KPK Kuatkan SDMmu Dulu
Oleh Dedy Hutajulu
Indonesia dikenal sebagai negeri raya
sumber daya alam. Herannya, kekayaan itu tak berdampak pada kesejahteraan
rakyat. Data BPS 2012 mencatat, 29 juta rakyat kita masih dilanda kemiskinan.
Apa sebab? Korupsi meroyak. Para koruptor merampok habis-habisan uang negara.
Hutan dibotakgunduli demi uang. Birokrasi tambun. Tak heran, hampir-hampir semua
instansi pemerintah tak ada lagi yang ‘bersih’ dari korupsi. Bahkan, instansi
penegak hukumnya pun turut terindikasi terlibat.
Kita masih ingat kasus korupsi
simulator SIM di kepolisian. Kita juga tak mungkin lupa kasus korupsi yang
dihembuskan mantan Kabareskrim Susno Duadji yang dia sendiri ikut terlibat
sehingga dipenjarakan. Lalu kasus Bank Century, Kasus Hambalang, Kasus jaksa
dan mahkamah agung yang terlibat
korupsi. Lihat, sungguh parah korupsi di negeri kita ini. Sekujur tubuh
negeri ini telah luka dan penuh bilur akibat korupsi. Ngeri!
Kengerian itu makin diperparah
dengan cap yang disematkan para aktivis antikorupi, “Indonesia surga bagi
koruptor,” kata mereka. Sepadan memang! Kita bersyukur sejak ada KPK, belitan
korupsi sedikit demi sedikit bisa dipangkas. Dengan kewenangannya yang luar
biasa, KPK terus menunjukkan gebrakannya. Sepak terjangnya laun-laun
mengembalikankepercayaan rakyat yang selama ini sudah pupus, kepercayaan bahwa
korupsi (pasti) bisa diberantas.
Namun, sampai hari ini upaya
pelemahan terhadap lembaga pemberantas korupsi itu terus terjadi. Tentulah itu
ulah orang-orang yang tak menginginkan bangsa ini lebih baik. Kendati demikian,
kita bangga KPK tetap bergeming. Seiring bertambahnya waktu, rupanya para
koruptorpun makin ‘cerdas’saja. Kejahatannya makin terselubung rapi. Komunitas diantara
mereka terjalin sangat kuat.
Untuk memutus mata rantai
kejahatan itu, maka kekuatan KPK perlu ditambah. Penambahan sumber daya manusia
yang andal perlu guna mengimbangi kekuatan koruptor. Wakil Ketua KPK Zulkarnain Selasa (23/10) lalu
dalam jumpa pers di Medan menyebutkan, setiap tahun ada 6.000 laporan yang
masuk ke KPK melalui tujuh saluran. Untuk Sumut, jumlah laporan tahun 2011
mencapai 4.648 laporan. Tentu tidak semua laporan itu akan ditindaklanjuti. Laporan-laporan
tersebut dipilah dulu mana yang dapat ditindaklanjuti ke proses penindakan oleh
lembaga KPK.
Anda tentu tak percaya. “Apa?
Berapa Tadi?” Kita terhenyak mendengar angka itu. Sebanyak itukah? Pertanyaan
berikutnya, Mengapa tak semua laporan bisa ditindaklanjuti? "Selain bukan
merupakan kewenangan KPK,” ujarnya Zulkarnain, kemudian cepat-cepat
ditambahkannya, “Juga karena kami [KPK] kekurangan tenaga sumber daya manusia sehingga
tidak jarang KPK melakukan koordinasi dengan lembaga terkait seperti
kepolisian, kejaksaan BPK dan BPKP dalam upaya pembongkaran tindak pidana
korupsi,"
Poin kedua; “Kekurangan SDM” ini menjadi perbincangan kita. Mengapa KPK tidak melakukan rekrutmen terus menerus? Ternyata, KPK memang melakukannya. Sayangnya, hasil rekrutmennya minim sekali. Pasalnya, untuk merekrut anggota, KPK menerapkan sistem yang ketat sehingga yang kemudian terpilih memang orang yang tahan godaan yang tidak suka dilayani tetapi melayani. “Pernah ada instansi yang merekomendasikan 10 orang untuk menjadi anggota KPK, namun tidak satupun dari mereka lulus," katanya menjelaskan.
Terlepas dari hasilnya. Menurut
saya, kalau keterbatasan SDM membuat KPK kerap melakukan kerjasama dengan
beberapa instansi agar proses penegakkan hukum tindak pidana korupsi dapat
terus berjalan. Ini berbahaya. KPK mesti menjaga independensinya. Karena itu ia
harus punya tenaga sendir, bukan pinjaman apalagi titipan.
Apa pun alasannya, kekurangan itu
sungguhlah perintang dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, KPK sendiri masih
lembaga yang bersifat sementara, belum permanen. Artinya suatu waktu bisa
tutup. Belum lagi, lembaga seperti kepolisian dan kejaksaan bukanlah mitra
kerja yang tepat buat KPK, karena sejatinya tugas KPK utamanya membersihkan
lembaga-lembaga penegak hukum, bukan untuk menangkapi koruptor atau
mengembalikan uang negara. Kerjasama (baca: kedekatan) dengan lembaga lain
rentan memicu sikap ‘main mata’ yang efeknya tentu melemahkan kinerja.
Kita jenuh menyaksikan berulang
kali KPK diadu dengan Polri atau dibenturkan
dengan para jaksa. Ini menjadi dilema. Ini buah independensi yang mulai
dikotomi. Maka tak bisa ditawar lagi, perekrutan
secara intens dan komprehensif harus dilakukan. Saya yakin, itu bisa dilakukan
KPK. Perlu kita camkan, selama KPK belum punya tenaga penyidik sendiri, sangat
mungkin kasus seperti yang dialami Novel Baswedan tetap terjadi. Independensi KPK bisa terjaga
jika dan hanya jika orang-orang KPK benar-benar independen, bukan
rekrutan/pinjaman dari instansi lain. Saya yakin, ada banyak anak muda
cerdas-gigih-tangguh—plus antikorupsi di negeri ini. KPK cuma perlu usaha lebih
keras untuk menjaringnya. Di kampus-kampus itu ada. Di daerah pasti juga ada.
Coba sedikit lebih keras lagi.
Komentar