Langsung ke konten utama

NASIB PARMALIM DI LEMBAR KARTU PENDUDUK*


Oleh: Dedy Hutajulu**

Rianti Simanjuntak, 29 tahun, gagal mendaftar dalam penerimaan tenaga kesehatan (bidan) di Rumah Sakit Angkatan Udara Polonia, Medan, Sumatera Utara. Namanya dicoret panitia hanya karena ia mencantumkan agama Parmalim di  formulir pendaftaran.
“Gak bisa.Itu bukan agama.Coret saja!” kata Rianti menirukan ucapan seorang petugas pendaftaran.Peristiwa tujuh tahun silam itu masih membekas di pikiran Rianti sampai kini.Air mata nyaris berderaiketika  Ia menuturkan kembali pengalaman itu. Raut mukanya berubah.
Rianti bilangia sempat dipaksa panitia mencantumkan salah satu agama resmi pada borang formulir. Cuma dengan cara itu berkasnya bisa diterima. Tapi Rianti menolak.Atas penolakan itu, panitia yang melayaninya, seorang bapak berbadan gempal kulit sawo matang menudingnya sebagai bukan warga Indonesia.
Rianti menolak tudingan itu.Ia dan panitia sempat bertegang urat. “Masakan aku dibilang bukan warga negara Indonesia?Sakit hati aku.Kubilanglah ke bapak itu begini, ‘Oppungku, Mamakku, Bapakku juga agamanya itu [Parmalin].Mereka warga negara [Indonesia] kok.Kenapa aku tidak?”’ tuturnya.
Usai berdebat Rianti pergi meninggalkan panitia.Tangisnya pecah. Sepanjang jalan menuju rumahnya di Jalan Seksama, Medan, iamengumpati nasib. “Kok kek ginilah nasibku ya Tuhan.Cuma mau cari kerja saja harus negak-negakkan agama.”Ia membatin.
Setiba di rumahRianti meluapkan kekesalannya.Ia tak menyangka hanya gara-gara agama yang dianutnya itu, ia akan kesulitan melamar kerja. Bahkan dituding bukan warga Indonesia.
Penolakan yang diterima Rianti dari panitia itu, mengingatkannya pada masa-masa kuliah dulu.Rianti adalah lulusan Akademi Kebidanan Helvetia Medan.Semasa kuliah, Rianti pernah dikucilkan kakak-kakak kelasnya.Biangnya juga gara-gara agamanya.Setelah tamat kuliah, Rianti mengira diskriminasi yang dialami tak bakal berlanjut.Ternyata perkiraannya melenceng.Penolakan yang dialaminya di dunia kerja bahkan jauh lebih berat.
Rianti mengalami diskriminasi sejak hari pertama menginjakkan kaki di kampus.Tak seorang pun kakak kelas mau berkawan denganya.“Semua menjauhiku karena aku seorang Parmalim,” tuturnya.
Di kampusnya ada aturan, setiap mahasiswa baru harus punya kakak angkat.Tapi tidak satupun seniornya bersedia menjadi kakak angkat.Senior-senior bahkan menjauhinya.“Gak ada yang mau menerimaku.Mereka bilang aku harus pindah agama.Aku enggak mau.Biar enggak berkakak angkat pun, aku bisa hidup,” kata Rianti yang sekarang telah memiliki seorang anak.
Penolakan itu dialami Rianti mulai berkurang diujung studinya.Rianti sekarang bekerja sebagai bidan tidak tetap di Puskesmas di Kota Kisaran, Sumatera Utara.Ia bekerja di sana sejak 2008. Gaji pertamanya Rp 450 ribu.Gaji serendah itu bertahan hingga 2010.Barulah di 2011 gajinya menjadi Rp 1,450.000.Dan angka itu bertahan sampai hari ini.Belum ada kabar kenaikan gaji.
Sebelum bekerja di Kisaran, Rianti pernah berwira-wiri di beberapa klinik dan Rumah sakit swasta di Medan. Rianti ingin sekali bisa diterima jadi pegawai negeri, katanya, selain terjamin masa pensiun juga karena ia ingin kuliah lagi sampai meraih gelar sarjana. “Sekiranya dulu aku lolos pegawai negeri, mungkin gajiku sudah dua jutaan. Dan separuh dari gaji itu akan kupakai untuk biaya kuliah. Tapi cita-citaku itu terpaksa harus menggantung lantaran terbentur dana,” ucapnya.
Tindakan panitia yang menggugurkan namanya dari calon peserta ujian bagai sembilu yang menyayat hati Rianti.Menyakitkan.Penolakan panitia itu jelas mematikan hak Rianti untuk ikut seleksi penerimaan pegawai negeri.“Belum apa-apa sudah dinyatakan gugur,” tukas Rianti menggerutu.
Status agama yang tercantum di kartu penduduk Rianti saat itu adalah tanda setrip.Kartu penduduk bertanda setrip dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Berbeda dengan kartu milik Ria Sitorus, rekan seagamanya. Di kartu penduduk Ria tertulis agamanya Parmalim. Kartu penduduk Ria juga dikeluarkan pemerintah daerah.
Menjadi Persoalan
Saat kartu penduduk-elektronik diberlakukan secara nasional, agama Parmalim justru menjadi persoalan. Akibat kebijakan negara yang hanya mengakui lima agama resmi, yakni Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Islam, keberadaan agama-agama tradisional seperti Parmalim menjadi terpinggirkan.
Kisah teranyar dan tak kalah mengecewakan dialami Tohom Naipospos, 24 tahun, saat mau mendaftar sebagai calon pegawai negeri untuk Kementerian Hukum dan HAM. Saat mendaftar online tahun lalu, ia harus mengisi kolom agama. Akan tetapi pilihan yang disediakan hanya lima agama. Naipospos bimbang. Di satu sisi ia ingin menjadi pegawai negeri tetapi syarat agama pada formulir telah membatasi langkahnya.
 “Sempat terbersit di pikiran saya untuk mencantumkan agama lain di formulir pendaftaran itu supaya berkas saya bisa lolos administrasi. Namun, pikiran itu cepat-cepat saya halau,” kata Naipospos yang hingga kini masih menganggur.Naipospos adalah satu tunas Parmalim dari Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
Penolakan terhadap agama Parmalim juga terjadi di sektor perbankan.Seperti yang dialami Poltak Sirait. Warga Perumnas Nusa Indah, Kabupaten Simalungun. Ia gagal membuka rekening baru di Bank Central Asia (BCA), Jalan Asahan Kompleks Megaland, Pematangsiantar, Sumatera Utara Mei 2012 silam karena ia seorang penganut malim. “Daripada saya capek bikin rekening, saya simpan aja uang saya di bawah bantal,” kata Sirait
Sejumlah kasus telah menunjukkan betapa sulit menjadi seorang Parmalim.Identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh negera.Jika ingin mendapatkan kartu identitas maka pada kartu penduduk elektronik, kolom agama mereka dicantumkan tanda strip. Atau mereka terpaksa mengisi dengan agama lain.
Keharusan menghilangkan identitas keagamaan tidak sekadar memberi dampak administratif bagi pengikut Parmalim.Dampak yang lebih serius adalah terjadinya pengingkaran hak-hak sipil bagi mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan pelayanan publik.
Padahal anggaran untuk pembuatan kartu penduduk-elektronik se-Indonesia mencapai Rp 5,8 triliun. Biaya ini digadang-gadang mampu melayani 172 juta penduduk usia layak berkartu penduduk. Tentang fakta-fakta tersebut, Djoehermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tidak mau mengomentari. (*)


Memperjuangkan PArMALIM DI LEMBAR KTP

TERNYATA tidak sedikit warga parmalim yang kesulitan mendapat kartu penduduk  karena keyakinan mereka tidak diakui negara. Setidaknya ada 29 orang di Desa Batunagodang Siatas dan 19 orang di Sibuluan, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang kartu penduduk elektroniknya dicantumkan beragama Kristen padahal mereka aslinya beragama Parmalim.
Salah satunya  orang yang mengalami hal itu adalah Enika Simanullang. Ia perempuan dengan tinggi badan sekitar 1,5 meter. Kulit hitam manis mirip keturunan India. Ia pekerja keras dan seorang yang telaten. Saat ini Enika tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komputer  angkatan 2012 di Politeknik Informatika Del, Toba Samosir, Sumatera Utara. Del adalah politeknik yang didirikan Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan, mantan Menteri Perindustrian era Gusur.
Putri pasangan Reston Simanullang, 42 tahun dan Rawati Simbolon, 40 tahun, itu sudah tiga kali bolak-balik ke kantor camat Onan Ganjang guna perekamankartu penduduk elektronik. Dan selama tiga kali itu pula datanya gagal diperbaiki.Sampai hari ini kartu penduduknya tak kunjung diterbitkan. Padahal sebentar lagi, ia mau merantau ke kota lain.
Sebenarnya kartu penduduk Enika sudah sempat tercetak tetapi akhirnya dipulangkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dikdukcapil), karena di kartu itu diterakan agama Kristen padahal Enika seorang Parmalim.Malim adalah kepercayaan lama orang Batak sebelum Kekristenan dan Keislaman masuk ke tanah Batak.
Keluarga Enika tinggal di Desa Batunagodang Siatas, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan.Desa ini berjarak sekitar 50 kilometer dari Dolok Sanggul, Ibukota kabupaten.Di desa ini menetap 14 kepala keluarga warga Parmalim sementara di Onan Ganjang bermukim 55 kepala keluarga Parmalim.Mereka hidup diantara 190 kepala keluarga warga Kristen.
Enika jelas tidak sendirian mengalami diskriminasi. Ada sekitar 6.000 warga Parmalim yang berpotensi punya masalah yang sama, yakni kesulitan mendapat kartu penduduk karena negara tidak mengakui keyakinan mereka. Jumlah ini bahkan bisa lebih besar lagi.
Menurut Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan total pengikutnya mencapai 400 ribu jiwa. Angka ini kemungkinan lebih besar lagi karena menurut data Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Jawa Tengah saja terdapat 296 aliran kepercayaan. Data eLSA itu jauh melampaui data resmi di tingkat nasional.
Pro Aktif
Demi menghindari terjadinya diskriminasi, para warga Parmalim proaktif terhadap setiap pendataan kependudukan, termasuk perekaman kartu penduduk.Sikap proaktif itulah seperti ditunjukkan Enika. Walau sudah tiga kali gagal, Enika tetap saja pergi ke kantor camat melakukan perekaman demi memperbaiki data kartu penduduknya.
Agustus 2013 lalu, ia bersama sepupunya bernama Junita Sitohang dan seorang priateman sekampung berangkat pukul sembilan pagi dari kampungnya. Mereka berboncengan naik sepeda motor. Jarum jam menunjuk ke angka 11 saat pria itu memarkir sepeda motornya di depan kantor kecamatan. Enika turun dan segera melangkah masuk ke dalam kantor camat.
Begitu di depan ruang perekaman, langkahnya terhenti. Pintu ruangan perekaman tergembok.Pintu ruangan itu dua lapis.Lapis pertama pintu kayu, lapis kedua jeruji besi. Empat petugas tengah asyik bercengkerama di ruang depan. Mereka mengenakan seragam pegawai negeri sipil warna kuning.Tak satu pun dari petugas itu keluar untuk menanyakan maksud kedatangan Enika, meski mereka melihat ada tamu yang datang.
Tidak ada upaya petugas untuk menyapa Enika atau sekadar basa-basi.Padahal di dinding kantor camat itu tertempel poster dengan motto melayani dengan 3S: Senyum, Sapa, Sopan.
Begitu seorang dari petugas bernama Boru Sihotang keluar, Enika langsung menyampaikan maksud kedatangannya.Boru Sihotang menjawab bahwa kunci ruang operator sedang dibawa Jonadat Sibagariang.Jonadat adalah salah satu petugas perekaman. Cuma Ia yang memegang kunci ruangan. Jonadat badannya kurus.Selalu memakai topi coklat dan jaket kulit warna hitam.Gayanya persis anak sekolah yang suka memunggungi ransel.
Menurut penjelasan Boru Sihotang, Jonadat tengah pergi mengantarkan berkas-berkas ke kantor catatan sipil Dolok Sanggul. Jarak Onan Ganjang ke Dolok Sanggul sekitar 20 kilometer.Enika terpaksa menunggu.Sebab kalau diundur lagi ke besok, banyak waktu yang terbuang sia-sia. Perhitungannya, jarak antara kampungnya ke kantor camat makan waktu dua jam perjalanan naik sepeda motor. Di hari biasa tidak ada angkutan kecuali Sabtu karena ada pasar di Onan Ganjang. Minimnya angkot memaksa penduduk harus memiliki sepeda motor sebagai alat transportasi.
Walau cuma dua jam, perjalanan ke Batunagodang Siatas sangat melelahkan. Kondisijalan  buruk, terjal, berkelok dan naik turun. Di kiri jalan ada beberapa dinding gunung yang longsor.Buruknya kondisi jalan membuat daerah rawan kecelakaan.
Setelah menunggu lebih dua jam.Jonadat pun tiba.Enika ditemani sepupunya Junita Sitohang, usianya bertaut tiga tahun dibawah Enika.Kalau Enika berkulit hitam, Junita justru putih bersih.
Mereka satu persatu melakukan perekaman.Enika terlebih dahulu.Tapi hasilnya kembali gagal.Data agamanya tak bisa diubah. Giliran Junita, proses perekaman cuma sebentar. Tak sampai dua menit.Begitu data-data selesai diisi, Junita langsung berpoto, membubuh tanda tangan di mesin digital.Sudah itu kelar.Data agama Junita berhasil diubah menjadi kepercayaan.
Enika merasa aneh kenapa datanya tidak dapat diubah sementara punya sepupunya bisa. “Kenapa data saya tidak bisa diubah?” tanya Enika kepada Jonadat. “Mungkin Kartu Keluargamu belum diperbaiki,” sahut Jonadat menduga-duga.
Enika meninggalkan ruangan dengan kecewa.












BOLA PINGPONG URUS KTP

GAGALNYA Enika mendapat kartu penduduk juga dirasakan puluhan warga Parmalim di desa itu. Setidaknya, menurut, Reston Simanullang, sebanyak 48 kartu penduduk bermasalah telah mereka kembalikan ke kantor Catatan Sipil Humbang Hasundutan supaya diganti.
Pihak catatan sipil mengatakan hanya 35 kartu penduduk bermasalah.Dan ke-35 kartu penduduk bermasalah itu telah dikirim ke Kemendagri, Jakarta Pusat. Tapi sejak Mei hingga akhir November 2013 tidak ada kejelasan kapan kartu penduduk Parmalim akan dicetak kembali. Berulang kali Reston menanyakan kejelasan perbaikan kartu penduduk warganya itu, berulang kali pula ia mendapat jawaban tidak pasti. “Masih harus menunggu dari pusat,” jawab Juber Simanullang Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Humbang Hasundutan.
Tak puas hanya menunggu, pada 30 September 2013, Reston melayangkan surat ke Kemendagri perihal nasib kartu penduduk warganya. Reston yang akrab dipanggil Pak Budi juga sudah berulang kali menelpon kantordinas kependudukan Humbang Hasundutan meminta keterangan tentang nasib kartu penduduk warganya itu. Namun bukan kabar menggembirakan yang didapatnya, melainkan jawaban mengecewakan.
Kepala Seksi Kependudukan Humbahas, Tahi Gultom menjawab, kartu penduduk tidak bisa diganti sebelum masa berlakunya habis. Pak Budi jengkel mendengar jawaban Gultom.Kenapa tidak bisa?
Keterangan berbeda disampaikan Jonadat, petugas perekaman data.Ia mengatakan beberapa data seperti nama, tanggal lahir dan status agama bisa langsung diperbaiki. Tidak harus menunggu lima tahun.“Asal kartu keluarga sudah dimutakhirkan terlebih dahulu,” terangnya lebih lanjut.
Menurut Jonadat, kendala utama kenapa data kartu penduduk Enika tidak bisa diperbaiki, karena yang tersimpan di database komputer catatan sipil adalah data lama. Dalam data base ini Enika dan pengikut Parmalim yang lain tercatat beragam Kristen.
Data lama, itulah urat akar permasalahannya.Ternyata perekaman kartu penduduk mengacu pada data kartu keluarga. Jika kartu keluarga tidak dimutakhirkan, status agama yang tertera  di kartu keluarga lama akan tetap diacu dalam pembuatan kartu penduduk. Pada kartu keluarga yang ada, seluruh anggota keluarga Enika tercatat beragama Kristen, padahal mereka tidak pernah beragama Kristen.Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana ini bisa terjadi?
Juber Simanullang menuding kesalahan perekaman data adalah kelalaian petugas operator di kantor camat yang tidak menanyakan data-data warga secara detail atau masyarakat Parmalim tidak menyimak pertanyaan operator.
Camat Jonsihar Simanullang juga menuding serupa bahwa kesalahan ada pada operator yang tidak jeli terhadap data-data warga. Sekretaris camat Gerhard Sinaga berkata lain. “Mungkin kesalahan ini karena warga tidak memperhatikan data-datanya saat perekaman dan mereka baru komplain saat kartu penduduk sudah terbit,” ujar Sinaga.
Jonadat membantah pendapat Juber dan Jonsihar. Sebagai petugas ia mengaku sudah bekerja maksimal tanpa kesalahan. Menurut dia, kesalahan itu murni pada warga Parmalim sendiri yang tidak mau dicatatkan sebagai kepercayaan.
“Kami tanyakan setiap warga yang mau bikin kartu penduduk.Tapi mereka ngotot minta dituliskan agamanya Parmalim.Kata mereka, ‘Kalau bukan Parmalim lebih baik dibikin Kristen saja.’Ya, kami hanya mengacu pada apa yang tertulis di kartu keluarga mereka.”s katanya.
Jonadat menambahkan, jika memang data ingin akurat mestinya warga memperbarui kartu keluarganya.Tentang pemutakhiran data kartu keluarga, Juber Simanullang mengatakan sudah dua kali pihaknya melakukan pemutakhiran. Kepada Desa Batu Nagodang Siatas, Jasa Sebastian juga menguatkan pernyataan Juber. “Iya sudah dua kali pemutakhiran kartu keluarga tapi bukan kolom agama melainkan nomor induk keluarga saja.”
Humas Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan Osborn Siahaan mengakui ada kelalaian dinas terkait tetapi juga tidak menafikan kesalahan masyarakat. “Ya, ini akibat kurang kehati-hatian petugas catatan sipil dalam menanyakan masyarakat secara detail tentang agama mereka. Tapi masyarakat juga tidak memeriksa data-data mereka saat direkam.Begitu perekaman rampung dan kartu penduduk sudah dicetak barulah mereka komplain,” katanya.
Osborn menambahkan, Bupati Maddin Sihombing berjanji bahwa seluruh kartu penduduk yang bermasalah segera dituntaskan 2014 mendatang.Mendengar kisruh kartu penduduk ini, Ketua Komisi E DPRD Sumut Jhon Hugo Silalahi meminta Bupati Humbang Hasundutan untuk segera memperbaikinya.
Ketua Komisi A DPRD Sumut Oloan Simbolon juga turut angkat bicara. Menurut Simbolon, persoalan kartu penduduk Parmalim ini bentuk kebobrokan negara dalam penyelenggaraan administrasi. “Sistem di negara kita sangat buruk. Sudah canggih teknologi, tapi bikin kartu penduduk saja susah. Aneh negara ini,” katanya.
Kendati demikian, menurut Simbolon tidak ada alasan pemerintah untuk menunda memperbaiki kartu penduduk yang bermasalah. Kalau tidak, sambungnya, lebih baik Kepala Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Humbang Hasundutan dicopot karena tak becus mengurusi data-data penduduk. “Copot saja itu kadis kependudukan!Tak becus kerjanya,” katanya lagi. (*)






















EFEK TRANSFORMASI KEMENTERIAN

EFEK pergeseran kementerian juga turut andil memperkeruh sengkarut pembuatan kartu penduduk. Sejak Kementerian Kebudayaan terintegrasi pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaantelah melahirkan nomenklatur yang menangani penghayat kepercayaan berada di bawah otoritas dinas pendidikan dan kebudayaan. 

Celakanya menurut pengamat budaya Batak Nelson Lumbantoruan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Humbahas tidak mempunyai orang-orang yang profesional di bidang pemberdayaan kelompok penghayat kepercayaan. “Dinas pendidikan gamang menangani hal beginian, karena mereka tak terlatih,” kata Lumbantoruan.

Sedang menurut Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, kesalahan Kemendagri tersebut sesungguhnya tak boleh ditoleransi karena sudah masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia.Dalam hal ini, Kemendagri selaku pemiliki gawean, kata Khoiron, menjadi pihak paling bertanggung jawab.

Pasalnya, terang Khoiron kartu penduduk dan kartu keluarga adalah bagian dari kebebasan hak sipil yang tidak dipenuhi oleh negara.“Khusus tentang kartu penduduk, negara harus membuat surat edaran pembubuhan kepercayaan.Surat edaran yang dikeluarkan kementerian dalam negeri untuk dikirim ke seluruh dinas-dinas terkait yang memproses kartu penduduk sehingga tidak terjadi simpang-siur tentang data-data pencatatan sipil,” katanya.

Atau, usul Khoiron, kembalikan otonomi ke daerah dalam menangani pencatatan kependudukan, seperti selama ini terjadi.“Kalau dulu yang memproduksi kartu penduduk adalah masing-masing daerah.Daerah punya kemampuan mengakomodasi persoalan seperti ini.Tetapi sejak nasionalisasi kartu penduduk dengan sistem amburadul justru telah menyusahkan daerah dalam mencatatkan data-data warganya,” katanya lagi.

Pengembalian otonomi ke daerah, menurut tokoh Opera Batak, Thomson Hutasoit tidak solusi tepat.Thomson mengatakan lebih baik dihapuskan saja kolom agama dari kartu penduduk. Ia beralasan tak ada korelasi antara agama di dalam kartu penduduk. “Lebih bagushapus saja agama di kartu penduduk,” ujarnya. (*)


DUALISME REGULASI

KEMELUT pencantuman identitas agama Parmalim dalam kartu penduduk-elektronik itu berasal dari agama mereka yang tercantum di Kartu Keluarga. Pada umumnya dalam Kartu Keluarga mereka tercatat beragama Kristen.Untuk mengubah itu mereka seperti menghadapi tembok.

Keberadaan penghayat kepercayan sudah diakui negara secara yuridis formal, terlebih dengan disahkannya UU Administrasi Kependudukan 2006 dan PP tahun 2007. Pasal 61 ayat 2 (untuk kartu keluarga) dan pasal 64 ayat 2 (untuk kartu penduduk) UU Administrasi Kependudukan menyebut, kolom agama bagi penduduk penghayat kepercayaan tidak diisi.

Tetapi faktanya, mesin operator perekaman kartu penduduk malah menyediakan kolom kepercayaan dan bukan tanda kosong.Dan banyak dari kartu keluarga serta kartu penduduk warga Parmalim dicantumkan Kristen.Sementara, pelanggaran terhadap kesalahan pencatatan data-data penduduk yang dilakukan pejabat atau petugas juga ada sanksinya.

UU administrasi kependudukan 2006 pasal 98 ayat 1 mengacu ke pasal 93 menyebut, pejabat dan petugas pada penyelenggaraan dan instansi pelaksana yang memalsukan surat dan/atau dokumen dipidana maksimal 6 tahun penjara dan denda terbanyak Rp 50 juta. Itu pun masih ditambah hukuman penjara satu pertiga.

Anehnya, sudah tujuh tahun sejak peraturan ini diundangkan, tetapi tak satu pun petugas atau pejabat administrasi kependudukan yang dipidanakan.Padahal kesalahan pencatatan terjadi luar biasa banyak.

Khusus karut-marut kartu penduduk Parmalim di Humbahas, Reston Simanullang mengatakan, jauh-jauh hari ia sudah menyerahkan ke dinas kependudukan daftar nama-nama anggotanya. Tujuannya supaya pihak catatan sipil tidak salah mengentri data.Namun faktanya, pihak catatan sipil telah menyepelekan persoalan ini sehingga perekaman data kartu penduduk bagi Parmalim benar-benar bermasalah.

Menurut Budayawan Idris Pasaribu gejala kesalahan pencatatan kartu keluarga sesungguhnya bukan terjadi baru-baru ini saja tetapi sudah berlangsung sejak 1960-an. Tetapi karena Parmalim ingin bertahan hidup dan mereka ingin anak-anaknya bisa berkerja dan sekolah sehingga mereka tidak mempersoalkan kalau kartu keluarga mereka  dicantumkan Kristen.

Pasaribu mengidentifikasi dua biang kesalahan pencatatan data kartu keluarga itu.Pertama, ada warga Parmalim yang memang secara sukarela mencantumkan diri mereka ke Islam atau Kristen.Kedua, ada Camat nakal yang sesuka hati memasukkan warganya ke agama mana pun.

Kesalahan Orde Baru

Kesemrawutan persoalan agama tradisional seperti Parmalim dalam administrasi, menurut Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Usman Pelly sebagai kesalahan orde baru.Pelly yang menulis buku Ugamo Malim menuding kekejaman orde baru sebagai penyebab kelompok penghayat kepercayaan menjadi terkatung-katung.

Pelly tak menyangka kesalahan orde baru itu akan berlanjut terus hingga hari ini. Tetapi yang terjadi sebaliknya.“Ini kesalahan orde baru yang hanya mengakui lima agama, yaitu Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha,” katanya.

Orde baru, kata Pelly, tidak ingin kelompok-kelompok penghayat kepercayaan menjelma menjadi agama. Bagi orde baru, kelompok-kelompok aliran kepercayaan jika menjelma jadi agama dikuatirkan akan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang bisa menjadi musuh tak terlawan. Tetapi Oloan Simbolon melihat ini tidak ada kaitannya dengan sejarah melainkan murni kesalahan administrasi.















SUSAHNYA JADI PARMALIM

Tak hanya orang dewasa seperti Rianti, Naipospos atau Sirait, diskriminasi agama juga dirasakan anak-anak Parmalim.Lastiar, putri sulung Sirait misalnya, bahkan diwajibkan belajar telaah Alkitab tiap Jumat di sekolah. Saat ini, Lastiar  duduk di bangku kelas 3 SMA Negeri 2 Bandar, Simalungun, Sumatera Utara. Saat ditanya bagaimana perasaannya ketika diwajibkan menelaah Alkitab, ia menjawab, “Yang penting kami dapat nilai.”
Lebih jengkel lagi adalah apa yang dialami Tamaria Nobelin. Putri Bungsu Poltak Sirait. Nobelin yang duduk di bangku kelas 2 SD Negeri 4 Pardagangan kerap bikin gondok ayahnya.Apalagi dalam urusan tugas rumah pelajaran agama.“Pak, tolong carikan apa isi ayat Alkitab dari perikop (bacaan) ini,” pinta Nobelin.
Poltak menjawab,“Bilang sama gurumu, di rumah kita enggak ada Bibel (Alkitab). Kita ini Parmalim bukan Kristen, “ jawaban Sirait justru membuat Nobelin kesal.
Sirait risau akan nasib pendidikan anak-anak mereka. Sampai sekarang anak-anak Parmalim di Simalungun, kata dia, terus dipaksa memilih salah satu agama di sekolah.Sirait bertekad memperbarui kekeliruan ini.
Suatu ketika Sirait berkesempatan berdialog dengan Binton Tindaon, salah satu wakil rakyat di Simalungun.Ia segera menyampaikan keluh kesahnya sebagai seorang Parmalim. Tindaon mendengar dan berjanji akan membantu nasib anak-anak Parmalim. “Akan kita bantu ya,” kata Tindaon.
Selain anak-anak Sirait, ada sejumlah nama warga Parmalim yang terpaksa mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Uli Samosir, 20 tahun misalnya. Ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) semester 5. Sejak SD hingga SMA, Uli belajar agama Katolik di sekolahnya, di Indrapura, Batubara, Sumatera Utara. Tetapi ketika di kuliah, ia belajar agama Islam.
Rotua Nita Butar-butar, mahasiswa Biologi Unimed juga begitu. Dari bangku sekolah dasar hingga menengah atas bahkan sampai kuliah di Unimed, ia belajar agama Kristen Protestan.
Di Medan sedikitnya ada 100 kepala keluarga warga Malim.Pimpinan Parmalim di Medan Rinsan Simanjuntak berharap, pendidikan agama bagi anak-anak Parmalim bisa difasilitasi sendiri oleh pihak mereka, sepasti dialami saudara mereka yang di Tobasa.
Di Tobasa, kata Monang Naipos-pos, seorang tokoh berpengaruh di Malim, pembelajaran agama sudah ditangani sendiri oleh pihak Parmalim sejak Juli 2012.
Guru Santi, Silabus, dan kurikulum  semuanya disediakan oleh Tim penyusun dari Parmalim. Pada awalnya Tobasa mengalami hal sama akan tetapi setelah melewati banyak proses dan loby-loby politik dengan pemerintah setempat, akhirnya aspirasi mereka gol. “Kita loby pemerintah Kabupaten Tobasa.Dan Bupati Tobasa akhirnya menyetujui,” ucap Monang.
Lebih lanjut, Monang mengatakan, pada umumnya sekolah di Tobasa mau menyediakan tempat untuk anak-anak Parmalim belajar agama Parmalim.Tapi pihak dari Parmalim sendiri yang mengumpulkan anak-anak di satu titik. Setiap Sabtu, anak-anak itu berkumpul di titik tersebut untuk belajar ajaran Malim. “Kami tidak mau merepotkan negara.Yang penting kami diberi hak.Kami siap mandiri,” tutur Monang lagi.
Kini Simalungun, Jakarta, Tangerang,dan Batam mulai mengikuti jejak-jejak Parmalim di Tobasa. Menyusul Tapanuli Tengah. Saat ini ada sekitar 6000 Parmalim di Indonesia.
Perjuangan mendapatkan pengakuan  agama bagi Parmalim tampaknya masih panjang. Sulitnya mendapatkan identitas kependudukan membuat Parmalim jadi bersifat paradoks.Bahkan hampir-hampir mereka tidak percaya kalau mereka mampu mendapatkan pengakuan.“Enggak apalah kami tidak dibuat agama yang penting masih bisa mengakses layanan publik,” ujar Marnakkok Naipospos, Pimpinan Tertinggi Malim Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.(*)









Menjenguk PArmalIm

Dari dapur, Reningnga bergegas ke ruang tamu dengan seceret kopi panas.Kopi bagi suaminya tercinta, Mangarti Sihotang. Berharap sang suami akan merasa hangat setelah menyeruput kopi panas buatannya itu. Udara di luar sangat dingin.Angin pegunungan menelusup dari celah-celah dinding papan dapur rumah Reningnga.

Tapi sang suami masih nyenyak. Menikmati mewahnya tidur dalam suasana dingin pagi.Dua lapis selimut membungkus raganya demi menjaga suhu tubuh Sihotang tetap hangat.Terdengar jelas suara dengkuran dari balik selimut itu.

Melihat sang suami pulas, Reningnga tak peduli lagi pada kopi yang barusan diseduhnya. Ia kembali ke dapur. Dibiarkannya kopi itu mendingin di atas meja.Sihotang baru bangun setelah terganggu mendengar suara riuh kokok ayam jantan menajamkan pagi.

Kokok ayam bagi Desa Batunagodang adalah pertanda alami untuk bangun pagi. Biarpunrata-rata tiap rumah sudah punya jam dinding atau telepon genggam yang bisa diatur suara alarmnya, tapi mereka lebih memilih mendengar kokok ayam.

Bagi Batunagodang kokok ayam adalah hadiah alam yang amat berharga. Batunagodang Siatas adalah sebuah desa yang letaknya paling ujung kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan.Desa yang berada tepat di kaki Gunung Dolok Pinapan itu, di kelilingi sawah dan ladang.Di pemukiman ini, telah berdiri tegak satu tower jaringan telekomunikasi swasta.

Dolok Pinapan, bagi masyarakat setempat dianggap keramat karena mempercayai mitos tentang hilangnya dua orang asing bersaudara yang diduga baku bunuh setelah menemukan segepok emas di puncak gunung itu.

Benar atau tidak, yang jelas adanya Dolok Pinapan telah menyumbang udarasegar pegunungan dan air jernih bagi penduduk sekitarnya. Setidaknya, dua ratusan kepala keluarga yang bermukim di kaki gunung ini setiap hari menikmati berkah udara segar dan air jernih-bersih.

Mungkin karena tiap hari menghirup udara segar dan minum air bersih, sehingga tubuh Reningnga tetap bugar walau usianya kini menapaki lewat 50 tahun. Ia tetap kuat.

Kebugaran serupa juga dimiliki anak-anak desa itu.Dalam gemuruh angin dan suhu dingin yang menusuk tulang, mereka begitu riang bermain di bawah guyuran air pancuran pemandian umum.Seakan kulit mereka tak merasakan apa-apa.

Sebenarnya, tidak cocok disebut pemandian umum, sebab pemandian ini hanya berupa lantai semen, tanpa dinding, tanpa atap.Hanya ada satu selang besi yang terus mengalirkan air.Selang itu juga tanpa kran. Sehingga tiap detik, jika tak ada yang menampung, air terbuang sia-sia. Tidak semua warga menggunakan pemandian ini, beberapa rumah sudah memiliki kamar mandi sendiri.Tapi lebih banyak yang tak punya.

Air di pemandian umum itu jernih-bersih.Air itu tidak hanya dipakai untuk mandi, tetapi juga mencuci dan minum.Untuk air minum, warga membawa jeriken-jeriken penampung air.Hebatnya, air ini tak pernah kering walau terus-menerus mengalir.

Rata-rata rumah penduduk masih berdinding papan.Hanya satu dua yang semi permanen.Belum ada yang benar-benar permanen.Mata pencarian mereka umumnya berladang, dan bertani.Satu dua ada yang beternak bebek.Ada yang memelihara kerbau dan ada yang memproduksi gula merah.

Pukul tujuh pagi, kampung sudah sepi.Anak-anak sudah berada di sekolah.Orang-orang dewasa di ladang atau sawah mereka.Sekolah dasar dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa menit sementara sekolah menengah pertama dan atas berada di Onan Ganjang.Berjarak puluhan kilometer.Kalau anak di sekolah, orangtua di ladang.

Santi

Tetapi karena Sabtu adalah hari santi (beribadah) bagi Parmalim, orang tua tidak boleh meladang.Mereka persiapan untuk ibadah.Ada sedikit kejanggalan bagi Parmalim di desa ini. Ibadah dimulai pukul 8 pagi sementara di daerah lain seperti di Huta Tinggi Laguboti atau di Medan, pukul 12 siang.

Rupanya, jadwal ibadah Parmalim di desa ini bertabrakan dengan hari Onan (pasar).Pasar digelar di Onan Ganjang.Berpuluh kilometer dari kampung.Persoalannya, transportasi dari Batunagodang ke Onan Ganjang hanya satu angkutan.

“Cuma ada satu angkutan ke sini. Dan itu datang pagi langsung berangkat ke onan jam 10. Kalau kita ibadah jam 12, onan sudah tutup. Makanya kita percepat jadwal untuk ibadah, agar warga kita tak terganggu ke onan,” jawabnya.

Penganut kepercayaan Malim di desa ini ada 14 kepala keluarga.Sementara untuk Onan Ganjang tercatat 55 kepala keluarga Parmalim.Kelompok Parmalim ini hidup diantara 190 Kepala keluarga warga Kristen.

Apa itu Parmalim?

Ada beberapa tafsir dari Timur tentang arti malim.Ada yang menyebut kata Malim muncul sebagai pengaruh perdagangan bebas. Yang lain mengatakan malim lahir sebagai akibat perang Paderi (kaum putih), gerakan perlawanan kaum Islam terhadap kolonial Belanda yang dipelopori oleh Imam Bonjol di Padang, Sumatera Barat. Namun soal arti istilah kata Malim, sejauh ini jarang diperdebatkan.

Sejumlah literatur menyebut, malim lahir dari kata mualim. Dalam kosa kata Batak Toba disebut malim; Bahasa Karo: malem. Gervasius Aritonang, Akademisi di Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara (USU) pada 2002-2003 pernah meneliti bahwa mualim itu evolusi dari kata malaham yang artinya suci. Dalam Katolik disebut Santo atau Sufii dalam terminologi Islam.

Negara kita mengakui Malim adalah sebuah aliran kepercayaan, bukan agama. Tetapi Pimpinan Tertinggi Malim dari Huta Tinggi, Laguboti, Marnakkok Naipospos menyebut Ugamo Malim bukanlah  aliran kepercayaan melainkan sebuah agama yang menyembah Debata Mula Jadi Nabolon dan berkiblat pada Sisingamangaraja.

Naipospos mengatakan, Malim adalah agama orang Batak dari dulu. Itu sebabnya mereka menerakan kata “Ugamo” di depan nama kepercayaan mereka. Ugamo artinya agama.“Ugamo Malim adalah agama orang Batak dari dulu,” katanya.












PARMALIM DAN GERAKAN RATU ADIL

Sastrawan sekaligus pewaris sejarah Batak, Sitor Situmorang dalam Toba Na Sae menulis, pascagugurnya Sisingamangaraja XII, Raja Mulia Naipospos melanjutkan perjuangan Sisingamangaraja. Mulia Naipos-pos kemudian mengembangkan gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dinamakan Parmalim.

Gerakan perlawanan itu muncul sebagai implikasi konsep Ratu Adil seperti yang berkembang di tanah Jawa.Ratu Adil di Jawa adalah reaksi masyarakat yang datang dari dua sumber.Pertama, rakyat Jawa adalah milik raja/sultan sehingga mereka dipandang tidak sebagai manusia tetapi sebagai budak.

Tentulah raja tidak memperhatikan tentang kesejahteraan rakyatnya.Raja melihat/memperlakukan rakyatnya hanya sebagai tenaga kerja yang kapan pun boleh digunakan untuk kepentingan raja.Jurang antara raja dan rakyat menganga.

Kedua, reaksi rakyat Jawa terhadap penindasan kolonialisme.Saat-saat puncak di mana rakyat mengharapkan kehadiran Ratu Adil adalah saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa.Sistem ini menjadikan tanah Jawa menjadi sumber penghasilan utama Kerajaan Belanda dan menjadi kuburan massal bagi rakyat Jawa.

Konsep Ratu Adil masyarakat Jawa mengharapkan akan kedatangan penyelamat. Penyelamat yang akan membebaskan mereka dari semua penderitaan. 

Kalau begitu, apakah konsep yang sama bisa diletakkan di Tanah Batak? Jawabannya, ya! Apakah penerapannya berbeda?Tentu tidak. Parmalim percaya kelak akan datang satu tokoh besar yang akan menyelamatkan Tanah Batak? Kalau Parmalim dianggap sebagai gerakan Ratu Adil, apakah Parmalim itu muncul setelah kedatangan Belanda ke Tanah Batak?

Atau apakah raja-raja Batak sebelum kedatangan Belanda memerintah dengan tangan besi yang mengakibatkan rakyatnya begitu menderita sehingga mendambakan keselamatan bagi dirinya?Lalu, bolehkah kita menyebut Parmalim adalah gerakan/reaksi rakyat Batak terhadap raja-raja tersebut?

Menurut Sitor, Parmalim adalah gerakan menentang Si Bontar Mata (Belanda). Buku  Sitor menggambarkan hal-hal yang bisa membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sitor juga menjelaskan tentang konsep “negara” Batak sebelum kedatangan Belanda.

Gerakan Parmalim semestinya diteliti jauh hingga ke sana, ke zaman saat-saat Batak masih belum disentuh kolonialisme, zaman saat tanah Batak baru disentuh teknologi hingga ke zaman munculnya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat Batak.

Parmalim sebagai gerakan perlawanan ditentang oleh Ibrahim Gultom, Antropolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).Menurut Gultom, Malim benar-benar agama sepasti Kristen atau Islam atau Hindu atau Budha. “Orang Batak dulu kan sudah beribadah kepada Tuhan hanya saja agama mereka tidak punya nama, hanya praktik. Jadi Ugamo Malim itu agama.” kata Ibrahim Gultom.

Lebih jauh Gultom mengatakan, sebagai sebuah agama, ide mesianistik tidak suatu keharusan.Dengan begitu, Malim otomatis bisa dikategorikan sebagai sebuah agama.

Pertanyaannya, lantas bagaimana ide kemaliman ini kemudian bisa tumbuh menjadi satu keyakinan yang eksis di tengah masyarakat sampai hari ini? Merujuk ke catatan Emilio Modigliani, peneliti Italia (awal abad ke-19), di sana tertulis Somalaing Pardede menjadi pendiri ajaran kemaliman di tanah Batak.

Somalaing Pardede adalah sosok terkenal di Toba karena sikap kerasnya dalam gerakan mengusir penjajah Belanda. Anthony Reid, Antropolog dari Selandia Baru yang khusus meneliti tentang sejarah kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara, dalam Soematera Tempo Doeloe  menulis, “Somalaing seorang yang sungguh berwibawa, matanya bersinar, bicara tanpa henti. Ia sebisa mungkin menjauhi apa yang berbau Belanda.”

Somalaing pernah mendampingi Modigliani mengelilingi tanah Batak.Ketika mendampingi itulah, muncul ide di benak Somalaing tentang menciptakan ajaran kemaliman.Ide itu kemudian diungkapkan Guru Somalaing ke Sisingamangaraja XII untuk dijadikan agama.Akan tetapi Sisinganmangaraja XII menolak keras ide itu.

Kenapa ditolak?“Mungkin karena belum mengerti soal usulan tersebut.Tapi praktik keagamaan sudah berjalan lewat horja bius.” terang Pengamat Budaya Batak, Thomson Hutasoit.

Selain sebagai tempat praktik keagamaan, Horja bius juga menjadi konsolidasi perlawanan masyarakat Batak terhadap kolonial.Bocornya informasi tentang Horja Bius sebagai markas konsolidasi muncul dari kecurigaan misionaris dari Jerman atau Reinisce Mission Gesselchaft (RMG). Oleh RMG, Horja Bius dianggap pemujaan terhadap kekafiran karena itu praktik ini dilaporkan ke pihak kolonial.

Setelah pelarangan terhadap horja-horja bius kentara, Modigliani melihat ada kekosongan sehingga warga malim melakukan ritual-ritual secara sembunyi-sembunyi. Tapi kemudian, menurut, Monang Naipospos, seorang berpengaruh di Malim Huta tinggi, kepercayaan ini dipesankan oleh Sisingamangaraja agar diteruskan kepada Raja Mulia (RM) Naipospos yang selanjutnya diakui sebagai perintis Parmalim di Huta Tinggi.

Raja Mulia Naipospos waktu itu sudah menganut agama Kristen.Ia bergabung dengan Nommensen. Lantas, kenapa Raja Mulia Naipospos pecah kongsi?“Sebab Nomensen organisator ulung,” jelas Thomson Hutasoit.

Lebih lanjut dijelaskannya, Sisingamangaraja memesankan kepada RM Naipospos untuk belajar pada Nommensen cara mengorganisir massa. Setelah menguasai ilmu mengorganisir massa, RM Naipos-pos diharapkan menerapkan ilmu mengorganisir untuk memudahkan menggembalakan warga Malim.

Tentang penggunaan kata kepercayaan, Thomson tidak sepakat.Katanya, Malim bukan kepercayaan melainkan agama tradisional yang tumbuh di masyarakat lokal.“Akar semua demokrasi agama kan berasal dari ritus lokal.Lalu generasi selanjutnya meneruskan apa yang sudah diwariskan nenek moyang,” katanya.

Budayawan Idris Pasaribu juga mengakui kalau Parmalim adalah agama orang Batak, bukan kepercayaan.Pengamat Budaya Batak Nelson Lumbantoruan juga mengaminkan pernyataan Pasaribu.“Ada banyak agama tradisional Batak seperti Parsitengka, Parbaringin, Parhudamdam, Parmalim dan banyak lagi,” terangnya.

Kemudian cepat-cepat dilanjutkannya.“Tetapi Parmalimlah agama terakhir yang berhasil mengumpulkan, mengemas dan mengakomodir seluruh substansi spiritual kebudayaan Batak dalam sebuah agama yang diterima masyarakat.”

Ternyata ada banyak pihak yang mengakui Parmalim sebagai agama.Namun Parmalim sendiri tidak ngotot mereka dijadikan agama, yang penting jangan sampai gara-gara status mereka sebagai kepercayaan membuat pengikut mereka terganggu mendapatkan hak-hak sipilnya.“Selama Parmalim tidak dipersulit di negara ini dalam urusan-urusan publik, kami tidak menuntut apa-apa,” kata Marnakkok. (*)




SI PELE BEGU?

Terlepas dari agama atau bukan, ada stereotif yang lebih mengerikan yang dialamatkan ke Parmalim, yakni Sipele begu (penyembah berhala).Cap ini sudah muncul sejak masa Kolonial Belanda. Kencangnya cap sipele begu terhadap Parmalim, menurut pengamat Budaya Batak, Erix Hutasoit disebabkan dua hal.

Pertama, karena orang-orang Barat saat itu menganggap kebudayaan Eropa lebih tinggi dari kebudayaan bangsa manapun termasuk kebudayaan Batak.Celakanya, budaya Batak dianggap masih sangat primitif.

Kedua, pengetahuan orang Barat akan kebudayaan Batak waktu itu masih sangat terbatas. Kedua hal inilah yang membuat cara pandang yang berbeda terhadap Parmalim.

Daniel Perret, Antropolog Prancis yang khusus mendalami etnisitas suku-suku Melayu dan Batak di Sumatera Timur dalam Kolonialisme dan Etnisitas menulis, keberadaan Parmalim baru diketahui berdasarkan laporan-laporan kolonial yang melansir adanya anggota sebuah gerakan keagamaan bernama Parmalim di Timur Laut Danau Toba pada tahun 1910.

Parmalim, menurut Perret, dikategorikan sebagai gerakan masyarakat yang berbau keagamaan (rohani) yang dipelopori Somalaing Pardede, namun bukan agama seperti diungkap Ibrahim Gultom.

Gultom dalam Agama Malim Di Tanah Batak menulis proses penamaan Malim sebagai agama merujuk pada ucapan terakhir Raja Nasiakbagi yang mengatakan “Malim ma hamu...” Ucapan Nasiakbagi itu, menurut Gultom menjadi tonggak sejarah permulaan penamaan Malim sebagai agama.

Lantas apa syaratnya sebuah agama? Masalah pengakuan agama, religi dan kepercayaan, tulis Hairus Salim dalam Nasib Agama Suku, lebih merupakan masalah politis seperti tercermin dalam kata-kata “yang tidak atau belum diakui secara resmi.”Artinya, nasib Parmalim yang gagal menjadi agama adalah sebuah desain politis.

Kendati demikian, UUD RI Tahun 1945 pasal 29 serta UU Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Faktanya berbicara lain. Mestinya, dengan adanya pernyataan ini, jelas ada jaminan bagi setiap warga Indonesia untuk memeluk salah satu agama atau kepercayaan dan berkebebasan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu.

Gagalnya perjuangan Parmalim menjadi agama resmi, menurut Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Usman Pelly adalah buah otoritarian rezim orde baru. Kata Pelly, pada 1986 Soeharto mengangkatnya sebagai tenaga ahli yang diperbantukan di dinas Pendidikan dan Kebudayaan bersama lima ahli lain. Ada sejarawan, antropolog dan tiga ahli agama dari Katolik, Potestan dan Islam.“Kami diberi misi khusus,” tuturnya.

Tiga Misi

Apa misi khusus itu? Pelly menyebutkan tiga.Pertama, mengusahakan supaya aliran-aliran kepercayaan jangan sampai menjelma jadi agama.Langkah pertama yang dilakukan adalah menginventarisasi aliran-aliran kepercayaan di tanah air.

Inventarisasi dilakukan di enam provinsi: Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di Sumatera Utara, tim dipimpin Usman Pelly dengan empat anggota, yaitu Djalaut Gultom, Murdiono, Ruyandi dan Gendro Nurhadi. 

Menurut Pelly, penelitian ini didukung oleh Surat Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah kenapa harus diinventarisasi?“Suharto tidak ingin aliran kepercayaan menjelma jadi komunis,” jawabnya.

Pada 1986, jumlah aliran kepercayaan yang terdaftar di kementerian kebudayaan ada sebanyak 120.Aliran kepercayaan ini terus berkembang dan beranak pinak.Sedang pada 2003 ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar.Desember 2005 tercatat 244.

Angka yang berbeda jika dibanding dengan apa yang dicatat Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Direktur eLSA, Tedi Kholiluddin menyebut jumlah aliran kepercayaan khusus di Jawa tengah saja tercatat 296 aliran. Itu baru di Jawa Tengah. Di kabupaten lain di provinsi lain tentu masih banyak.

Misi kedua, mengorganisir aliran kepercayaan dengan memberi mereka kesempatan untuk hidup terorganisir: seperti punya kantor, kitab suci, buku tentang relasi manusia dengan Tuhan dan melakukan ritual-ritual mereka. “Karena itu,” terang Pelly, “semua aliran kepercayaan diwajibkan mendaftarkan semua anggotanya, ke dinas pendidikan dan kebudayaan.”

“Misi selanjutnya adalah kita dorong mereka memilih ke salah satu agama dari lima agama yang diakui ‘resmi’ oleh negara.” Tujuan Soeharto mengangkat kelima staf ahli melakukan tiga tugas khusus itu tak lain, supaya aliran kepercayaan tidak disusupi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak menjelma jadi agama.

Kala itu, PKI tumbuh pesat.Massanya sangat besar. Sejak Mohammad Hatta menetapkan partai politik berlambang arit dan palu ini sebagai partai terlarang, DN Aidit didukung empat rekannya, Alimin, HM Lukman, Njoto dan Sadirman terus melakukan aktivitas politiknya secara terang-terangan, hingga partai ini mendapat dukungan suara yang luar biasa banyak.

Dalam kurun 12 tahun (antara 1952-1964) PKI berhasil menggelembungkan anggota menjadi 3 juta (1964). Njoto, Pemimpin Redaksi Bintang Merah, sekaligus pimpinan elit PKI dalam pengantar dokumen-dokumen kongres nasional ke-VI PKI di Jakarta, Januari 1960 menulis rahasia kebesaran partai komunis adalah karena segala angkatan dalam partai: muda dan tua melebur menjadi satu rasa—solidaritas proletar, solidaritas komunis, persatuan yang didasarkan ideologi marxisme-leninisme—itulah yang kemudian membuat partai ini solid, monolit seperti granit.

Besarnya kekuatan PKI tak lepas dari dukungan massa mantel organisasi, seperti Barisan Tani Indonesia bermassa 5,7 juta, Pemuda Rakyat beranggotakan 2 juta orang, organisasi simpatisan PKI di kalangan buruh 3,3 juta dan Gerakan Wanita Indonesia 1,7 juta pendukung.

Tak pelak, pada pemilu 1955 dan 1957 PKI muncul sebagai partai pemenang pilkada di banyak daerah di Jawa mengungguli dua pesaingnya, partai besar PNI dan NU.Tak heran jika di era 1950-an, PKI menjadi partai yang bukan saja disegani tapi juga ditakuti.

Dengan massa yang begitu besar,Soeharto takut jika kekuasaannya digoyang PKI. Soeharto tak ingin rezimnya punya pesaing.Sehingga tanpa disadari ratusan kepercayaan di tanah air menjadi bagian permainan politik Soeharto.Rezim orde baru sengaja menganaktirikan seluruh aliran kepercayaan.

Pesatnya perkembangan aliran kepercayaan, kuantitas dan eksistensinya, jelas Pelly, dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan negara.Dimungkinkan, upaya inventarisasi kepercayaan di tanah air oleh Soeharto hanyalah dalih untuk menjaga supaya aliran kepercayaan jangan sampai bertransformasi menjadi agama.

Berbeda dengan Pelly, Teolog Katolik, Anicetus B Sinaga menyebut penulisan Kristen di kartu keluarga Parmalim bukan hanya produk orde baru, melainkan jauh sebelum itu. Tepatnya sejak para misionaris asal Eropa memulai misinya di Tanah Batak.“Ada pemaksaan terjadi di tahun 1870-an,” tukas Anicetus.

Hairun Salim, penulis buku Nasib Agama Suku mempertegas pendapat Anicetus bahwa sejak zaman kolonial Belanda kawasan-kawasan yang belum Islam dan Kristen telah dijadikan sasaran aneksasi spiritual dari agama-agama mayoritas. Dan cara aneksasi yang dipilih adalah dengan penaklukan.

Sehingga pada 1878, ketika Nommensen hampir merampungkan terjemahan kitab Perjanjian Baru ke aksara Batak,pada saat bersamaan perang bergolak di Balige.Perang yang dikobarkan oleh Sisingamaraja X sebagai bentuk perlawan terhadap rezim kolonial Belanda yang ingin mengkristenkan seluruh tanah Batak.

Kala itu, pihak kolonial mewajibkan seluruh warga Batak untuk didaftarkan sebagai Kristen, dengan alasan ‘keamanan.’Kebijakan sepihak ini bagi Sisingamangaraja dianggap tindakan sewenang-wenang.Maka Sisingamangaraja X pun memaklumkan perang.Pertempuran tak terelakkan.Namun pasukan Sisingamangaraja kalah.

Itu sebabnya, Uli Kozok, ahli bahasa Batak dari Hawai University, Amerika Serikat dalam Utusan Damai Di Kemelut Perang menulis, bagi kaum Parmalim, Nommensen dianggap pembela penjajah tetapi bagi Nasrani justru mengagungkannya sebagai apostel/rasul Batak.(*)





                                                                                         
EFEK PERANG TOBA
Kekalahan Sisingamangaraja X menempatkan pengikutnya dalam keadaan terjepit, sulit untuk mengambil sikap.Uli Kozok menambahkan, terbunuhnya Sisingamangaraja (pada tahun 1907) menggoyahkan kepercayaan orang Batak terhadap agama tradisionalnya dan lembaga Sisingamangaraja itu sendiri.
Dalam keadaan terjepit pascaperang, orang-orang Batak yang antikolonial benar-benar dilema.Mereka kehilangan sosok pemimpin.Rasa kehilangan itu berlangsung lama.Sehingga mereka seperti domba tanpa gembala.
Terlalu lama kehilangan, akhirnya menempatkan mereka pada posisi harus berdamai dengan keadaan.“Daripada dibantai, mereka mendaftarkan diri jadi Kristen,” kata Anicetus. Keadaan ini mirip dengan apa yang pernah dialami PKI di zaman orde baru.
Pengalaman perang Toba menempatkan masyarakat sisa perang pada posisi serba salah. Apalagi jika Belanda mendengar ada kelompok  Parhudamdam. Kelompok ini kerap dianggap sebagai tentaranya Parmalim sehingga langsung ditumpas.Padahal tidak ada data dan fakta yang menyebut gerakan Parhudamdam sebagai militer Parmalim.
Daniel Perret mencatat, gerakan Parhudamdam berbeda dengan Parmalin karena tidak lagi mendasarkan ajarannya pada unsur-unsur kekristenan melainkan dari ajaran Islam.Parhudamdam pertama kali dilaporkan beraktivitas di Simalungun pada 1917.Tahun berikutnya gerakan ini muncul di pedalaman Deli Serdang.Para misionaris mencap Parhudamdam sebagai gerakan kebangkitan kembali agama nasional kuno Batak.
Mulanya, gerakan ini dipimpin dua pemimpin utama yang tidak baku memiliki hubungan. Pertama, aliran Jaman Pohan dari Simorgarap, di pedalaman Barus.Kedua, di bawah pimpinan Pangambe Jau Pasaribu dari Simanombuk di selatan Habinsaran.
Masih soal perang Batak, pada 1865-1870, Nomensen mengumpulkan seluruh orang-orang Kristen di Huta Dame, Kecamatan Sigeaon, Tarutung.Semua orang yang berada di kampung itu selamat. Tetapi yang diluar, seluruhnya tewas dibantai kolonial Belanda. Sisingamangaraja X tak luput dari kekejaman kolonial itu.
Itulah sebabnya kampung itu dinamakan Huta Dame (kampung damai) karena diperkampungan ini telah terjadi pembantaian hebat, tetapi para warga yang mau mendaftarkan diri jadi Kristen hari itu diselamatkan sehingga terhindar dari celaka.
Perang Toba, sebagai sebuah tragedi sejarah, rupanya tak kuasa memunahkan dan memusnahkan kelompok Parmalim. Justru, para penganut agama lokal Kebatakan tersebut kini makin eksis.Sekalipun mereka menjunjung hal-hal yang bersifat lokal, kelompok ini juga tidak alergi atau antimodernitas.Modernitas justru dimanfaatkan sebagai sarana untuk lebih eksis tanpa sekali-kali melupakan kearifan lokal. Parmalim adalah bukti suatu spirit kebudayaan yang hadir dari, oleh dan untuk bangsa Indonesia (*)


** Wartawan Harian Analisa, Medan, Sumatera Utara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P

Belajar Kelompok dan Karakter yang Dibangunnya

Belajar berkelompok melatih beragam keterampilan, seperti tanggung jawab, solidaritas, menghargai pendapat orang dan memprediksi pertanyaan serta menyiapkan sanggahan. Oleh Dedy Hutajulu SUASANA belajar di kelas 3 SMP Negeri 42 Medan, Jalan Platina 3 Kelurahan Titipan Kecamatan Medan Deli terasa heboh. Perdebatan sedang alot-alotnya soal topik Seleksi Alam. Pelajaran Biologi pagi itu diwarnai dengan debat dan baku sanggah. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan antara lima sampai enam orang. Tiap kelompok duduk dengan posisi melingkari. Baru saja Dhea Fisabila (14) tersenyum lega. Ia dan timnya baru saja kelar presentase yang diwarnai adu argumen dengan kelompok lainnya. Pengalaman itu, katanya, sangan mengesankan. Dhea mengaku, belajar berkelompok bukan sekadar mengupas topik Seleksi Alam, tetapi mempraktikkan cara memimpin rapat, bagaimana menghargai pendapat teman, belajar mengorganisir diskusi, memprediksi pertanyaan dari kelompok