Setiap
Anak Berhak Belajar
Dedy
Hutajulu
Rabu sore di
Bulan November. Matahari hampir sembunyi di Bagian Barat Nusantara. Petang
mengusir siang. Sekitar 30-an anak-anak belia sudah menunggu sejak tadi dilapak
belajar mereka, sebuah garasi rumah pasangan Bapak David Zebua dengan Ibu Bertha
Nababan. Di lapak itu cuma tersedia dua papan tulis putih, kalau ditaksir,
ukuran 1x2 m persegi, ada spidol tiga macam warna: merah biru, hitam, serta
tikar dan tiga meja mini.
Wajah polos nan lugu
itu tampak berseri-seri menyambut kedatangan gurunya, Rossy Hutahaean. “Sore,
Kak” sahut anak-anak. Sungguh tertib dan hormat anak-anak itu pada gurunya.
Sekilas, dari pakaian mereka yang ala kadarnya serta dan muka yang tak ada
bekas sapuan bedak, bisa ditebak, mereka bukan anak orang berada. Tapi,
lihatlah senyum mereka tulus seperti kuncup yang baru mekar, bukan buatan dan
tiada kepura-puraan.
Tunas-tunas bangsa itu benar-benar
rindu belajar. Terlihat dari antusiasme mereka menayambut kedatangan gurunya. Itulah
anak-anak “cemara”. Disebut demikian karena mereka adalah anak-anak warga yang
tinggal di sekitar Jalan Cemara, Medan. Keluarga yang rata-rata ekonominya sekarat. Ayah saya tukang becak dayung, mama tukang cuci
kain. Tapi saya mau jadi, dokter Bang,” ujar seorang anak.
Keceriaan itu makin
kentara ketika pelajaran dimulai. Rossy memulainya dengan ungkapan-ungkapan
sehari-hari untuk memudahkan anak mengerti dan berlatih ngomong Bahasa Inggris.
Agar lebih efektif, sengaja, anak-anak dibagi dua kelompok, separuh diajar oleh
Rossy (kelompok I), separuh lagi oleh Andrew. Pangkalan belajar mereka di Jalan
Purwosari Gang Hiligio No. 2 Kecamatan Brayan, Daerah Cemara. Muridnya sekitar
30 orang. Gurunya cuma 7 orang. Mereka itu: Rossy Hutahaean, Seri Tarigan, Netty,
Maria, Herwida, Andrew Oscar Simanjuntak dan Ira Munthe. Jadwal mengajar tiga
periode: Selasa, Rabu, Kamis, mulai pukul 5 sore hingga pukul 8 malam,
bergantian. Semua guru yang direkrut dengan dua syarat: sukarela (tak bergaji) tapi serius mengajar dan tidak
mengorbankan anak-anak.
Suatu ketika saya
tanya, “Mengapa tetap bertahan mau mengajar anak-anak itu padahal tak digaji?”
“Alasan saya sederhana,” sahut Bung Andrew. Kemudian cepat-cepat ia lanjutkan
jawabannya, “Semua anak berhak atas pendidikan, tak terkecuali anak kurang
mampu. Kita tidak bisa menolak anak-anak yang niat belajar. Selagi ada yang mau
diajari, ya, saya ajari dan didik. Dan sejauh ini, saya merasa hepi-hepi saja. Anak-anak itu juga
senang.”
Saya percaya, Bung
Andrew paham betul prinsip “Pendidikan menentukan masa depan bangsa” dan “Semua
berhak belajar”. Jawabannya sungguh menggugah hati saya. Pandangan yang sama
juga dituturkan Rossy. Ia menuturkan, niat mengajar awalnya tidak ada. “Saya lebih
pengen kerja kantoran karena melihat orang
tua saya yang kerja di kantor,” ungkapnya.
Namun, katanya kemudian
melanjutkan, “Masakan dari Senin sampai Sabtu tidak ada waktu saya buat mereka.
Nantikan ada pertanggungjawaban di Sorga. Maka, minimal satu hari saya sediakan
untuk anak-anak Cemara”
Motivasinya menjadi
guru, kata Rossy, setelah melewati proses pergumulan panjang. Tapi, “Saya
bersyukur terjaring dalam seleksi masuk PTN dan Universitas Negeri Medan. Sekarang
saya sadar, profesi guru ini sekaligus sebagai proses pembentukan karakter saya
juga. “Soalnya, dulu saya money oriented
(orientasi uang), sekarang sudah niat mendidik orang,” ujarnya.
Di tengah jam
mengajarnya yang padat di SMP Santo Tomas 2 Medan, Rossy tetap meluangkan
waktunya mengajari anak-anak “Cemara”. Tak ada pengecualian atau pilih kasih,
semua anak di matanya sama, harus dilayani dengan baik. Gadis berumur 27 tahun
itu tetap beah meski sudah tiga tahun mengajar di Cemara tanpa mendapat uang
sepeser pun. Ia sadar, rezekinya datang dari Tuhan. Sekarang ia malah lebih
giat lagi memikirkan bagaimana merekrut guru-guru agar lebih maksimal
pengajaran dan pendampingan pada anank-anak itu, karena jumlah anak tiap tahun
makin bertambah banyak. Andrew juga begitu. Meski mengajar di sekolah lain ia
tetap laungkan waktu bagi anak-anak “Cemara”. Semua karena didasari kecintaan
pada anak-anak.
Anak-anak itu dulu (di
tahun 2009), tutur Rossy, bisa dihitung dengan jari tangan kiri. Kini sudah
puluhan, mungkin tahun depan ratusan. Awalnya, ketika timnya meretas kelas
belajar di Cemara, warga di sana curiga dan ada yang mencibir. Tapi karena
dilihatnya anak-anak makin pintar dan tidak dipungut biaya sepeser pun,
laun-laun warga makin percaya dan membawakan sendiri anak-anaknya ke tempat
belajar.
Setelah kepercayaan
warga berhasil didapat dan anak-anak makin banyak, muncul persoalan baru.
Bagaimana mencarikan tempat belajar agar jangan lagi belajar di teras rumah,
yang kalau hujan basah-basahan. Juga bagaimana menambah tenaga pengajar agar
optimal. Sekali lagi, Andrew dan Oscar, dan 5 rekan lainnya tetap semangat.
Mereka tak mau berwacana tentang cara memberantas buta aksar. Mereka bukan sedang
berpolitik, hanya sedang menunaikan keyakinan bahwa setiap anak berhak mendapat
pendidikan.
Pekerjaan membangun
bangsa memang mustahil bisa kalau dikerjakan sendirian. Perlu banyak tangan,
banyak pikiran yang bahu-membahu, saling bagi beban, seperti yang Bung Andrew
atau Saudari Rossy lakukan. Mereka persembahkan hati, tenaga, waktu, dan ilmu.
Mereka tidak ingin dipuji, Anda bisa apa? Pakaialah kebisaan Anda itu untuk
membangun bangsa ini.
Komentar