Oleh: Dedy Hutajulu**
Rianti Simanjuntak, 29
tahun, gagal mendaftar dalam penerimaan tenaga kesehatan (bidan) di Rumah Sakit
Angkatan Udara Polonia, Medan, Sumatera Utara. Namanya dicoret panitia hanya
karena ia mencantumkan agama Parmalim di
formulir pendaftaran.
“Gak bisa.Itu bukan agama.Coret saja!”
kata Rianti menirukan ucapan seorang petugas pendaftaran.Peristiwa tujuh tahun
silam itu masih membekas di pikiran Rianti sampai kini.Air mata nyaris berderaiketika Ia menuturkan kembali pengalaman itu. Raut mukanya
berubah.
Rianti bilangia sempat dipaksa panitia
mencantumkan salah satu agama resmi pada borang formulir. Cuma dengan cara itu
berkasnya bisa diterima. Tapi Rianti menolak.Atas penolakan itu, panitia yang
melayaninya, seorang bapak berbadan gempal kulit sawo matang menudingnya
sebagai bukan warga Indonesia.
Rianti menolak tudingan itu.Ia dan
panitia sempat bertegang urat. “Masakan aku dibilang bukan warga negara
Indonesia?Sakit hati aku.Kubilanglah ke bapak itu begini, ‘Oppungku, Mamakku,
Bapakku juga agamanya itu [Parmalin].Mereka warga negara [Indonesia] kok.Kenapa
aku tidak?”’ tuturnya.
Usai berdebat Rianti pergi meninggalkan
panitia.Tangisnya pecah. Sepanjang jalan menuju rumahnya di Jalan Seksama, Medan,
iamengumpati nasib. “Kok kek ginilah nasibku ya Tuhan.Cuma mau cari kerja saja
harus negak-negakkan agama.”Ia membatin.
Setiba di rumahRianti meluapkan
kekesalannya.Ia tak menyangka hanya gara-gara agama yang dianutnya itu, ia akan
kesulitan melamar kerja. Bahkan dituding bukan warga Indonesia.
Penolakan yang diterima Rianti dari
panitia itu, mengingatkannya pada masa-masa kuliah dulu.Rianti adalah lulusan
Akademi Kebidanan Helvetia Medan.Semasa kuliah, Rianti pernah dikucilkan
kakak-kakak kelasnya.Biangnya juga gara-gara agamanya.Setelah tamat kuliah,
Rianti mengira diskriminasi yang dialami tak bakal berlanjut.Ternyata
perkiraannya melenceng.Penolakan yang dialaminya di dunia kerja bahkan jauh
lebih berat.
Rianti mengalami diskriminasi sejak
hari pertama menginjakkan kaki di kampus.Tak seorang pun kakak kelas mau
berkawan denganya.“Semua menjauhiku karena aku seorang Parmalim,” tuturnya.
Di kampusnya ada aturan, setiap
mahasiswa baru harus punya kakak angkat.Tapi tidak satupun seniornya bersedia
menjadi kakak angkat.Senior-senior bahkan menjauhinya.“Gak ada yang mau
menerimaku.Mereka bilang aku harus pindah agama.Aku enggak mau.Biar enggak
berkakak angkat pun, aku bisa hidup,” kata Rianti yang sekarang telah memiliki
seorang anak.
Penolakan itu dialami Rianti mulai
berkurang diujung studinya.Rianti sekarang bekerja sebagai bidan tidak tetap di
Puskesmas di Kota Kisaran, Sumatera Utara.Ia bekerja di sana sejak 2008. Gaji
pertamanya Rp 450 ribu.Gaji serendah itu bertahan hingga 2010.Barulah di 2011
gajinya menjadi Rp 1,450.000.Dan angka itu bertahan sampai hari ini.Belum ada
kabar kenaikan gaji.
Sebelum bekerja di Kisaran, Rianti
pernah berwira-wiri di beberapa klinik dan Rumah sakit swasta di Medan. Rianti
ingin sekali bisa diterima jadi pegawai negeri, katanya, selain terjamin masa
pensiun juga karena ia ingin kuliah lagi sampai meraih gelar sarjana.
“Sekiranya dulu aku lolos pegawai negeri, mungkin gajiku sudah dua jutaan. Dan
separuh dari gaji itu akan kupakai untuk biaya kuliah. Tapi cita-citaku itu terpaksa
harus menggantung lantaran terbentur dana,” ucapnya.
Tindakan panitia yang menggugurkan
namanya dari calon peserta ujian bagai sembilu yang menyayat hati
Rianti.Menyakitkan.Penolakan panitia itu jelas mematikan hak Rianti untuk ikut
seleksi penerimaan pegawai negeri.“Belum apa-apa sudah dinyatakan gugur,” tukas
Rianti menggerutu.
Status agama yang tercantum di kartu
penduduk Rianti saat itu adalah tanda setrip.Kartu penduduk bertanda setrip
dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Berbeda dengan kartu milik Ria Sitorus,
rekan seagamanya. Di kartu penduduk Ria tertulis agamanya Parmalim. Kartu
penduduk Ria juga dikeluarkan pemerintah daerah.
Menjadi Persoalan
Saat kartu penduduk-elektronik
diberlakukan secara nasional, agama Parmalim justru menjadi persoalan. Akibat
kebijakan negara yang hanya mengakui lima agama resmi, yakni Protestan,
Katholik, Hindu, Budha dan Islam, keberadaan agama-agama tradisional seperti
Parmalim menjadi terpinggirkan.
Kisah teranyar dan tak kalah
mengecewakan dialami Tohom Naipospos, 24 tahun, saat mau mendaftar sebagai
calon pegawai negeri untuk Kementerian Hukum dan HAM. Saat mendaftar online
tahun lalu, ia harus mengisi kolom agama. Akan tetapi pilihan yang disediakan
hanya lima agama. Naipospos bimbang. Di satu sisi ia ingin menjadi pegawai
negeri tetapi syarat agama pada formulir telah membatasi langkahnya.
“Sempat terbersit di pikiran saya untuk
mencantumkan agama lain di formulir pendaftaran itu supaya berkas saya bisa
lolos administrasi. Namun, pikiran itu cepat-cepat saya halau,” kata Naipospos
yang hingga kini masih menganggur.Naipospos adalah satu tunas Parmalim dari
Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
Penolakan terhadap agama Parmalim juga
terjadi di sektor perbankan.Seperti yang dialami Poltak Sirait. Warga Perumnas
Nusa Indah, Kabupaten Simalungun. Ia gagal membuka rekening baru di Bank
Central Asia (BCA), Jalan Asahan Kompleks Megaland, Pematangsiantar, Sumatera
Utara Mei 2012 silam karena ia seorang penganut malim. “Daripada saya capek
bikin rekening, saya simpan aja uang saya di bawah bantal,” kata Sirait
Sejumlah kasus telah menunjukkan betapa
sulit menjadi seorang Parmalim.Identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh
negera.Jika ingin mendapatkan kartu identitas maka pada kartu penduduk
elektronik, kolom agama mereka dicantumkan tanda strip. Atau mereka terpaksa
mengisi dengan agama lain.
Keharusan menghilangkan identitas
keagamaan tidak sekadar memberi dampak administratif bagi pengikut
Parmalim.Dampak yang lebih serius adalah terjadinya pengingkaran hak-hak sipil bagi
mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan pelayanan publik.
Padahal anggaran untuk pembuatan kartu
penduduk-elektronik se-Indonesia mencapai Rp 5,8 triliun. Biaya ini
digadang-gadang mampu melayani 172 juta penduduk usia layak berkartu penduduk.
Tentang fakta-fakta tersebut, Djoehermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri tidak mau mengomentari. (*)
Memperjuangkan PArMALIM DI LEMBAR KTP
TERNYATA tidak sedikit warga parmalim yang
kesulitan mendapat kartu penduduk karena
keyakinan mereka tidak diakui negara. Setidaknya ada 29 orang di Desa
Batunagodang Siatas dan 19 orang di Sibuluan, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara yang kartu penduduk elektroniknya dicantumkan beragama
Kristen padahal mereka aslinya beragama Parmalim.
Salah satunya orang yang mengalami hal itu adalah Enika
Simanullang. Ia perempuan dengan tinggi badan sekitar 1,5 meter. Kulit hitam
manis mirip keturunan India. Ia pekerja keras dan seorang yang telaten. Saat
ini Enika tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komputer angkatan 2012 di Politeknik Informatika Del,
Toba Samosir, Sumatera Utara. Del adalah politeknik yang didirikan Jenderal TNI
(Purn) Luhut Panjaitan, mantan Menteri Perindustrian era Gusur.
Putri pasangan Reston Simanullang, 42
tahun dan Rawati Simbolon, 40 tahun, itu sudah tiga kali bolak-balik ke kantor
camat Onan Ganjang guna perekamankartu penduduk elektronik. Dan selama tiga
kali itu pula datanya gagal diperbaiki.Sampai hari ini kartu penduduknya tak
kunjung diterbitkan. Padahal sebentar lagi, ia mau merantau ke kota lain.
Sebenarnya kartu penduduk Enika sudah
sempat tercetak tetapi akhirnya dipulangkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dikdukcapil), karena di kartu itu diterakan agama Kristen padahal Enika
seorang Parmalim.Malim adalah kepercayaan lama orang Batak sebelum Kekristenan
dan Keislaman masuk ke tanah Batak.
Keluarga Enika tinggal di Desa
Batunagodang Siatas, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan.Desa ini
berjarak sekitar 50 kilometer dari Dolok Sanggul, Ibukota kabupaten.Di desa ini
menetap 14 kepala keluarga warga Parmalim sementara di Onan Ganjang bermukim 55
kepala keluarga Parmalim.Mereka hidup diantara 190 kepala keluarga warga
Kristen.
Enika jelas tidak sendirian mengalami
diskriminasi. Ada sekitar 6.000 warga Parmalim yang berpotensi punya masalah
yang sama, yakni kesulitan mendapat kartu penduduk karena negara tidak mengakui
keyakinan mereka. Jumlah ini bahkan bisa lebih besar lagi.
Menurut Data Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan total
pengikutnya mencapai 400 ribu jiwa. Angka ini kemungkinan lebih besar lagi karena
menurut data Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Jawa Tengah saja terdapat
296 aliran kepercayaan. Data eLSA itu jauh melampaui data resmi di tingkat
nasional.
Pro Aktif
Demi menghindari terjadinya
diskriminasi, para warga Parmalim proaktif terhadap setiap pendataan
kependudukan, termasuk perekaman kartu penduduk.Sikap proaktif itulah seperti
ditunjukkan Enika. Walau sudah tiga kali gagal, Enika tetap saja pergi ke
kantor camat melakukan perekaman demi memperbaiki data kartu penduduknya.
Agustus 2013 lalu, ia bersama sepupunya
bernama Junita Sitohang dan seorang priateman sekampung berangkat pukul sembilan
pagi dari kampungnya. Mereka berboncengan naik sepeda motor. Jarum jam menunjuk
ke angka 11 saat pria itu memarkir sepeda motornya di depan kantor kecamatan.
Enika turun dan segera melangkah masuk ke dalam kantor camat.
Begitu di depan ruang perekaman,
langkahnya terhenti. Pintu ruangan perekaman tergembok.Pintu ruangan itu dua
lapis.Lapis pertama pintu kayu, lapis kedua jeruji besi. Empat petugas tengah
asyik bercengkerama di ruang depan. Mereka mengenakan seragam pegawai negeri
sipil warna kuning.Tak satu pun dari petugas itu keluar untuk menanyakan maksud
kedatangan Enika, meski mereka melihat ada tamu yang datang.
Tidak ada upaya petugas untuk menyapa
Enika atau sekadar basa-basi.Padahal di dinding kantor camat itu tertempel
poster dengan motto melayani dengan 3S: Senyum, Sapa, Sopan.
Begitu seorang dari petugas bernama
Boru Sihotang keluar, Enika langsung menyampaikan maksud kedatangannya.Boru
Sihotang menjawab bahwa kunci ruang operator sedang dibawa Jonadat
Sibagariang.Jonadat adalah salah satu petugas perekaman. Cuma Ia yang memegang
kunci ruangan. Jonadat badannya kurus.Selalu memakai topi coklat dan jaket
kulit warna hitam.Gayanya persis anak sekolah yang suka memunggungi ransel.
Menurut penjelasan Boru Sihotang,
Jonadat tengah pergi mengantarkan berkas-berkas ke kantor catatan sipil Dolok
Sanggul. Jarak Onan Ganjang ke Dolok Sanggul sekitar 20 kilometer.Enika
terpaksa menunggu.Sebab kalau diundur lagi ke besok, banyak waktu yang terbuang
sia-sia. Perhitungannya, jarak antara kampungnya ke kantor camat makan waktu
dua jam perjalanan naik sepeda motor. Di hari biasa tidak ada angkutan kecuali
Sabtu karena ada pasar di Onan Ganjang. Minimnya angkot memaksa penduduk harus
memiliki sepeda motor sebagai alat transportasi.
Walau cuma dua jam, perjalanan ke
Batunagodang Siatas sangat melelahkan. Kondisijalan buruk, terjal, berkelok dan naik turun. Di
kiri jalan ada beberapa dinding gunung yang longsor.Buruknya kondisi jalan
membuat daerah rawan kecelakaan.
Setelah menunggu lebih dua jam.Jonadat
pun tiba.Enika ditemani sepupunya Junita Sitohang, usianya bertaut tiga tahun
dibawah Enika.Kalau Enika berkulit hitam, Junita justru putih bersih.
Mereka satu persatu melakukan
perekaman.Enika terlebih dahulu.Tapi hasilnya kembali gagal.Data agamanya tak
bisa diubah. Giliran Junita, proses perekaman cuma sebentar. Tak sampai dua
menit.Begitu data-data selesai diisi, Junita langsung berpoto, membubuh tanda
tangan di mesin digital.Sudah itu kelar.Data agama Junita berhasil diubah
menjadi kepercayaan.
Enika merasa aneh kenapa datanya tidak
dapat diubah sementara punya sepupunya bisa. “Kenapa data saya tidak bisa
diubah?” tanya Enika kepada Jonadat. “Mungkin Kartu Keluargamu belum
diperbaiki,” sahut Jonadat menduga-duga.
Enika
meninggalkan ruangan dengan kecewa.
BOLA PINGPONG URUS KTP
GAGALNYA Enika mendapat kartu penduduk juga
dirasakan puluhan warga Parmalim di desa itu. Setidaknya, menurut, Reston
Simanullang, sebanyak 48 kartu penduduk bermasalah telah mereka kembalikan ke
kantor Catatan Sipil Humbang Hasundutan supaya diganti.
Pihak catatan sipil mengatakan hanya 35
kartu penduduk bermasalah.Dan ke-35 kartu penduduk bermasalah itu telah dikirim
ke Kemendagri, Jakarta Pusat. Tapi sejak Mei hingga akhir November 2013 tidak
ada kejelasan kapan kartu penduduk Parmalim akan dicetak kembali. Berulang kali
Reston menanyakan kejelasan perbaikan kartu penduduk warganya itu, berulang
kali pula ia mendapat jawaban tidak pasti. “Masih harus menunggu dari pusat,”
jawab Juber Simanullang Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Humbang
Hasundutan.
Tak puas hanya menunggu, pada 30
September 2013, Reston melayangkan surat ke Kemendagri perihal nasib kartu
penduduk warganya. Reston yang akrab dipanggil Pak Budi juga sudah berulang kali menelpon kantordinas kependudukan
Humbang Hasundutan meminta keterangan tentang nasib kartu penduduk warganya
itu. Namun bukan kabar menggembirakan yang didapatnya, melainkan jawaban
mengecewakan.
Kepala Seksi Kependudukan Humbahas,
Tahi Gultom menjawab, kartu penduduk tidak bisa diganti sebelum masa berlakunya
habis. Pak Budi jengkel mendengar
jawaban Gultom.Kenapa tidak bisa?
Keterangan berbeda disampaikan Jonadat,
petugas perekaman data.Ia mengatakan beberapa data seperti nama, tanggal lahir
dan status agama bisa langsung diperbaiki. Tidak harus menunggu lima tahun.“Asal
kartu keluarga sudah dimutakhirkan terlebih dahulu,” terangnya lebih lanjut.
Menurut Jonadat, kendala utama kenapa
data kartu penduduk Enika tidak bisa diperbaiki, karena yang tersimpan di
database komputer catatan sipil adalah data lama. Dalam data base ini Enika dan
pengikut Parmalim yang lain tercatat beragam Kristen.
Data lama, itulah urat akar
permasalahannya.Ternyata perekaman kartu penduduk mengacu pada data kartu
keluarga. Jika kartu keluarga tidak dimutakhirkan, status agama yang
tertera di kartu keluarga lama akan
tetap diacu dalam pembuatan kartu penduduk. Pada kartu keluarga yang ada,
seluruh anggota keluarga Enika tercatat beragama Kristen, padahal mereka tidak
pernah beragama Kristen.Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana ini
bisa terjadi?
Juber Simanullang menuding kesalahan
perekaman data adalah kelalaian petugas operator di kantor camat yang tidak
menanyakan data-data warga secara detail atau masyarakat Parmalim tidak
menyimak pertanyaan operator.
Camat Jonsihar Simanullang juga
menuding serupa bahwa kesalahan ada pada operator yang tidak jeli terhadap
data-data warga. Sekretaris camat Gerhard Sinaga berkata lain. “Mungkin
kesalahan ini karena warga tidak memperhatikan data-datanya saat perekaman dan
mereka baru komplain saat kartu penduduk sudah terbit,” ujar Sinaga.
Jonadat membantah pendapat Juber dan
Jonsihar. Sebagai petugas ia mengaku sudah bekerja maksimal tanpa kesalahan.
Menurut dia, kesalahan itu murni pada warga Parmalim sendiri yang tidak mau
dicatatkan sebagai kepercayaan.
“Kami tanyakan setiap warga yang mau
bikin kartu penduduk.Tapi mereka ngotot minta dituliskan agamanya Parmalim.Kata
mereka, ‘Kalau bukan Parmalim lebih baik dibikin Kristen saja.’Ya, kami hanya
mengacu pada apa yang tertulis di kartu keluarga mereka.”s katanya.
Jonadat menambahkan, jika memang data
ingin akurat mestinya warga memperbarui kartu keluarganya.Tentang pemutakhiran
data kartu keluarga, Juber Simanullang mengatakan sudah dua kali pihaknya
melakukan pemutakhiran. Kepada Desa Batu Nagodang Siatas, Jasa Sebastian juga
menguatkan pernyataan Juber. “Iya sudah dua kali pemutakhiran kartu keluarga
tapi bukan kolom agama melainkan nomor induk keluarga saja.”
Humas Pemerintah Kabupaten Humbang
Hasundutan Osborn Siahaan mengakui ada kelalaian dinas terkait tetapi juga
tidak menafikan kesalahan masyarakat. “Ya, ini akibat kurang kehati-hatian
petugas catatan sipil dalam menanyakan masyarakat secara detail tentang agama
mereka. Tapi masyarakat juga tidak memeriksa data-data mereka saat
direkam.Begitu perekaman rampung dan kartu penduduk sudah dicetak barulah
mereka komplain,” katanya.
Osborn menambahkan, Bupati Maddin
Sihombing berjanji bahwa seluruh kartu penduduk yang bermasalah segera
dituntaskan 2014 mendatang.Mendengar kisruh kartu penduduk ini, Ketua Komisi E
DPRD Sumut Jhon Hugo Silalahi meminta Bupati Humbang Hasundutan untuk segera
memperbaikinya.
Ketua Komisi A DPRD Sumut Oloan
Simbolon juga turut angkat bicara. Menurut Simbolon, persoalan kartu penduduk
Parmalim ini bentuk kebobrokan negara dalam penyelenggaraan administrasi.
“Sistem di negara kita sangat buruk. Sudah canggih teknologi, tapi bikin kartu
penduduk saja susah. Aneh negara ini,” katanya.
Kendati
demikian, menurut Simbolon tidak ada alasan pemerintah untuk menunda
memperbaiki kartu penduduk yang bermasalah. Kalau tidak, sambungnya, lebih baik
Kepala Dinas kependudukan dan Catatan Sipil Humbang Hasundutan dicopot karena tak
becus mengurusi data-data penduduk. “Copot saja itu kadis kependudukan!Tak
becus kerjanya,” katanya lagi. (*)
EFEK TRANSFORMASI KEMENTERIAN
EFEK pergeseran kementerian juga turut andil memperkeruh
sengkarut pembuatan kartu penduduk. Sejak Kementerian Kebudayaan terintegrasi pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaantelah melahirkan nomenklatur
yang menangani penghayat kepercayaan berada di bawah otoritas dinas pendidikan
dan kebudayaan.
Celakanya
menurut pengamat budaya Batak Nelson Lumbantoruan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Humbahas tidak mempunyai
orang-orang yang profesional di bidang pemberdayaan kelompok penghayat
kepercayaan. “Dinas pendidikan gamang menangani hal beginian, karena mereka tak
terlatih,” kata Lumbantoruan.
Sedang
menurut Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, kesalahan Kemendagri tersebut sesungguhnya tak
boleh ditoleransi karena sudah masuk kategori pelanggaran hak asasi
manusia.Dalam hal ini, Kemendagri
selaku pemiliki gawean, kata Khoiron, menjadi pihak paling bertanggung jawab.
Pasalnya,
terang Khoiron kartu penduduk dan kartu keluarga adalah bagian dari kebebasan
hak sipil yang tidak dipenuhi oleh negara.“Khusus tentang kartu penduduk,
negara harus membuat surat edaran pembubuhan kepercayaan.Surat edaran yang
dikeluarkan kementerian dalam negeri untuk dikirim ke seluruh dinas-dinas
terkait yang memproses kartu penduduk sehingga tidak terjadi simpang-siur tentang
data-data pencatatan sipil,” katanya.
Atau,
usul Khoiron, kembalikan otonomi ke daerah dalam menangani pencatatan
kependudukan, seperti selama ini terjadi.“Kalau dulu yang memproduksi kartu
penduduk adalah masing-masing daerah.Daerah punya kemampuan mengakomodasi
persoalan seperti ini.Tetapi sejak nasionalisasi kartu penduduk dengan sistem
amburadul justru telah menyusahkan daerah dalam mencatatkan data-data
warganya,” katanya lagi.
Pengembalian
otonomi ke daerah, menurut tokoh Opera
Batak, Thomson Hutasoit tidak solusi tepat.Thomson mengatakan lebih baik
dihapuskan saja kolom agama dari kartu penduduk. Ia beralasan tak ada korelasi antara agama di dalam
kartu penduduk. “Lebih bagushapus saja agama di kartu penduduk,” ujarnya. (*)
DUALISME REGULASI
KEMELUT pencantuman identitas agama Parmalim dalam kartu
penduduk-elektronik itu berasal dari agama mereka yang tercantum di Kartu
Keluarga. Pada umumnya dalam Kartu Keluarga mereka tercatat beragama
Kristen.Untuk mengubah itu mereka seperti menghadapi tembok.
Keberadaan
penghayat kepercayan sudah diakui negara secara yuridis formal, terlebih dengan
disahkannya UU Administrasi
Kependudukan 2006 dan PP tahun 2007.
Pasal 61 ayat 2 (untuk kartu keluarga) dan pasal 64 ayat 2 (untuk kartu
penduduk) UU Administrasi
Kependudukan menyebut, kolom agama bagi
penduduk penghayat kepercayaan tidak diisi.
Tetapi
faktanya, mesin operator perekaman kartu penduduk malah menyediakan kolom
kepercayaan dan bukan tanda kosong.Dan banyak dari kartu keluarga serta kartu
penduduk warga Parmalim dicantumkan Kristen.Sementara, pelanggaran terhadap
kesalahan pencatatan data-data penduduk yang dilakukan pejabat atau petugas
juga ada sanksinya.
UU
administrasi kependudukan 2006 pasal 98 ayat 1 mengacu ke pasal 93 menyebut,
pejabat dan petugas pada penyelenggaraan dan instansi pelaksana yang memalsukan
surat dan/atau dokumen dipidana maksimal 6 tahun penjara dan denda terbanyak Rp
50 juta. Itu pun masih ditambah hukuman penjara satu pertiga.
Anehnya,
sudah tujuh tahun sejak peraturan ini diundangkan, tetapi tak satu pun petugas
atau pejabat administrasi kependudukan yang dipidanakan.Padahal kesalahan
pencatatan terjadi luar biasa banyak.
Khusus
karut-marut kartu penduduk Parmalim di Humbahas, Reston Simanullang mengatakan,
jauh-jauh hari ia sudah menyerahkan ke dinas kependudukan daftar nama-nama
anggotanya. Tujuannya supaya pihak catatan sipil tidak salah mengentri
data.Namun faktanya, pihak catatan sipil telah menyepelekan persoalan ini
sehingga perekaman data kartu penduduk bagi Parmalim benar-benar bermasalah.
Menurut
Budayawan Idris Pasaribu gejala kesalahan pencatatan kartu keluarga
sesungguhnya bukan terjadi baru-baru ini saja tetapi sudah berlangsung sejak
1960-an. Tetapi karena Parmalim ingin bertahan hidup dan mereka ingin anak-anaknya
bisa berkerja dan sekolah sehingga mereka tidak mempersoalkan kalau kartu
keluarga mereka dicantumkan Kristen.
Pasaribu
mengidentifikasi dua biang kesalahan pencatatan data kartu keluarga
itu.Pertama, ada warga Parmalim yang memang secara sukarela mencantumkan diri
mereka ke Islam atau Kristen.Kedua, ada Camat nakal yang sesuka hati memasukkan
warganya ke agama mana pun.
Kesalahan Orde Baru
Kesemrawutan
persoalan agama tradisional seperti Parmalim dalam administrasi, menurut Guru
Besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Usman Pelly sebagai
kesalahan orde baru.Pelly yang menulis buku Ugamo Malim menuding kekejaman orde
baru sebagai penyebab kelompok penghayat kepercayaan menjadi terkatung-katung.
Pelly
tak menyangka kesalahan orde baru itu akan berlanjut terus hingga hari ini.
Tetapi yang terjadi sebaliknya.“Ini kesalahan orde baru yang hanya mengakui
lima agama, yaitu Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha,” katanya.
Orde
baru, kata Pelly, tidak ingin kelompok-kelompok penghayat kepercayaan menjelma
menjadi agama. Bagi orde baru, kelompok-kelompok aliran kepercayaan jika
menjelma jadi agama dikuatirkan akan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia
yang bisa menjadi musuh tak terlawan. Tetapi Oloan Simbolon melihat ini tidak
ada kaitannya dengan sejarah melainkan murni kesalahan administrasi.
SUSAHNYA JADI PARMALIM
Tak hanya orang dewasa seperti Rianti,
Naipospos atau Sirait, diskriminasi agama juga dirasakan anak-anak
Parmalim.Lastiar, putri sulung Sirait misalnya, bahkan diwajibkan belajar
telaah Alkitab tiap Jumat di sekolah. Saat ini, Lastiar duduk di bangku kelas 3 SMA Negeri 2 Bandar,
Simalungun, Sumatera Utara.
Saat ditanya bagaimana perasaannya ketika diwajibkan menelaah Alkitab, ia
menjawab, “Yang penting kami dapat nilai.”
Lebih jengkel lagi adalah apa yang
dialami Tamaria Nobelin. Putri Bungsu Poltak Sirait. Nobelin yang duduk di
bangku kelas 2 SD Negeri 4 Pardagangan kerap bikin gondok ayahnya.Apalagi dalam
urusan tugas rumah pelajaran agama.“Pak, tolong carikan apa isi ayat Alkitab
dari perikop (bacaan) ini,”
pinta Nobelin.
Poltak menjawab,“Bilang sama gurumu, di
rumah kita enggak ada Bibel (Alkitab).
Kita ini Parmalim bukan Kristen, “ jawaban Sirait justru membuat Nobelin kesal.
Sirait risau akan nasib pendidikan
anak-anak mereka. Sampai sekarang anak-anak Parmalim di Simalungun, kata dia,
terus dipaksa memilih salah satu agama di sekolah.Sirait bertekad memperbarui
kekeliruan ini.
Suatu ketika Sirait berkesempatan
berdialog dengan Binton Tindaon, salah satu wakil rakyat di Simalungun.Ia
segera menyampaikan keluh kesahnya sebagai seorang Parmalim. Tindaon mendengar
dan berjanji akan membantu nasib anak-anak Parmalim. “Akan kita bantu ya,” kata
Tindaon.
Selain anak-anak Sirait, ada sejumlah
nama warga Parmalim yang terpaksa mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai
dengan keyakinan mereka. Uli Samosir, 20 tahun misalnya. Ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)
semester 5. Sejak SD hingga SMA, Uli belajar agama Katolik di sekolahnya, di
Indrapura, Batubara, Sumatera Utara. Tetapi ketika di kuliah, ia belajar agama Islam.
Rotua Nita Butar-butar, mahasiswa
Biologi Unimed juga begitu. Dari bangku sekolah dasar hingga menengah atas
bahkan sampai kuliah di Unimed, ia belajar agama Kristen Protestan.
Di Medan sedikitnya ada 100 kepala
keluarga warga Malim.Pimpinan Parmalim di Medan Rinsan Simanjuntak berharap,
pendidikan agama bagi anak-anak Parmalim bisa difasilitasi sendiri oleh pihak
mereka, sepasti dialami saudara mereka yang di Tobasa.
Di Tobasa, kata Monang Naipos-pos,
seorang tokoh berpengaruh di Malim, pembelajaran agama sudah ditangani sendiri
oleh pihak Parmalim sejak Juli 2012.
Guru Santi, Silabus, dan kurikulum semuanya disediakan oleh Tim penyusun dari
Parmalim. Pada awalnya Tobasa mengalami hal sama akan tetapi setelah melewati
banyak proses dan loby-loby politik dengan pemerintah setempat, akhirnya
aspirasi mereka gol. “Kita loby pemerintah Kabupaten Tobasa.Dan Bupati Tobasa
akhirnya menyetujui,” ucap Monang.
Lebih lanjut, Monang mengatakan, pada
umumnya sekolah di Tobasa mau menyediakan tempat untuk anak-anak Parmalim
belajar agama Parmalim.Tapi pihak dari Parmalim sendiri yang mengumpulkan
anak-anak di satu titik. Setiap Sabtu, anak-anak itu berkumpul di titik tersebut
untuk belajar ajaran Malim. “Kami tidak mau merepotkan negara.Yang penting kami
diberi hak.Kami siap mandiri,” tutur Monang lagi.
Kini Simalungun, Jakarta, Tangerang,dan
Batam mulai mengikuti jejak-jejak Parmalim di Tobasa. Menyusul Tapanuli Tengah.
Saat ini ada sekitar 6000 Parmalim di Indonesia.
Perjuangan
mendapatkan pengakuan agama bagi
Parmalim tampaknya masih panjang. Sulitnya mendapatkan identitas kependudukan
membuat Parmalim jadi bersifat paradoks.Bahkan hampir-hampir mereka tidak
percaya kalau mereka mampu mendapatkan pengakuan.“Enggak apalah kami tidak
dibuat agama yang penting masih bisa mengakses layanan publik,” ujar Marnakkok
Naipospos, Pimpinan Tertinggi Malim Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.(*)
Menjenguk PArmalIm
Dari
dapur, Reningnga bergegas ke ruang tamu dengan seceret kopi panas.Kopi bagi suaminya tercinta, Mangarti Sihotang.
Berharap sang suami akan merasa hangat setelah menyeruput kopi panas buatannya
itu. Udara di luar sangat dingin.Angin pegunungan menelusup dari celah-celah
dinding papan dapur rumah Reningnga.
Tapi
sang suami masih nyenyak. Menikmati mewahnya tidur dalam suasana dingin
pagi.Dua lapis selimut membungkus raganya demi menjaga suhu tubuh Sihotang
tetap hangat.Terdengar jelas suara dengkuran dari balik selimut itu.
Melihat
sang suami pulas, Reningnga tak peduli lagi pada kopi yang barusan diseduhnya.
Ia kembali ke dapur. Dibiarkannya kopi itu mendingin di atas meja.Sihotang baru
bangun setelah terganggu mendengar suara riuh kokok ayam jantan menajamkan
pagi.
Kokok
ayam bagi Desa Batunagodang adalah pertanda
alami untuk bangun pagi. Biarpunrata-rata
tiap rumah sudah punya jam dinding atau telepon genggam yang bisa diatur suara
alarmnya, tapi mereka lebih memilih mendengar kokok ayam.
Bagi
Batunagodang kokok ayam adalah hadiah
alam yang amat berharga. Batunagodang Siatas adalah sebuah desa yang letaknya paling ujung
kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan.Desa yang berada tepat di kaki Gunung Dolok Pinapan itu, di kelilingi sawah dan ladang.Di
pemukiman ini, telah berdiri tegak satu tower jaringan telekomunikasi swasta.
Dolok
Pinapan, bagi masyarakat setempat dianggap keramat karena mempercayai mitos
tentang hilangnya dua orang asing bersaudara yang diduga baku bunuh setelah
menemukan segepok emas di puncak gunung itu.
Benar
atau tidak, yang jelas adanya Dolok Pinapan telah menyumbang udarasegar pegunungan
dan air jernih bagi penduduk sekitarnya. Setidaknya, dua ratusan kepala
keluarga yang bermukim di kaki gunung ini setiap hari menikmati berkah udara
segar dan air jernih-bersih.
Mungkin
karena tiap hari menghirup udara segar dan minum air bersih, sehingga tubuh
Reningnga tetap bugar walau usianya kini menapaki lewat 50 tahun. Ia tetap
kuat.
Kebugaran
serupa juga dimiliki anak-anak desa itu.Dalam gemuruh angin dan suhu dingin
yang menusuk tulang, mereka begitu riang bermain di bawah guyuran air pancuran
pemandian umum.Seakan kulit mereka tak merasakan apa-apa.
Sebenarnya,
tidak cocok disebut pemandian umum, sebab pemandian ini hanya berupa lantai
semen, tanpa dinding, tanpa atap.Hanya ada satu selang besi yang terus
mengalirkan air.Selang itu juga tanpa kran. Sehingga tiap detik, jika tak ada
yang menampung, air terbuang sia-sia. Tidak semua warga menggunakan pemandian
ini, beberapa rumah sudah memiliki kamar mandi sendiri.Tapi lebih banyak yang
tak punya.
Air
di pemandian umum itu jernih-bersih.Air itu tidak hanya dipakai untuk mandi,
tetapi juga mencuci dan minum.Untuk air minum, warga membawa jeriken-jeriken
penampung air.Hebatnya, air ini tak pernah kering walau terus-menerus mengalir.
Rata-rata
rumah penduduk masih berdinding papan.Hanya satu dua yang semi permanen.Belum
ada yang benar-benar permanen.Mata pencarian mereka umumnya berladang, dan
bertani.Satu dua ada yang beternak bebek.Ada yang memelihara kerbau dan ada
yang memproduksi gula merah.
Pukul
tujuh pagi, kampung sudah sepi.Anak-anak sudah berada di sekolah.Orang-orang
dewasa di ladang atau sawah mereka.Sekolah dasar dekat, bisa ditempuh dengan
jalan kaki beberapa menit sementara sekolah menengah pertama dan atas berada di
Onan Ganjang.Berjarak puluhan kilometer.Kalau anak di sekolah, orangtua di
ladang.
Santi
Tetapi
karena Sabtu adalah hari santi (beribadah) bagi Parmalim, orang tua tidak boleh
meladang.Mereka persiapan untuk ibadah.Ada sedikit kejanggalan bagi Parmalim di
desa ini. Ibadah dimulai pukul 8 pagi sementara di daerah lain seperti di Huta
Tinggi Laguboti atau di Medan, pukul 12 siang.
Rupanya,
jadwal ibadah Parmalim di desa ini bertabrakan dengan hari Onan (pasar).Pasar
digelar di Onan Ganjang.Berpuluh kilometer dari kampung.Persoalannya,
transportasi dari Batunagodang ke Onan Ganjang hanya satu angkutan.
“Cuma
ada satu angkutan ke sini. Dan itu datang pagi langsung berangkat ke onan jam 10. Kalau kita ibadah jam 12,
onan sudah tutup. Makanya kita percepat jadwal untuk ibadah, agar warga kita
tak terganggu ke onan,” jawabnya.
Penganut
kepercayaan Malim di desa ini ada 14 kepala keluarga.Sementara untuk Onan
Ganjang tercatat 55 kepala keluarga Parmalim.Kelompok Parmalim ini hidup
diantara 190 Kepala keluarga warga Kristen.
Apa itu Parmalim?
Ada
beberapa tafsir dari Timur tentang arti malim.Ada yang menyebut kata Malim
muncul sebagai pengaruh perdagangan bebas. Yang lain mengatakan malim lahir
sebagai akibat perang Paderi (kaum putih), gerakan perlawanan kaum Islam
terhadap kolonial Belanda yang dipelopori oleh Imam Bonjol di Padang, Sumatera
Barat. Namun soal arti istilah kata Malim, sejauh ini jarang diperdebatkan.
Sejumlah
literatur menyebut, malim lahir dari kata mualim. Dalam kosa kata Batak Toba
disebut malim; Bahasa Karo: malem. Gervasius Aritonang, Akademisi di Etnomusikologi Universitas
Sumatera Utara (USU)
pada 2002-2003 pernah meneliti bahwa mualim itu evolusi dari kata malaham yang
artinya suci. Dalam Katolik disebut Santo atau Sufii dalam terminologi Islam.
Negara
kita mengakui Malim adalah sebuah aliran kepercayaan, bukan agama. Tetapi
Pimpinan Tertinggi Malim dari Huta Tinggi, Laguboti, Marnakkok Naipospos
menyebut Ugamo Malim bukanlah aliran
kepercayaan melainkan sebuah agama yang menyembah Debata Mula Jadi Nabolon dan berkiblat pada Sisingamangaraja.
Naipospos
mengatakan, Malim adalah agama orang Batak
dari dulu. Itu sebabnya mereka menerakan kata “Ugamo” di depan nama kepercayaan
mereka. Ugamo artinya agama.“Ugamo Malim adalah agama orang Batak dari dulu,”
katanya.
PARMALIM DAN GERAKAN RATU ADIL
Sastrawan sekaligus pewaris sejarah
Batak, Sitor Situmorang dalam Toba Na Sae menulis, pascagugurnya
Sisingamangaraja XII, Raja Mulia Naipospos melanjutkan perjuangan
Sisingamangaraja. Mulia Naipos-pos kemudian mengembangkan gerakan perlawanan
terhadap Belanda yang dinamakan Parmalim.
Gerakan perlawanan itu muncul sebagai
implikasi konsep Ratu Adil seperti yang berkembang di tanah Jawa.Ratu Adil di
Jawa adalah reaksi masyarakat yang datang dari dua sumber.Pertama, rakyat Jawa
adalah milik raja/sultan sehingga mereka dipandang tidak sebagai manusia tetapi
sebagai budak.
Tentulah raja tidak memperhatikan
tentang kesejahteraan rakyatnya.Raja melihat/memperlakukan rakyatnya hanya
sebagai tenaga kerja yang kapan pun boleh digunakan untuk kepentingan
raja.Jurang antara raja dan rakyat menganga.
Kedua, reaksi rakyat Jawa terhadap
penindasan kolonialisme.Saat-saat puncak di mana rakyat mengharapkan kehadiran
Ratu Adil adalah saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa.Sistem ini
menjadikan tanah Jawa menjadi sumber penghasilan utama Kerajaan Belanda dan
menjadi kuburan massal bagi rakyat Jawa.
Konsep Ratu Adil masyarakat Jawa
mengharapkan akan kedatangan penyelamat. Penyelamat yang akan membebaskan
mereka dari semua penderitaan.
Kalau begitu, apakah konsep yang sama bisa
diletakkan di Tanah Batak? Jawabannya, ya! Apakah penerapannya berbeda?Tentu
tidak. Parmalim percaya kelak akan datang satu tokoh besar yang akan
menyelamatkan Tanah Batak? Kalau Parmalim dianggap sebagai gerakan Ratu Adil,
apakah Parmalim itu muncul setelah kedatangan Belanda ke Tanah Batak?
Atau apakah raja-raja Batak sebelum
kedatangan Belanda memerintah dengan tangan besi yang mengakibatkan rakyatnya
begitu menderita sehingga mendambakan keselamatan bagi dirinya?Lalu, bolehkah
kita menyebut Parmalim adalah gerakan/reaksi rakyat Batak terhadap raja-raja
tersebut?
Menurut Sitor, Parmalim adalah gerakan
menentang Si Bontar Mata (Belanda). Buku
Sitor menggambarkan hal-hal yang bisa membantu kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Sitor juga menjelaskan tentang konsep “negara” Batak
sebelum kedatangan Belanda.
Gerakan Parmalim semestinya diteliti
jauh hingga ke sana, ke zaman saat-saat Batak masih belum disentuh
kolonialisme, zaman saat tanah Batak baru disentuh teknologi hingga ke zaman
munculnya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat Batak.
Parmalim sebagai gerakan perlawanan
ditentang oleh Ibrahim Gultom, Antropolog Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara (UMSU).Menurut Gultom,
Malim benar-benar agama sepasti Kristen atau Islam atau Hindu atau Budha.
“Orang Batak dulu kan sudah beribadah kepada Tuhan hanya saja agama mereka
tidak punya nama, hanya praktik. Jadi Ugamo Malim itu agama.” kata
Ibrahim Gultom.
Lebih jauh Gultom mengatakan, sebagai
sebuah agama, ide mesianistik tidak suatu keharusan.Dengan begitu, Malim
otomatis bisa dikategorikan sebagai sebuah agama.
Pertanyaannya, lantas bagaimana ide
kemaliman ini kemudian bisa tumbuh menjadi satu keyakinan yang eksis di tengah
masyarakat sampai hari ini? Merujuk ke catatan Emilio Modigliani, peneliti Italia
(awal abad ke-19), di sana tertulis Somalaing Pardede menjadi pendiri ajaran
kemaliman di tanah Batak.
Somalaing Pardede adalah sosok terkenal
di Toba karena sikap kerasnya dalam gerakan mengusir penjajah Belanda. Anthony
Reid, Antropolog dari Selandia Baru yang khusus meneliti tentang sejarah
kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara, dalam Soematera Tempo Doeloe menulis, “Somalaing seorang yang sungguh
berwibawa, matanya bersinar, bicara tanpa henti. Ia sebisa mungkin menjauhi apa
yang berbau Belanda.”
Somalaing pernah mendampingi Modigliani
mengelilingi tanah Batak.Ketika mendampingi itulah, muncul ide di benak
Somalaing tentang menciptakan ajaran kemaliman.Ide itu kemudian diungkapkan
Guru Somalaing ke Sisingamangaraja XII untuk dijadikan agama.Akan tetapi
Sisinganmangaraja XII menolak keras ide itu.
Kenapa ditolak?“Mungkin karena belum
mengerti soal usulan tersebut.Tapi praktik keagamaan sudah berjalan lewat horja
bius.” terang Pengamat Budaya Batak, Thomson Hutasoit.
Selain sebagai tempat praktik keagamaan,
Horja bius juga menjadi konsolidasi perlawanan masyarakat Batak terhadap
kolonial.Bocornya informasi tentang Horja Bius sebagai markas konsolidasi
muncul dari kecurigaan misionaris dari Jerman atau Reinisce Mission
Gesselchaft (RMG). Oleh RMG, Horja Bius dianggap pemujaan terhadap
kekafiran karena itu praktik ini dilaporkan ke pihak kolonial.
Setelah pelarangan terhadap horja-horja
bius kentara, Modigliani melihat ada kekosongan sehingga warga malim melakukan
ritual-ritual secara sembunyi-sembunyi. Tapi kemudian, menurut, Monang
Naipospos, seorang berpengaruh di Malim Huta tinggi, kepercayaan ini dipesankan
oleh Sisingamangaraja agar diteruskan kepada Raja Mulia (RM) Naipospos yang
selanjutnya diakui sebagai perintis Parmalim di Huta Tinggi.
Raja Mulia Naipospos waktu itu sudah
menganut agama Kristen.Ia bergabung dengan Nommensen. Lantas, kenapa Raja Mulia
Naipospos pecah kongsi?“Sebab Nomensen organisator ulung,” jelas Thomson
Hutasoit.
Lebih lanjut dijelaskannya,
Sisingamangaraja memesankan kepada RM Naipospos untuk belajar pada Nommensen
cara mengorganisir massa. Setelah menguasai ilmu mengorganisir massa, RM
Naipos-pos diharapkan menerapkan ilmu mengorganisir untuk memudahkan
menggembalakan warga Malim.
Tentang penggunaan kata kepercayaan,
Thomson tidak sepakat.Katanya, Malim bukan kepercayaan melainkan agama
tradisional yang tumbuh di masyarakat lokal.“Akar semua demokrasi agama kan
berasal dari ritus lokal.Lalu generasi selanjutnya meneruskan apa yang sudah
diwariskan nenek moyang,” katanya.
Budayawan Idris Pasaribu juga mengakui
kalau Parmalim adalah agama orang Batak, bukan kepercayaan.Pengamat Budaya
Batak Nelson Lumbantoruan juga mengaminkan pernyataan Pasaribu.“Ada banyak
agama tradisional Batak seperti Parsitengka, Parbaringin, Parhudamdam, Parmalim
dan banyak lagi,” terangnya.
Kemudian cepat-cepat
dilanjutkannya.“Tetapi Parmalimlah agama terakhir yang berhasil mengumpulkan,
mengemas dan mengakomodir seluruh substansi spiritual kebudayaan Batak dalam
sebuah agama yang diterima masyarakat.”
Ternyata ada banyak pihak yang mengakui
Parmalim sebagai agama.Namun Parmalim sendiri tidak ngotot mereka dijadikan
agama, yang penting jangan sampai gara-gara status mereka sebagai kepercayaan
membuat pengikut mereka terganggu mendapatkan hak-hak sipilnya.“Selama Parmalim
tidak dipersulit di negara ini dalam urusan-urusan publik, kami tidak menuntut
apa-apa,” kata Marnakkok. (*)
SI
PELE BEGU?
Terlepas
dari agama atau bukan, ada stereotif yang lebih mengerikan yang dialamatkan ke
Parmalim, yakni Sipele begu (penyembah berhala).Cap ini sudah
muncul sejak masa Kolonial Belanda. Kencangnya
cap sipele begu terhadap Parmalim, menurut pengamat Budaya Batak, Erix
Hutasoit disebabkan dua hal.
Pertama,
karena orang-orang Barat saat itu menganggap
kebudayaan Eropa lebih tinggi dari kebudayaan bangsa manapun termasuk
kebudayaan Batak.Celakanya, budaya Batak dianggap masih sangat primitif.
Kedua,
pengetahuan orang Barat akan kebudayaan Batak waktu itu masih sangat terbatas.
Kedua hal inilah yang membuat cara pandang yang berbeda terhadap Parmalim.
Daniel
Perret, Antropolog Prancis yang khusus mendalami etnisitas suku-suku Melayu dan
Batak di Sumatera Timur dalam Kolonialisme dan Etnisitas menulis,
keberadaan Parmalim baru diketahui berdasarkan laporan-laporan kolonial yang
melansir adanya anggota sebuah gerakan keagamaan bernama Parmalim di Timur Laut
Danau Toba pada tahun 1910.
Parmalim,
menurut Perret, dikategorikan sebagai gerakan masyarakat yang berbau keagamaan
(rohani) yang dipelopori Somalaing Pardede, namun bukan agama seperti diungkap
Ibrahim Gultom.
Gultom
dalam Agama Malim Di Tanah Batak menulis proses penamaan Malim sebagai
agama merujuk pada ucapan terakhir Raja Nasiakbagi yang mengatakan “Malim ma
hamu...” Ucapan Nasiakbagi itu, menurut Gultom menjadi tonggak sejarah
permulaan penamaan Malim sebagai agama.
Lantas
apa syaratnya sebuah agama? Masalah pengakuan agama, religi dan kepercayaan,
tulis Hairus Salim dalam Nasib Agama Suku, lebih merupakan masalah
politis seperti tercermin dalam kata-kata “yang tidak atau belum diakui secara
resmi.”Artinya, nasib Parmalim yang gagal menjadi agama adalah sebuah desain
politis.
Kendati
demikian, UUD RI Tahun 1945 pasal 29 serta UU Hak Asasi Manusia menegaskan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Faktanya
berbicara lain. Mestinya, dengan adanya pernyataan ini, jelas ada jaminan bagi setiap
warga Indonesia untuk memeluk salah satu agama atau kepercayaan dan
berkebebasan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu.
Gagalnya
perjuangan Parmalim menjadi agama resmi, menurut Guru Besar Antropologi
Universitas Negeri Medan (Unimed),
Usman Pelly adalah buah otoritarian rezim orde baru. Kata Pelly, pada 1986
Soeharto mengangkatnya sebagai tenaga ahli yang diperbantukan di dinas
Pendidikan dan Kebudayaan bersama lima ahli lain. Ada sejarawan, antropolog dan
tiga ahli agama dari Katolik, Potestan dan Islam.“Kami diberi misi khusus,”
tuturnya.
Tiga Misi
Apa
misi khusus itu? Pelly menyebutkan tiga.Pertama, mengusahakan supaya
aliran-aliran kepercayaan jangan sampai menjelma jadi agama.Langkah pertama
yang dilakukan adalah menginventarisasi aliran-aliran kepercayaan di tanah air.
Inventarisasi
dilakukan di enam provinsi: Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa
Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di Sumatera Utara, tim dipimpin Usman
Pelly dengan empat anggota, yaitu Djalaut Gultom, Murdiono, Ruyandi dan Gendro
Nurhadi.
Menurut
Pelly, penelitian ini didukung oleh Surat Keputusan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah kenapa harus
diinventarisasi?“Suharto tidak ingin aliran kepercayaan menjelma jadi komunis,”
jawabnya.
Pada
1986, jumlah aliran kepercayaan yang terdaftar di kementerian kebudayaan ada
sebanyak 120.Aliran kepercayaan ini terus berkembang dan beranak pinak.Sedang
pada 2003 ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar.Desember 2005 tercatat 244.
Angka
yang berbeda jika dibanding dengan apa yang dicatat Lembaga Studi Sosial dan
Agama (eLSA) Semarang. Direktur eLSA, Tedi Kholiluddin menyebut jumlah aliran
kepercayaan khusus di Jawa tengah saja tercatat 296 aliran. Itu baru di Jawa
Tengah. Di kabupaten lain di provinsi lain tentu masih banyak.
Misi
kedua, mengorganisir aliran kepercayaan dengan memberi mereka kesempatan untuk
hidup terorganisir: seperti punya kantor, kitab suci, buku tentang relasi
manusia dengan Tuhan dan melakukan ritual-ritual mereka. “Karena itu,” terang
Pelly, “semua aliran kepercayaan diwajibkan mendaftarkan semua anggotanya, ke
dinas pendidikan dan kebudayaan.”
“Misi
selanjutnya adalah kita dorong mereka memilih ke salah satu agama dari lima
agama yang diakui ‘resmi’ oleh negara.” Tujuan Soeharto mengangkat kelima staf
ahli melakukan tiga tugas khusus itu tak lain, supaya aliran kepercayaan tidak
disusupi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak menjelma jadi agama.
Kala
itu, PKI tumbuh pesat.Massanya sangat besar. Sejak Mohammad Hatta menetapkan
partai politik berlambang arit dan palu ini sebagai partai terlarang, DN Aidit
didukung empat rekannya, Alimin, HM Lukman, Njoto dan Sadirman terus melakukan
aktivitas politiknya secara terang-terangan, hingga partai ini mendapat
dukungan suara yang luar biasa banyak.
Dalam
kurun 12 tahun (antara 1952-1964) PKI berhasil menggelembungkan anggota menjadi
3 juta (1964). Njoto, Pemimpin Redaksi Bintang Merah, sekaligus pimpinan elit
PKI dalam pengantar dokumen-dokumen kongres nasional ke-VI PKI di Jakarta,
Januari 1960 menulis rahasia kebesaran partai komunis adalah karena segala
angkatan dalam partai: muda dan tua melebur menjadi satu rasa—solidaritas
proletar, solidaritas komunis, persatuan yang didasarkan ideologi
marxisme-leninisme—itulah yang kemudian membuat partai ini solid, monolit
seperti granit.
Besarnya
kekuatan PKI tak lepas dari dukungan massa mantel organisasi, seperti Barisan
Tani Indonesia bermassa 5,7 juta, Pemuda Rakyat beranggotakan 2 juta orang,
organisasi simpatisan PKI di kalangan buruh 3,3 juta dan Gerakan Wanita
Indonesia 1,7 juta pendukung.
Tak
pelak, pada pemilu 1955 dan 1957 PKI muncul sebagai partai pemenang pilkada di
banyak daerah di Jawa mengungguli dua pesaingnya, partai besar PNI dan NU.Tak
heran jika di era 1950-an, PKI menjadi partai yang bukan saja disegani tapi
juga ditakuti.
Dengan
massa yang begitu besar,Soeharto takut jika kekuasaannya digoyang PKI. Soeharto
tak ingin rezimnya punya pesaing.Sehingga tanpa disadari ratusan kepercayaan di
tanah air menjadi bagian permainan politik Soeharto.Rezim orde baru sengaja
menganaktirikan seluruh aliran kepercayaan.
Pesatnya
perkembangan aliran kepercayaan, kuantitas dan eksistensinya, jelas Pelly,
dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan negara.Dimungkinkan,
upaya inventarisasi kepercayaan di tanah air oleh Soeharto hanyalah dalih untuk
menjaga supaya aliran kepercayaan jangan sampai bertransformasi menjadi agama.
Berbeda
dengan Pelly, Teolog Katolik,
Anicetus B Sinaga menyebut penulisan
Kristen di kartu keluarga Parmalim bukan hanya produk orde baru, melainkan jauh
sebelum itu. Tepatnya sejak para misionaris asal Eropa memulai misinya di Tanah
Batak.“Ada pemaksaan terjadi di tahun 1870-an,” tukas Anicetus.
Hairun
Salim, penulis buku Nasib Agama Suku
mempertegas pendapat Anicetus bahwa sejak zaman kolonial Belanda
kawasan-kawasan yang belum Islam dan Kristen telah dijadikan sasaran aneksasi
spiritual dari agama-agama mayoritas. Dan cara aneksasi yang dipilih adalah
dengan penaklukan.
Sehingga
pada 1878, ketika Nommensen hampir
merampungkan terjemahan kitab Perjanjian Baru ke aksara Batak,pada saat
bersamaan perang bergolak di Balige.Perang yang dikobarkan oleh Sisingamaraja X
sebagai bentuk perlawan terhadap rezim kolonial Belanda yang ingin
mengkristenkan seluruh tanah Batak.
Kala
itu, pihak kolonial mewajibkan seluruh warga Batak untuk didaftarkan sebagai
Kristen, dengan alasan ‘keamanan.’Kebijakan sepihak ini bagi Sisingamangaraja
dianggap tindakan sewenang-wenang.Maka Sisingamangaraja X pun memaklumkan
perang.Pertempuran tak terelakkan.Namun pasukan Sisingamangaraja kalah.
Itu
sebabnya, Uli Kozok, ahli bahasa Batak dari Hawai University, Amerika Serikat dalam Utusan Damai Di Kemelut Perang
menulis, bagi kaum Parmalim, Nommensen dianggap pembela penjajah tetapi bagi
Nasrani justru mengagungkannya sebagai apostel/rasul Batak.(*)
EFEK
PERANG TOBA
Kekalahan Sisingamangaraja X menempatkan
pengikutnya dalam keadaan terjepit, sulit untuk mengambil sikap.Uli Kozok menambahkan,
terbunuhnya Sisingamangaraja (pada tahun 1907) menggoyahkan kepercayaan orang
Batak terhadap agama tradisionalnya dan lembaga Sisingamangaraja itu sendiri.
Dalam keadaan terjepit pascaperang,
orang-orang Batak yang antikolonial benar-benar dilema.Mereka kehilangan sosok
pemimpin.Rasa kehilangan itu berlangsung lama.Sehingga mereka seperti domba
tanpa gembala.
Terlalu lama kehilangan, akhirnya
menempatkan mereka pada posisi harus berdamai dengan keadaan.“Daripada
dibantai, mereka mendaftarkan diri jadi Kristen,” kata Anicetus. Keadaan ini
mirip dengan apa yang pernah dialami PKI di zaman orde baru.
Pengalaman perang Toba menempatkan
masyarakat sisa perang pada posisi serba salah. Apalagi jika Belanda mendengar
ada kelompok Parhudamdam. Kelompok ini
kerap dianggap sebagai tentaranya Parmalim sehingga langsung ditumpas.Padahal
tidak ada data dan fakta yang menyebut gerakan Parhudamdam sebagai militer
Parmalim.
Daniel Perret mencatat, gerakan
Parhudamdam berbeda dengan Parmalin karena tidak lagi mendasarkan ajarannya
pada unsur-unsur kekristenan melainkan dari ajaran Islam.Parhudamdam pertama
kali dilaporkan beraktivitas di Simalungun pada 1917.Tahun berikutnya gerakan
ini muncul di pedalaman Deli Serdang.Para misionaris mencap Parhudamdam sebagai
gerakan kebangkitan kembali agama nasional kuno Batak.
Mulanya, gerakan ini dipimpin dua
pemimpin utama yang tidak baku memiliki hubungan. Pertama, aliran Jaman Pohan
dari Simorgarap, di pedalaman Barus.Kedua, di bawah pimpinan Pangambe Jau Pasaribu
dari Simanombuk di selatan Habinsaran.
Masih soal perang Batak, pada
1865-1870, Nomensen mengumpulkan seluruh orang-orang Kristen di Huta Dame, Kecamatan
Sigeaon, Tarutung.Semua orang yang berada di kampung itu selamat. Tetapi yang
diluar, seluruhnya tewas dibantai kolonial Belanda. Sisingamangaraja X tak
luput dari kekejaman kolonial itu.
Itulah sebabnya kampung itu dinamakan
Huta Dame (kampung damai) karena diperkampungan ini telah terjadi pembantaian
hebat, tetapi para warga yang mau mendaftarkan diri jadi Kristen hari itu
diselamatkan sehingga terhindar dari celaka.
Perang Toba, sebagai sebuah tragedi
sejarah, rupanya tak kuasa memunahkan dan memusnahkan kelompok Parmalim.
Justru, para penganut agama lokal Kebatakan tersebut kini makin eksis.Sekalipun
mereka menjunjung hal-hal yang bersifat lokal, kelompok ini juga tidak alergi
atau antimodernitas.Modernitas justru dimanfaatkan sebagai sarana untuk lebih
eksis tanpa sekali-kali melupakan kearifan lokal. Parmalim adalah bukti suatu
spirit kebudayaan yang hadir dari, oleh dan untuk bangsa Indonesia (*)
Komentar