Dari Srintil, sang ronggeng, aku belajar kalau ternyata
sesundal-sundalnya perempuan--mungkin ini cuma rekaan Ahmad
Tohari--mereka ternyata haus kebebasan (bebas untuk menentukan
pilihannya, termasuk memilih siapa lelaki yang akan diajaknya berkencan,
dinikahinya serta mengandung dan melahirkan bayinya sendiri).
Dan sekalipun takdirnya sebagai ronggeng, tetap saja Srintil merindukan masa-masa menjadi seorang ibu, menjadi seorang wanita yang sesungguhnya, dekat dengan bayi, meneteki bocah dari air payudaranya, menggendongnya hingga terlelap dalam embanan, mendongengkan cerita indah walau bonus yang akan diterimanya hanyalah guyuran kencing dan rengek sang bocah.
Srintil--dan wanita-wanita di pedukuhan itu--adalah suatu paradoks dari desa yang tak kalah paradoks. Perempuan yang tidak membangkang pada takdirnya sebagai ronggeng, sebagai pembangkit hasrat primitif kaum adam. Dan wanita di dukuh itu betapa aneh (bangga jika suami mereka bisa meniduri sang ronggeng--hanya demi cap pria sejati-pria perkasa).
Dan dukuh paruk, simbol desa persundalan, percabulan, olok-olok, kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Namun, warganya tidak peduli akan segala keburukan itu. Mereka hanya tahu segalanya sudah ditakdirkan. Bagian dari sasmita. Tidak ada upaya untuk membuat jarak. Merubah nasib. Melawan takdir.
Berbeda dengan watak manusia modern yang tak percaya takyul. Yang justru meyakini didunia ini hanya satu yang tak bisa diubah: kematian. Di luar itu, manusia berkekuatan untuk menggeser takdirnya ke arah lain.
Srintil dari dukuh Paruk, barang kali juga potret wanita zaman kini yang sampai kapan pun tetap merindukan satu masa dimana dirinya sebagai wanita bisa merasakan pesona kasih seorang laki-laki impian sekaligus mendamba diri menjadi ibu bagi tunas-tunasnya sendiri.
Dan sekalipun takdirnya sebagai ronggeng, tetap saja Srintil merindukan masa-masa menjadi seorang ibu, menjadi seorang wanita yang sesungguhnya, dekat dengan bayi, meneteki bocah dari air payudaranya, menggendongnya hingga terlelap dalam embanan, mendongengkan cerita indah walau bonus yang akan diterimanya hanyalah guyuran kencing dan rengek sang bocah.
Srintil--dan wanita-wanita di pedukuhan itu--adalah suatu paradoks dari desa yang tak kalah paradoks. Perempuan yang tidak membangkang pada takdirnya sebagai ronggeng, sebagai pembangkit hasrat primitif kaum adam. Dan wanita di dukuh itu betapa aneh (bangga jika suami mereka bisa meniduri sang ronggeng--hanya demi cap pria sejati-pria perkasa).
Dan dukuh paruk, simbol desa persundalan, percabulan, olok-olok, kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Namun, warganya tidak peduli akan segala keburukan itu. Mereka hanya tahu segalanya sudah ditakdirkan. Bagian dari sasmita. Tidak ada upaya untuk membuat jarak. Merubah nasib. Melawan takdir.
Berbeda dengan watak manusia modern yang tak percaya takyul. Yang justru meyakini didunia ini hanya satu yang tak bisa diubah: kematian. Di luar itu, manusia berkekuatan untuk menggeser takdirnya ke arah lain.
Srintil dari dukuh Paruk, barang kali juga potret wanita zaman kini yang sampai kapan pun tetap merindukan satu masa dimana dirinya sebagai wanita bisa merasakan pesona kasih seorang laki-laki impian sekaligus mendamba diri menjadi ibu bagi tunas-tunasnya sendiri.
Komentar