Oleh Dedy Hutajulu
Sebagai jurnalis media
lokal, saya tidak punya uang untuk membantu orang lain. Kemampuan saya hanya
menulis. Itu satu-satunya yang saya punya dalam hidup ini.
***
Christina Hutagalung , Penderita tumor, saat pertama kali memiliki kartu BPJS Kesehatan |
CHRISTINA
Hutagalung (56 tahun) duduk memilah-milah sampah. Tangannya cekatan mencopot plastik
penutup gelas plastik air mineral. Seorang sekuriti memanggilnya.
“Ada
tamu di luar menunggumu,”
“Siapa?”
“Katanya
wartawan,”
Sekuriti
membukakan gerbang. Christina keluar. Pintu gerbang kembali ditutup. Siang itu,
Nenek dua cucu ini diberi kesempatan istirahat sejam demi meladeni saya
wawancara. Saya mengajaknya ke warung kopi, hanya berjarak 500 meter dari
gudang botot tempat dia memulung.
Baru
dua bulan ia bekerja pada gudang botot itu. Di sana ia hanya ditugasi
memilah-milah sampah plastik dengan kertas dan aluminium. Ia diupah Rp 35 ribu
perhari. Sehari ia harus bekerja mulai pukul 9 pagi hingga pukul 6 sore. Bagi
dia, pekerjaan ini lebih mudah ketimbang sebelumnya: memulung keliling. Masuk
gang dan lorong sembari memanggul goni. Ia musti sambangi jalanan dan
tempat-temat sampah. Mengorek dan memilah-milah sampah mana yang layak jual. Ia
melakukannya dengan berjalan kaki. Tak terbayangkan lelahnya.
Itu
pun tak jelas pendapatannya per hari. Jumlah sampah yang diperolehnya tidak
menentu. Karena itu, ketika seorang pengusaha gudang botot menawarkannya
bekerja, ia segera mengangguk.
Saya
mendapatkan informasi tentangnya, dari seorang rekan. Namanya Uba Pasaribu,
aktivis pemulung. Ia aktif mengadvokasi para pemulung. Suatu sore ketika kami
mendampingi pemulung yang hidup di kandang lembu di Medan, Uba menceritakan
tentang penderitaan yang dialami Christina Hutagalung.
“Ada
seorang janda tua. Dia pemulung. Mengidap kanker di perutnya. Kamu bantulah dulu,”
katanya seperti menggugat.
“Dimana?
Ayo kesana?” sahutku.
Dia
menunjukkan jalan. Kami bergerak naik sepeda motor. Kami berhenti di sebuah
gudang botot. Luas gudang itu seukuran dua kali lapangan bola volley. Gudang
itu dililingi tempok batu. Gerbangnya dari pintu besi, setinggi gawang bola
kaki.
Aku
mengintip dari lobang kecil, memanggil penjaga. Sekuriti berseragam hitam
datang menyahut. Setelah menyampaikan maksud, ia pun segera memanggil
Christina. Kami pun mencari tempat ngobrol yang nyaman.
**
Di
warung kopi, Ibu yang sudah lama ditinggalkan anak-anaknya ini bercerita, ia
kerap dicibir para tetangga. Dituding hamil lagi, karena perutnya tampak
membuncit. Padahal suaminya sudah lama mendiang. Ia kerap tidak tahan menerima
cibiran itu. Karena itulah setiap pagi, ia buru-buru meninggalkan kontrakannya
dan baru pulang jika malam sudah gelap. Itulah satu-satunya cara dia
menghindari tatapan mata nyiyir dari para tetangga.
Sudah
hampir setahun ia mengidap kanker tersebut. Ia berusaha menutup-nutupinya. Ia
kerap mengenakan baju hangat. Tak lupa selembar sarung dijadikannya sebagai
penutup kepala dari terik matahari. Ia juga membawa bontot untuk sarapan
siangnya beserta air putih di botol bekas air mineral. Supaya ia tak bolak-balik
pulang ke kontrakannya. Tak ada yang tahu penyakit yang bersarang di perutnya
itu.
“Mereka
menuduhku perempuan tak tau diri. Sudah tua hamil lagi, apalagi suamiku sudah
tiada,” bebernya.
Ia
tetap memulung sekalipun penyakitnya sesekali kambuh. Penyakitnya itu diketahui
ketika ia pernah mengeceknya ke Rumah Sakit di Sunggal. Diagnosis dokternya
menyebut, di dalam perutnya bersarang kanker yang semakin membesar. Kanker itu
harus segera dicabut agar tidak membesar.
Namun
karena tak punya uang, Christina menahan-nahankannya saja. Hingga suatu hari,
ia limbung oleh rasa sakit yang luar biasa. Belakangan daya tahan tubuhnya
merosot. Ia mudah lelah. Akhirnya ia meminta rehat beberapa hari dari pekerjaannya.
Ketika ia terbaring di rumahnya, tanpa ada yang mengetahui, Uba menjenguknya.
Uba pun mengontakku.
Lalu
dengan insight jurnalis yang kupunya, segera kutulis berita tentang Christina.
Dalam hitungan menit, saya kirim ke media tempat saya bekerja. Di online,
berita itu segera tayang dan dishare ratusan kali. Namun tak juga ada hasilnya.
Seminggu
kemudian, berita lanjutan saya tulis lagi, namun masih menggunakan sumber yang
sama. Berita itu pun kembali tayang baik online maupun cetak.
Kali
ini saya juga membawa beberapa jurnalis dari media lain untuk meliput. Berita
hasil liputan itu, kami share di media sosial. Beberapa hari kemudian, mengalir
sejumlah bantuan. Ada yang datang memberikan uang sejuta, ada yang mengantar
beras, ada juga yang menyumbangkan obat ramuan China. Untuk sementara,
sumbangan itu cukup membantu Christina yang
sudah hampir dua minggu tidak bekerja.
Kami
berusaha menghubungi pihak BPJS Kesehatan di Lubuk Pakam, agar Christina bisa
dioperasi. Namun pihak BPJS menolak lantaran ia tidak memiliki Kartu Indonesia
Sehat (KIS). Pihak humas BPJS Kesehatan Lubuk Pakam bahkan mengatakan, mengurus
KIS tidak boleh diwakilkan, musti yang bersangkutan. Padahal kondisi Christina
saat ini sedang sakit parah. Kami pun pulang dengan raut wajah kesal.
Lalu
kami berusaha mengurus identitas kewarganegaraan Christina ke lurah, camat
hingga Catatan Sipil. Ahirnya dengan menghadapi birokrasi yang panjang, kartu
identitas ibu ini pun kelar. Kami kembali ke kantor BPJS Kesehatan di Lubuk
Pakam, namun kembali gagal, karena Pihak BPJS Kesehatan meminta kami harus
membawa yang bersangkutan untuk mengurusnya. Walau sudah kami jelaskan
kondisinya.
Akhirnya
dengan kesal, saya kembali menuliskan laporan tentang Christina yang sekarat
namun ditolak pihak BPJS Kesehatan. Beberapa hari kemudian, Kepala Humas BPJS
Kesehatan Sumut Irfan Humaidi mengontak saya. Irfan menanyakan perihal
kebenaran fakta berita yang saya tulis. Lalu saya jelaskan via telepon.
Mendengar penjelasan saya, Irfan pun ikut prihatin. Sebagai bentuk empati dan
sikap baikknya, ia kemudian menghubungkan saya dengan Humas BPJS Cabang Lubuk
Pakam, Ikhwal Maulana.
Ia
meminta saya agar memfasilitasi mereka bertemu dengan ibu Christina. Saya
sanggupi. Namun karena mempertimbangkan keterangan saya, tentang lokasi rumah
kontrakan korban yang di pelosok, di Jalan Binjai KM 13, dekat rel kereta api,
ia pun mengurungkan niat. Sebab memang akses jalan ke rumah Christina tidka
bisa dilalui kendaraan, karena masuk gang dan jalan setapak.
Akhirnya
pihak BPJS Kesehatan Lubuk Pakam meminta saya membawa Chistina ke kantornya.
Saya sanggupi. Esoknya, saya dan Uba membawa Ibu Christina ke Lubuk Pakam. Kami
naik becak. Setibanya di sana kami diterima dengan baik. Kepala Cabangnya, dr
Phindo Bagus Dharmawa, Kepala Humasnya
Ikhwal Maulana dan Kepala Unit MK UPMP4 Pretty menerima langsung kehadiran Christina Hutagalung di ruang kerjanya, di Jalan
Diponegoro No 111 BC, Lubuk Pakam.
Alhasil,
hari itu hanya 15 menit, KIS-nya ibu Christina segera diterbitkan. Kami pun
bisa bernafas lega. Maulana berterima kasih kepada saya yang sudah berkenan
melacak oang susah seperti Christina sekaligus menulis kisahnya di media.
“Terima
kasih pak Dedy. Kami tahu informasi
tentang Bu Christina ini setelah
membaca tulisan bapak di media online. Kami senang sekali. Kami minta maaf
selama ini. Kami juga meminta Bapak agar jangan bosan-bosan menulis tentang
orang-orang beginian. Kalau kami pak, tak bisa kami jangkau semua orang, karena
wilayah Deli Serdang ini begitu luas. Dengan bantuan jurnalislah, kami bisa
tahu informasi yang luput dari perhatian kami,” ujarnya memuji.
Saya
senang karena apa yang saya lakukan justru diapresiasi pihak BPJS Kesehatan.
Mereka tidak berang dengan kritik saya di media. Mereka bahkan meminta saya
terus menulis. Saya lebih senang karena akhirnya bisa membantu ibu Christina.
Sebagai jurnalis media lokal, saya tidak punya uang untuk membantu orang lain.
Kemampuan saya hanya menulis. Itu satu-satunya yang saya punya dalam hidup ini.
Namun dengan model itupun, saya bisa berbagi hidup dengan orang lain.
Setelah
itu kami pulang. Esoknya, Christina segera masuk rumah sakit. Ia menjalani
operasi. “Sebesar bola volley kankernya dikeluarkan dari perutku,” katanya mencritakan
saat saya berkunjung ke kontrakannya, beberapa hari lalu.
Ia
tergopoh-gopoh membuka pintu saat kami datang. Ia malu karena sama sekali tak
bisa menggelar tikar atau menyediakan kursi untuk duduk. Kontrakannya nyaris
kosong melompong. Tak ada kursi atau meja. Rumah dengan dua kamar itu bahkan
hanya mengandalkan satu lampu 25 watt sebagai penerangan. Tidak ada kamar
mandi.
Saya
senang saat dipersilakan duduk. Kami berselonjor di lantai. Lobang ada di
sana-sini lantai rumahnya. Saya tak mempedulikan kondisi itu. Saya datang
hendak menjenguknya saja, sekaligus mencari tahu informasi tentang perkembangan
kesehatannya.
“Sekarang
sudah sehat. Ini sudah mulai bisa jalan. Kata dokter, saya harus berusaha jalan
minimal 15 menit sehari. Maaf, saya pesankan minuman dulu ya ke warung,”
katanya menawarkan.
“Saya
sudah minum tadi sebelum ke sini,” kata saya menolak halus.
Ia
kemudian melanjutkan ceritanya. Katanya, sekarang ini tinggal menjalani proses
control setiap minggu. Biayanya sekitar Rp 40 ribu sekali control. Obat dari
dokter juga masih banyak. “Kata dokter, saya musti banyak istirahat. Namun dua
bulan lagi, kata dokter, saya sudah bisa bekerja,” pungkasnya.
Saya
senang melihat dia sudah lebih segar. Bahkan dua bulan lagi ia sudah bisa
kembali memulung. Terjun pada aktivitas hariannya. Yang paling menyenangkan,
kata dia, orang kini sudah tak lagi mencibirnya setelah tahu kalau didalam
perutnya yang membesar itu bukanlah janin, tetapi penyakit ganas. (*)
Komentar