Langsung ke konten utama

Gak Bisa Bahasa Inggris, Enyah!

BILA orang sukses bicara, orang rela memasang telinga. Pandangan dan gagasannya di bidang gelutannya itu, terasa begitu kentara. Seakan-akan, ia adalah Romy Rafael yang menghipnotis dengan setiap kalimatnya.

Kalimat-kalimat berupa asupan gizi ilham bagi para pemirsa yang haus cerita. Kalimat yang bernada biasa-biasa namun meresap, menyesap, masuk lebih dalam, ya, jauh lebih dalam hingga ke alam bawah sadar.

Itulah yang dilakukan Junita Togatorop, alumnus Unimed yang sukses meraih beasiswa LPDP. Ia menyihir puluhan peserta talkshow bertajuk "bagaimana meraih beasiswa," yang digelar di Aula FE USU, Medan, Jumat, 22 Oktober 2015.
 
Juni satu-satunya dari Unimed di periode ini yang meraih beasiswa LPDP. Sedang dari Sumut hanya dua. Dia dan Mahyuni Harahap. Sedangkan se-Indonesia ada 150 orang. Angka yang terbilang amat kecil dalam lumbung pelajar Indonesia.

Namun, orang-orang muda sepasti Junita dan Mahyuni masuk dalam bilangan manusia tangguh. Mereka telah mengalahkan dirinya sendiri. Mereka telah menunjukkan pada dunia, kalau mereka sanggup bertarung di level internasional. Mereka orang muda yang bukan hanya bermimpi. Mereka memenuhi takdir mimpinya.

Kini, pihak Panitia Keberangkatan dari LPDP memberi mereka tugas untuk meniupkan angin spirit dari mimbar ke mimbar. Bercerita tentang besarnya peluang meraih beasiswa. Menceritakan kepada lebih banyak orang muda tentang luasnya bentang benua dan hamparan negeri-negeri yang tersaji buat dijelajahi. Tentang kayanya ilmu pengetahhuan di negeri Eropa, seperti pernah dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam romannya, Bumi-Manusia.  

Mendahului langkah Junita dan Mahyuni, seorang ibu rumah tangga sekaligus dosen, Yasmin Chairunisa Muctar, penerima beasiswa Fullbright S3, Bidang Enterpreneur, juga bercerita tentang mimpi-mimpinya yang mulai menemukan wujudnya di negeri serba bebas Amerika Serikat. "Saya ingin bawa suami saya ke sana," pungkasnya.

Ia menganjurkan agar yang muda berani bermimpi. Dan Mimpi harus dikerjakan. Dipenuhi. Meski ada proses panjang yang menyertai. Dan penguasan bahasa Inggris tak bisa ditawar-tawar. Semua diawali mimpi, adalah pesan klasik. Tak ada yang membantahnya. Namun, hanya sedikit yang mau membuktikannya pada dirinya sendiri.  Sebab mereka tak memercayai kekuatan dari sebuah proses belajar.

Yasmin mengakui telah banting lidah belajar bahasa Inggris. Dari baca buku, hingga nonton filem. Dari dengar lagi barat hingga chatting di medsos. "Saya bahkan belajar TOEFL itu setahun. Saya bikin target. Saya persiapan dengan matang," kisahnya.

Ia seakan memaklumkan adagium ini: "If you can't speak English, GET Out from this Island,"

Bahkan, kini anjuran lebih keras bermunculan. "If you do not know English there is no chance".

What?

Ya, gak ada peluang, bro. Pesan ini begitu menohok. Tanpa penguasaan bahasa, gagap gamang untuk belajar di negeri orang. Miss Sherly, guru IELTS bilang, lho gak usah takut belajar bahasa. "Kita terlahir sebagai amatir, tapi jika punya kemampuan determinasi dan komitmen, serta mampu menjaga spirit, dunia bisa kita peluk,"

Dara berlensa dengan bingkai tebal ini menganjurkan belajar bahasa senyaman mungkin. Dengar musik, nonton filem, baca buku, nulis diary dan apa saja. Bila perlu bikin komunitas berbahasa Inggris, cetusnya. Tapi yang utama, mesti pede dan gak takut bikin kesalahan.

"Ketika kamu menyadari melakukan kesalahan, itu artinya kamu ada progress. Kalau sadar kamu bikin salah, apa yang kamu lakukan? Memperbaikinya. Berdiskusi dengan orang lain. Sharing. Maka prosesmu lebih maju. "Jadilah SMART. Orang yang Specific, Measurable, Attainable, Relevants and Time base,"

Orang-orang sepasti Junitas, Mahyuni, Ysmin dan Sherly ini adalah agen-agen perubahan. Mereka meniupkan semangat pada jiwa-jiwa lesu. Mereka membuktikan, dunia Eropa nan Amerika tiada begitu sulit untuk ditaklukkan. Mereka menunjukan sebuah pencapaian selalu bersanding dengan kerja keras, komitmen dan determinasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P