Langsung ke konten utama

Resah Wanita

Dari Srintil, sang ronggeng, aku belajar kalau ternyata sesundal-sundalnya perempuan--mungkin ini cuma rekaan Ahmad Tohari--mereka ternyata haus kebebasan (bebas untuk menentukan pilihannya, termasuk memilih siapa lelaki yang akan diajaknya berkencan, dinikahinya serta mengandung dan melahirkan bayinya sendiri).


Dan sekalipun takdirnya sebagai ronggeng, tetap saja Srintil merindukan masa-masa menjadi seorang ibu, menjadi seorang wanita yang sesungguhnya, dekat dengan bayi, meneteki bocah dari air payudaranya, menggendongnya hingga terlelap dalam embanan, mendongengkan cerita indah walau bonus yang akan diterimanya hanyalah guyuran kencing dan rengek sang bocah.



Srintil--dan wanita-wanita di pedukuhan itu--adalah suatu paradoks dari desa yang tak kalah paradoks. Perempuan yang tidak membangkang pada takdirnya sebagai ronggeng, sebagai pembangkit hasrat primitif kaum adam. Dan wanita di dukuh itu betapa aneh (bangga jika suami mereka bisa meniduri sang ronggeng--hanya demi cap pria sejati-pria perkasa).



Dan dukuh paruk, simbol desa persundalan, percabulan, olok-olok, kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan. Namun, warganya tidak peduli akan segala keburukan itu. Mereka hanya tahu segalanya sudah ditakdirkan. Bagian dari sasmita. Tidak ada upaya untuk membuat jarak. Merubah nasib. Melawan takdir.



Berbeda dengan watak manusia modern yang tak percaya takyul. Yang justru meyakini didunia ini hanya satu yang tak bisa diubah: kematian. Di luar itu, manusia berkekuatan untuk menggeser takdirnya ke arah lain.



Srintil dari dukuh Paruk, barang kali juga potret wanita zaman kini yang sampai kapan pun tetap merindukan satu masa dimana dirinya sebagai wanita bisa merasakan pesona kasih seorang laki-laki impian sekaligus mendamba diri menjadi ibu bagi tunas-tunasnya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P