ROLAN BRIAN Tambunan, balita umur 14 bulan mendadak kejang-kejang, Selasa (18/9). Mulutnya berbuih. Paulina Pasaribu (34) begitu panik dan ketakutan. Sebagai ibu, ia tak ingin terjadi suatu yang buruk pada bayinya. Ia lekas mengambil inisiatif. Ia boyong buah hatinya itu ke rumah sakit terdekat, dengan menumpang beca motor tetangga.
Roland tidak sendiri. Di Simalungun ada Wahyu Satria, bayi umur 1,5 tahun, anak kuli bangunan, yang juga mengalami gizi buruk. Pasangan suami-istri, Rulian dan Nurmawaty berusaha keras menyelamatkan anak mereka dari penyakit gizi buruk itu. Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Simalungun Kasmiati mengakui, pihaknya tidak bisa mengatasi seluruh persoalan gizi buruk di Simalungun.
Program Prioritas
Menyikapi persoalan stunting, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumut Drs Agustama, Apt mengatakan, itu masalah multisektor dan merupakan program prioritas nasional. "Kami sudah berupaya untuk melakukan berbagai hal mulai pencegahan dan penanggulangan stunting," terangnya.
Menanggapi kasus di atas, Sekretaris Komisi E DPRD Sumut Reki Nelson mengatakan, angka gizi buruk dan stunting, di Sumut terbilang tinggi. Tingginya angka gizi kurang menandakan program Dinas Kesehatan Sumut gagal. Jika kita sepakat ingin mewujudkan masyarakat Indonesia Sehat, seharusnya Dinkes Sumut bisa bekerja lebih ekstra, menangani gizi buruk dan menyusun strategi pencegahan stunting, karena ini menyangkut kesehatan masyarakat.
Keluarga ini tinggal di rumah sewaan di lahan garapan, Jalan Germenia Tower, Desa Kelambir 5 Kebun, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebuah rumah berdinding tepas bambu. Minim pencahayaan dan hanya ada sebuah bohlam menerangi kamar. Jarak dari kediamannya ke Rumah Sakit Advent, Medan sekitar enam kilometer dengan rute tempuh berupa jalanan buruk, becek dan berlobang.
Saat ditemui di Rumah Sakit Advent Medan, Paulina bercerita jika bayinya mendadak mengalami demam tinggi. Bahkan sudah tujuh kali kejang-kejang dalam satu hari itu. "Kondisi anak saya ini memang sakit-sakitan. Sering demam dan flu. Itu sudah sejak dua bulan lalu. Kami bolak-balik masuk rumah sakit," terangnya.
Paulina menuturkan, saat ini ia dan suaminya benar-benar berjuang untuk kesehatan Rolan Brian. Sebab, kata dokter yang sempat merawat bayinya itu, Rolan mengalami gizi buruk. Saat lahir berat badannya 3,2 kg. Setelah usia 14 bulan berat badannya hanya 7 kg. Pertumbuhannya lambat. "Dokter menegur kami, karena anak kami gizi buruk," timpal ibu tiga anak itu.
Paulina menambahkan, suaminya, Renold Tambunan (34) juga telah berusaha bekerja keras sebagai sopir mobil angkutan umum. Suaminya bekerja hingga larut malam demi menafkahi keluarganya. Keluarga ini terlilit banyak utang.
Dokter yang merawatnya di rumah sakit juga mengatakan pertumbuhan berat badan Rolan terlambat. Itu yang menyebabkan bayi tersebut mudah terserang penyakit. "Dokter sudah menasihati, agar kami merawat anak kami ini dengan betul-betul. Tapi dari manalah uang kami. Saya juga baru terkena musibah," ungkap Paulina sembari menunjukkan kaki kanannya yang bengkok, menghitam dan lebam di bagian pergelangan.
Ia disenggol mobil saat memulung di daerah Jalan Gaperta Medan, dua bulan lalu, sehingga kakinya patah. Ia sudah mengobati kakinya itu dengan berobat tradisional ke dukun patah tulang. Namun proses penyembuhan butuh waktu lama.
Persoalan ekonomi yang menghimpit keluarga Paulina telah mengakibatkan anaknya jadi korban kekurangan asupan gizi. Tak hanya itu, ketika kondisi Rolan dinyatakan sudah membaik, setelah dirawat empat hari, namun orangtuanya belum bisa membawanya pulang dari rumah sakit. Sebabnya, terkendala masalah pembiayaan.
“Suami saya telah berusaha mencari pinjaman ke sana kemari. Juga sudah mencoba meminjam uang ke koperasi namun belum berhasil lantaran tidak ketemu dengan pengurus koperasi. Hanya 200 ribu uang kami. Sementara biaya perobatan cukup besar,” beber Paulina.
Selama Paulina sakit, ia tak lagi bisa memulung. Padahal ia harus menutupi utang dari koperasi dengan cicilan Rp 50 ribu perhari. Suaminya juga kewalahan karena tidak punya sumber tambahan pendapatan selain dari mengemudikan angkot. Pasutri ini juga harus berjuang membesarkan tiga anaknya. Sayangnya keluarga ini tidak memiliki kartu Jaminan Kesehatan Nasionan BPJS Kesehatan, sehingga tak bisa mendapatkan pengobatan gratis.
Menyikapi kasus ini, Kepala Dinas Kesehatan Deli Serdang dr Ade Budi Krista mengatakan, pihaknya akan segera mengecek langsung kondisi korban ke rumah sakit atau ke rumah orangtua anak tersebut. "Kalau dia memang penduduk Deli Serdang, dan kepala desa tau, pasti bisa dibuat surat keterangan saja bahwa dia memang warga di situ dan dia berhak untuk mendapat jaminan kesehatan daerah. Bisa dibawa ke Rumah Sakit Pakam atau ke Pustu Kelambir dan yang membawa pihak puskesmas," terang Ade.
Namun Ade mengatakan, pihaknya segera melacak dan mencari tahu keberadaan rumah anak penderita gizi buruk itu. "Kalau memang dia gizi buruk, biar tau kami mengambil tindakan medis. Ya tolong kirimkan alamat mereka ya biar bisa kami bantu," timpalnya.
Prevalensi Gizi Buruk
![]() |
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id |
Namun, ia menilai tidak ada gizi buruk murni di Kabupaten Simalungun. Namun gizi buruk yang disertai dengan penyakit tertentu ada tujuh kasus. "Di Simalungun tidak ada gizi buruk murni. Yang ada gizi buruk disertai penyakit. Jadi kalau penyakitnya tak disembuhkan, meskipun dibantai dengan makanan, ya gizi buruknya nggak bakal bisa dituntaskan," terangnya.
Menurut Kasmiati, anak yang menderita gizi buruk di Simalungun banyak yang pendatang. Kaum urban di Simalungun belum terdata dengan baik. "Kadang bayi ini pindah, kalau sakit datang lagi ke Simalungun. Ketika berat badannya turun datanglah ke Simalungun, itulah yang sering terjadi," katanya.
Tak hanya Rolan dan Wahyu yang menderita gizi buruk. Data Pantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut, menyebut prevalensi balita gizi buruk dan kurang di Sumut pada 2017 sebesar 18,2 persen. Angka itu terdiri dari 5,2 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Angka ini lebih tinggi 5 persen dibanding 2016 yang mencapai 13,2 persen. Jika dibandingkan lagi dengan 2015 yang mencapai 19,5 persen memang mengalami penurunan sebesar 1,3 persen.
Dengan angka sebesar 18,2 persen prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di 2017, Sumut termasuk dalam kategori medium sesuai standar WHO (5-9 persen rendah, 10-19 persen medium, 20-39 persen tinggi, lebih 40 persen sangat tinggi).
Di tingkat kabupaten/kota, tiga tertinggi prevalensi gizi buruk dan gizi kurang antara lain, Nias Barat 36,8 persen, Nias 33,9 persen dan Nias Utara 28,4 persen. Sedangkan tiga terendah kabupaten/kota yang prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yakni Medan 6 persen, Pakpak Barat 11,7 persen dan Deli Serdang 12,5 persen.
Sedangkan secara nasional, dari hasil PSG Kemenkes 2016 ditemukan 21,7 persen bayi usia di bawah dua tahun (Baduta) mengalami stunting. Dan bayi usia di bawah lima tahun (Balita) yang mengalami stunting 27,5 persen. Jumlah tersebut terdiri dari 8,5 persen Balita dengan status tinggi badan sangat pendek dan 19 persen dengan status tinggi badan pendek. Berdasarkan standar WHO, suatu wilayah mengalami masalah kekurangan gizi kronis jika prevalensinya di atas 20 persen.
Menyikapi angka gizi buruk itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan, drg Usma Polita Nasution mengatakan, kasus gizi buruk di kota Medan sudah menurun pada 2018. Hingga Desember 2017 tercatat 99 kasus. Angka gizi buruk pun turun menjadi 82 kasus hingga Juni 2018. "Ini memang masalah kita bersama, tetapi yang terpenting bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang gizi buruk ini," cetusnya.
Kementerian Kesehatan menyebut, gizi buruk ini terjadi salah satunya karena kemiskinan masyarakat. Anak-anak yang kekurangan gizi berpotensi mengalami stunting dan menghambat pertumbuhan otak. Karena itu, program 1.000 hari pertama kehidupan (sejak bayi dalam kandungan hingga berusia dua tahun) merupakan usia emas bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak sebagai harapan masa depan bangsa harus dicegah dari kekurangan gizi di usia dini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tentang kemiskinan pada 2017 menjadi alarm peringatan bagi kita. Mengingat angka kemiskinan sebesar 1.326.000 jiwa. Angka ini mengundang rasa prihatin dan butuh perhatian serius dari pemerintah. Sebab kemiskinan berpotensi memicu beragam persoalan kesehatan bagi balita.
Stunting
Hasil pemantauan status gizi (PSG) Dinkes Sumut 2017 diperoleh, prevalensi stunting sebesar 28,4 persen. Terjadi peningkatan 4 persen dari tahun 2016 (24,4 persen). Bila dibandingkan dengan prevalensi sangat pendek dan pendek, keadaan pada 2016 menunjukkan peningkatan pada prevalensi sangat pendek dari 9,3 persen tahun 2016 dan 12,5 persen tahun 2017. Serta peningkatan prevalensi pendek dari 15,1 persen pada 2016 menjadi 16 persen pada 2017.
Berdasarkan kabupaten/kota hasil PSG 2017 menunjukkan ada 22 daerah di Sumut yang memiliki prevalensi tubuh pendek di atas angka prevalensi Provinsi Sumut (28,4 persen). Urutan tiga tertinggi prevalensi badan pendek yaitu Nias Barat (45,7 persen), Nias Utara (41,6 persen), Nias (41,6 persen).
Sumber video: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id
Pada 2017, angka prevalensi berat badan dibagi tinggi badan (BB/TB) kurus pada balita sebesar 14,5 persen. Jika mengacu pada standar WHO, masalah kekurusan di Sumut hampir masuk dalam kategori masalah kesehatan masyarakat yang kritis. Sedangkan untuk kabupaten/kota, ada 12 daerah yang masuk kategori serius dan 15 daerah termasuk kategori kritis.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Martin Harefa mengatakan, Pemkab Nias melakukan lima hal untuk menangani gizi buruk dan mencegah stunting. Lima hal itu yakni, pertama, menangani gizi buruk dengan biaya penuh dari Pemkab Nias.
Kedua, pemberian makanan tambahan bagi balita gizi kurang dan ibu hamil kekurangan gizi kronis. Ketiga, pemberian tablet tambah darah bagi remaja untuk mencegah stunting.
Berikutnya, memberikan pelatihan pelatihan atau penyegaran bagi petugas gizi puskesmas/bidan desa/kader posyandu. Terakhir, memberi penyuluhan gizi di posyandu.
Sumber video: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id
Program Prioritas
Menyikapi persoalan stunting, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumut Drs Agustama, Apt mengatakan, itu masalah multisektor dan merupakan program prioritas nasional. "Kami sudah berupaya untuk melakukan berbagai hal mulai pencegahan dan penanggulangan stunting," terangnya.
Beberapa hal yang dikerjakan Dinkes Sumut, sambung Agustama, antara lain dengan pendekatan intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan bayi, mulai dari konsepsi sampai anak usia 2 tahun dengan pendekatan program spesifik bidang kesehatan dan mendorong lintas sektor terkait sebagai pendekatan sensitif, dengan mendorong kabupaten-kota mempunyai dokumen Rencana Aksi Daerah dalam penanggulangan stunting.
Untuk masalah angka gizi buruk (buruk dan kurang) yang mencapai 18 persen di Sumut, Agustama mengatakan, Dinkes Sumut sudah menyusun rencana aksi daerah penanggulangan stunting. "Kita buat rencana aksi daerah dalam penanggulangan stunting," imbuhnya.
![]() |
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id |
"Jelas program Dinas Kesehatan Sumut sudah gagal. Kinerja Kepala Dinas Kesehatan Sumut harus dievaluasi segera. Kerjalah. Jemput bola. Jangan tunggu laporan dari bawahan. Apalagi ini sudah mau masuk 2019. Angka gizi kurang haruslah terus ditekan," pungkasnya. (Dedy Hutajulu)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar