok muda beginian, yang gigih mengawal  proses dan pasca pemilu.”

Ahli Teknologi Informasi, Budi Muhammad Amin punya pendapat sendiri soal munculnya kawalpemilu. Melihat kesuksesan penggagas Kawalpemilu, Budi yakin sangat mungkin pemilu ke depan bisa dikawal lebih baik lagi. Situs kawalpilkada, menurutnya bisa dibangun dan secara teknis itu gampang sekali melakukannya. 

“Kita hanya butuh beberapa orang relawan. Kita kerjakan dengan baik. Agar database kita aman, bila perlu, hacker-hacker sejak sekarang dirangkul untuk ikut terlibat mendukung proses kawal pemilu lebih demokratis. Tentulah banyak white hacker mau bergabung,” katanya.

Soal teknis, situs kawalpilkada bukan hal sulit untuk dikerjakan. Sebab IT, kata Budi, hanya alat. Yang perlu diperkuat, menurutnya, bagaimana statistikanya dan akses ke website KPU. “Selama data yang digunakan sama, yaitu C1 dari KPU, semua orang bisa melakukannya,” tukasnya.

Hal senada disampaikan Ahli Teknologi Informasi Edi Malaha. Umumnya pegiat IT punya keterampilan membangun situs semacam Kawalpemilu. Namun banyak pegiat IT bersikap anti politik. 

“Apa yang dilakukan Ainun dan kawan-kawan lewat Kawalpemilu merupakan titik awal penggunaan pengetahuan dan teknologi untuk membangun demokrasi. Kami para IT ini tidak jago berorasi seperti politisi, tapi kami mampu menghalau pencuri suara secara digital,” tegas Edi yang bekerja untuk sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

Bangun Sistem

Meski kawal-mengawal pemilu ke depan makin baik, menurut Wara,  mutu demokrasi kita tidak serta merta ideal. Selama sistem demokrasi kita tidak dibangun dengan baik, demokrasi kita tidak akan menyentuh sampai ke ranah substansi. Karena tantangan terbesar pemilu kita adalah bagaimana memastikan orang yang kita pilih itu berkualitas di tengah kultur politik transaksi yang kentara.

“Kita belum punya sarana serta dukungan untuk mewujudkan itu. Sehingga, setiap kali pemilihan, kita seperti memilih kucing dalam karung," imbuhnya.

Lantas, bagaimana caranya membangun demokrasi yang ideal itu? Menurut Wara, tak ada cara lain, selain memperjuangkan terwujudnya sistem pemilu yang terkontrol dan berjuang melawan politik transaksi. Hal itu bisa terwujud jika semua pemangku kewajiban bersinergi dan bahu-membahu.

Membangun sistem pemilu yang terkontrol itu, menurut pandangan Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga, salah satu intinya adalah menjamin prosedur-prosedur demokrasi bisa terselenggara secara akuntabel, transparan dan penyelenggaranya berintegritas. Ketiga aspek tersebut wajib diperhatikan penyelenggara pemilu.

Aspek lain adalah aksesibilitas terhadap informasi. Benget mengatakan, KPU harus bisa memastikan bagaimana setiap prosedur pemilu itu bisa diakses oleh masyarakat. Ia berharap, ketika KPU membuka akses data dan informasi seluas-luasnya, masyarakat bisa (melek) memanfaatkannya sebaik mungkin.

Ahli komunikasi Erix Hutasoit mengatakan, setelah KPU membuka akses maka selanjutnya informasi itu menjadi milik publik. Masyarakatlah yang kemudian mengolah informasi itu sesuai kebutuhannya. Informasi itu hanya bisa diolah jika masyarakat punya keterampilan. 

“Waktu pemilihan legilatif kemarin, situs seperti kawalpemilu tidak ada yang menginisasinya. Padahal KPU sudah mengunggah scan formulir C-1. Karena tidak ada yang tahu menggunakan, makanya banyak caleg yang kehilangan suara tidak mampu mempertahankan haknya,” katanya.

Erix mengatakan salah satu tantangan pemilu di Indonesia adalah soal pembiayaan. Setiap calon legislatif dan kepala daerah dipaksa mengeluarkan biaya besar hanya untuk mengawal suara dari TPS sampai ke KPU. Para kandidat harus membayar orang-orang untuk menjaga suaranya.

Erix optimis dengan penggunaan riset dan teknologi informasi, pemilu tidak hanya bermartabat, tapi juga membuat pembiayaannya lebih murah.Tidak diperlukan lagi mobilisasi masyarakat secara fisik untuk menjaga suara dalam tahap perhitungan. 

“Dan lebih penting lagi, penyelenggara pemilu tidak bisa lagi bertransaksi karena ruangnya sudah ditutup. Apa yang mau ditransaksikan jika semua orang sudah bisa melihat data perhitungan suara secara online dari tingkat TPS sampai kecamatan?” tegas pria yang pernah belajar di Inggris ini.

Saatnya riset dan teknologi informasi menjadi bagian tidak terpisahkan dari pemilu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P

Belajar Kelompok dan Karakter yang Dibangunnya

Belajar berkelompok melatih beragam keterampilan, seperti tanggung jawab, solidaritas, menghargai pendapat orang dan memprediksi pertanyaan serta menyiapkan sanggahan. Oleh Dedy Hutajulu SUASANA belajar di kelas 3 SMP Negeri 42 Medan, Jalan Platina 3 Kelurahan Titipan Kecamatan Medan Deli terasa heboh. Perdebatan sedang alot-alotnya soal topik Seleksi Alam. Pelajaran Biologi pagi itu diwarnai dengan debat dan baku sanggah. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan antara lima sampai enam orang. Tiap kelompok duduk dengan posisi melingkari. Baru saja Dhea Fisabila (14) tersenyum lega. Ia dan timnya baru saja kelar presentase yang diwarnai adu argumen dengan kelompok lainnya. Pengalaman itu, katanya, sangan mengesankan. Dhea mengaku, belajar berkelompok bukan sekadar mengupas topik Seleksi Alam, tetapi mempraktikkan cara memimpin rapat, bagaimana menghargai pendapat teman, belajar mengorganisir diskusi, memprediksi pertanyaan dari kelompok