Kaos produk HUs-hus Land dengan sepotong teks: danau toba, saat menjenguk kota Tua Jakarta, Februari 2015. |
“Saya ini desainer bukan
penjual kaos. Saya tidak akan pergi sekolah jauh-jauh ke ITB hanya untuk
jualan kaos,” tegas Riyanthi Sianturi pemilik brand Hushus Land.
SATU ketika saya diberi bingkisan oleh
seorang sahabat. Bingkisan itu berupa kaos. Di bagian dada, ada gambar
nelayan menjaring ikan di atas solu (sampan). Nelayan itu berjibaku di
tengah tao (Danau Toba). Di bagian punggung tertera tulisan kecil
“Hushus Land.”
Kaos ini mengingatkan saya kehidupan ayah sebagai partoba (nelayan). Saya jadi penasaran, apa itu Hushus Land?
Riyanthi Sianturi (29) si
pemilik merk bilang Hushus Land adalah identitas. Hushus Land didesain
membawa kenangan bagi orang-orang yang pernah tinggal dan tumbuh besar
di tempat-tempat dan waktu tertentu. “Sering teman-teman saya
menanyakan hushus itu apa? Terdengar seperti kata-kata untuk mengusir
sesuatu. Tentu saja salah besar,” terangnya.
Hushus itu, terangnya, sebuah kata dalam
Bahasa Batak yang artinya harum, wangi. Kata hushus biasa
dibaca huccus atau hussus. Jika diterjemahkan secara keseluruhan, Hushus
Land maksudnya tanah yang harum/wangi.
Istilah ini bukan merujuk ke Tanah Batak semata, tetapi dimaksudkan juga Tanah Air Indonesia yang harum.
Menurut Riyanthi, Hushus Land bukan
sekadar kaos. Tetapi produk yang lahir atas sentuhan cinta dan kenangan
manis tentang Tao, tentang Huta, Tanah Batak dan tentang Indonesia.
Butiran gagasan unik melekat dalam balutan desainnya. Hushus
land dirancang menjadi kaos bertutur.
Hushus Land adalah kenangan. Kenangan
akan tanah kelahiran, kenangan masa kecil dan kenangan atas tanah air
tercinta. Riyanthi ingin Hushus Land seperti bertemu kembali dengan sang
mempelai yang menyuarakan cintanya di kala rindu menyesak. Setiap
desain yang diciptakannya lahir dari proses panjang. “Kadang saya butuh
berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu desain,” tutur gadis yang tengah
studi master bidang desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Tidak Jual Kaos
“Sebenarnya, saya tidak menjual kaos.
Saya menjual desain. Menjual identitas. Makanya saya rela melacak dulu
sejarahnya, sebelum saya bikin sebuah desain. Bila ide (desain) itu
sudah ada, saya telusur lagi di internet, apakah ada gagasan yang sama?
Saya harus pastikan desain saya tulen,” kata Riyanthi.
Tema desain yang diangkat Riyanthi tidak
pernah jauh dari kehidupannya. Danau Toba dan masyarakat Batak. Dia
jatuh cinta dengan tema ini sejak kecil. Cinta itulah yang mendorong
Riyanthi rela bolak-balik melacak sejarah panjang sebuah fenomena, kisah
dan risalah budaya.
Ia berjuang membaca sejumlah referensi
agar memahami secara bening nilai sebuah budaya sebelum ia menggarap
sebuah desain. Ia tak ingin terburu-buru. Ia tak ingin pikirannya
disetir oleh hasrat pasar, karena pertaruhannya: cinta dan kenangan,
bukan laba!
Tak heran jika produk-produk Hushus
Land terasa bernyawa, berdaya gugah dan bergaya. Ia adalah
pengejawantahan ide. Kaos hanyalah medium. “Pada dasarnya saya desainer,
yang dalam visi ke depan, tak hanya sekadar memakai medium kaos. Kaos
hanya salah satu cara memasarkan desain dan memperkenalkan brand, yang
bisa menjangkau khalayak banyak. Ini sangat baik sebagai permulaan,
sebelum memperluas produksi karya desain dalam bentuk lain,” katanya.
Maka bermain di ranah cerita dalam
desain adalah pilihan Riyanthi. Ia meyakini sebuah desain yang bagus
ampuh membangkitkan kenangan yang mengaduk-aduk perasaan. Kenangan itu
akan membangunkan kembali harapan. Kenangan itu serasa sangkakala yang
dibunyikan, memanggil untuk menjenguk kembali kampung halaman. Kenangan
itu seperti mercu-suar yang menuntun kembali kepada jalan pulang menuju
identitas kita sebagai bangsa yang besar, bangsa yang berbudaya.
Lantas, dengan medium kaos, peluang
seperti apa yang dilihat Riyanthi ? “Ada dua celah peluang yang saya
lihat,” sahutnya. Apa itu?
Celah pertama, sebagian besar manusia
senang menunjukkan identitasnya, terutama pada orang-orang yang berada
di tanah rantau, jauh dari kampung halamannya. Tentu saja termasuk orang
Batak. Ada saat-saat orang-orang ingin menunjukkan siapa dia, dari mana
asal daerahnya, apa yang khas dari daerahnya.
Ini jelas hal mendasar sekali, tetapi
menjadi peluang besar. Identitas yang ingin ‘dipamerkan’ harusnya
berkualitas, supaya yang pamer tidak malu. “Saya ingin memenuhi
kebutuhan akan identitas ini. Maka saya pun bikin desain yang baik dan
menarik yang kemudian dibubuh pada kaos dengan kualitas bahan terbaik
juga,” katanya.
Celah berikutnya, potensi wisata.
Riyanthi melihat, belum banyak potensi-potensi wisata yang diterjemahkan
ke dalam bentuk kaos dengan desain menarik. “Ini satu hal yang ingin
saya balik. Kaos bertema wisata tak hanya jadi oleh-oleh, tetapi harus
sekaligus alat promosi mujarab,” tandasnya.
Sebagai alat promosi, tentu saja motif
Danau Toba dan lain-lain menjadi menarik. Namun sesungguhnya ada sesuatu
yang mendasari. Rupanya, sang desainer lahir dan besar di kampungnya,
di lembah Silindung yang kental dengan budaya Batak. Ketika kuliah dan
bekerja, Riyanthi semakin dekat dengan Danau Toba. Dan danau itu
terbentang di halaman rumah-rumah warga.
Kecintaannya terhadap Danau Toba dan
budaya Batak makin membesar saat ia kerap jalan-jalan dan memotret di
kawasan Toba. Ketika ia menempuh studi di ITB, ia belajar banyak
bagaimana kekuatan sebuah desain dalam memperkenalkan budaya bagi dunia
demi kemajuan bangsa.
Riyanthi melihat, Danau Toba bukan saja
milik orang Batak, tetapi juga milik Bangsa Indonesia. Danau Toba bahkan
dahulu sangat mempengaruhi peradaban manusia di muka bumi. “Maka,
biarlah Danau Toba kita nikmati bersama, kita cintai bersama, kita
majukan bersama dan kita promosikan bersama,” ajaknya.
Tentang Danau Toba, tentu ada banyak
produksi kaos dengan tema tersebut. Lantas dimana perbedaannya dengan
karya Riyanthi ? “Selalu ada sejarah dari setiap desain yang saya
ciptakan. Saya selalu menyertakan cerita pada setiap kaos,” sahutnya.
Cerita inilah yang dibagikannya kepada
calon pembeli untuk membangkitkan kenangan. Sebagai contoh desain
kaos Come To Lake Toba. Iaterinspirasi ketika ia mengambil gambar
seorang anak laki-laki yang sedang marsolu (mengayuh sampan). Anak
laki-laki dan beberapa temannya sedang berenang dan bermain di Danau
Toba yang airnya sejuk.
“Saya melihat keceriaan di wajah mereka
ketika menceburkan diri dan berenang berkejaran, dan saat menyaksikannya
saya pun turut merasa senang. Saya membayangkan semangat
mendayung solu (sampan), keceriaan anak-anak bermain di Tao, seharusnya
bisa menjadi milik semua orang, jika datang ke Danau Toba. Maka
terciptalah ide desain Come to Lake Toba dengan gambar seorang anak
mengayuh solu,” jelasnya.
Demikian juga dengan kaos “Unforgettable
Pinlo” yang banyak mengundang haru dan tawa. Ide desain kaos muncul
ketika mengingat masa kanak-kanak dan bersekolah di kampung. Mayoritas
masyarakat memiliki investasi atau ‘celengan hidup’ dalam bentuk ternak
babi.
“Saya tidak membicarakan tentang barang
halal atau haram, tetapi ternak sebagai komoditas ekonomi, tabungan
penyambung masa depan. Bagi sebagian anak yang pernah ikut serta
beternak babi, pastilah masih ingat masa-masa cemburu kepada ternak
babinya, karena orang tuanya sering lebih memberi perhatian lebih kepada
ternak babi daripada anaknya sendiri. Sebut saja ketika pulang dari
ladang, siapakah yang pertama sekali ditanyakan kabarnya? Tentu saja
babi. “Nunga mangan pinahan?” (Apakah babi sudah diberi makan?),”
tuturnya.
Kedengarannya sepintas mengerikan.
Sepertinya orangtua tidak sayang pada anaknya ketika orangtuanya
bukannya menanyakan apakah anaknya sudah makan atau belum. Tetapi tidak!
Justru karena kasih sayangnya, ternak itu harus bertumbuh dengan sehat,
agar jika sudah masanya untuk dijual, hasil penjualannya tentu saja
dipakai untuk membiayai keperluan si anak.
Hal-hal semacam itulah yang terus
digali, dimaknai dan diterjemahkan Riyanthi ke dalam desainnya. Nilainya
akan terasa berbeda, karena pembeli tidak hanya sekadar membeli kaos,
tetapi membeli karya seni bernilai tinggi.
Keunikan usaha yang kini digeluti
Riyanthi adalah kemandiriannya. Sampai saat ini, ia mengerjakan desain
kaos sendiri, mulai dari mencari ide, penentuan warna dan model kaos.
Bahkan untuk proses distribusi, ia percaya pada kekuatan jejaring. Ia
membangun pertemanan seluas-luasnya, memberdayakan fungsi media jejaring
sosial dan memanfaatkan internet dalam rangka promosi desain
secara online. Secara fisik, ia tidak punya toko, tetapi ia mampu
membumikan desainnya dengan baik.
Riyanthi konsisten memproduksi kaos
dengan menggunakan bahan baku buatan Indonesia. Itu sekaligus kampanye
penggunaan produk-produk lokal dan kebanggaan terhadap produk Indonesia.
Kaos yang telah selesai diproduksi dipasarkan secara online melalui
website www.hushusland.tobajourney.com dan media sosial facebook.
Sampai saat ini, cara penjualan ini
cukup efektif. Untuk meningkatkan pendistribusiannya, tahun depan
Riyanthi berencana membuka mobile store, toko yang dapat
berpindah-pindah. Tujuannya, untuk menjangkau berbagai tempat wisata
dan event-even budaya di tempat berbeda.
Saat ini, kaos Hushus Land tidak hanya
terjual di daerah Danau Toba atau Tanah Batak, tetapi telah menjangkau
berbagai daerah di Nusantara bahkan luar negeri. Sejumlah koleganya di
Jerman, Belanda dan Inggris, dengan bangga menggunakan kaos Hushus Land.
Untuk daerah Indonesia sendiri, penyebarannya sebagian besar di
Sumatera dan Jawa, tetapi telah merambah juga ke daerah lain seperti
Bali dan Nusa Tenggara.
Riyanthi menuturkan ada rasa bahagia
besar yang ia dapatkan dalam proses menjual/mendistribusikan
kaos-kaos Hushus Land. “Ada kepuasan tersendiri ketika menyaksikan para
pembeli dengan bangga memakai kaos Hushus Land, seperti saya berhasil
mempertemukan kaos Hushus Land dengan tuannya yang baru. Yang paling
mengharukan, ketika seorang pembeli langsung bersorak girang saat
bertemu kaos “Unforgettable Pinlo”, dia mengatakan ‘Aku beli kaosnya,
ini pas sekali, mamakku jualan babi, dari situ kami bisa sekolah’. Saya
langsung merasa berbunga-bunga,” terangnya.
Subatrio Saragih, seorang pengguna
kaos Hushus Land terkesima dengan desain kaos tersebut. Ia tergila-gila
dengan kedalaman ide di dalamnya. “Saya melihat desain gambar dan
kaosnya penuh nilai-nilai budaya. Ada kenangan yang saya ingat. Saya
suka sekali. Kaos beginian belum pernah saya temukan,” katanya. Saragih
bekerja di Jakarta. Ia memesan kaos via online.
Kaos bertulis "danau toba' karya Riyanthi Sianturi, pemilik Brand Hus-hus Land, masuk ke Busway Jakarta 2015 |
Berpikir Global Bertindak Lokal
Erix Hutasoit memuji kualitas Hushus
Land. Ia mengatakan Riyanthi sangat cerdas menggunakan pengetahuan dan
keterampilan komunikasi visualnya untuk menjangkau orang-orang Batak di
perantauan. Desain-desain unik Hushus Land membuat orang-orang merasa
terhubung secara emosi. “Sulit sekali mendapatkan produk berkualitas
yang mampu menggambarkan kehidupan di tanah kelahiran kita,” tambahnya.
Pria yang pernah tinggal di Birmingham,
Inggris ini menyebut Riyanthi sebagai contoh pekerja kreatif yang baik.
Visi seperti yang Riyanthi tunjukkan, dibutuhkan pekerja kreatif
Indonesia. Visi seperti ini penting untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) 2015 nanti. MEA membuat batas-batas geografis antar negara
menjadi sekadar administrasi. Barang dan jasa dapat hilir mudik tanpa
hambatan berarti. Arus besar ini bakal mengubah nasib hidup jutaan orang
Asia Tenggara, termasuk para pekerja kreatif.
Erix mengkritik
mental copy-paste pekerja kreatif Indonesia, khususnya di Sumatera
Utara. Mental copy-paste yang dimaksud Erix, merujuk pada banyaknya
produk bajakan yang dijual secara massal. Produk-produk itu menjiplak
desain-desain yang sudah ada. “Kalaupun ada perubahan desain, itu hanya
mengubah sedikit-sedikit. Menjiplak itu membunuh kreativitas,” tutur
ahli komunikasi di lembaga research yang berbasis di North Carolina,
Amerika Serikat (AS) itu.
Menurut Erix, kebiasaan menjiplak desain
dapat berujung tuntutan hukum. Setiap desain yang telah dipatenkan,
tidak dapat ditiru dan disebar-luaskan tanpa seizin pemilik hak paten.
“Kita akan memasuki dunia yang terkoneksi. Pekerja kreatif tidak lagi
bisa bersembunyi kalau ia mencuri ide. Karena itu pekerja kreatif kita
harus perduli dengan orisinalitas produk. Agar orisinil, pekerja kreatif
kita baiknya fokus pada kekuatan yaitu identitas lokal kita,” katanya.
Erix mendorong para pekerja kreatif
mulai berpikir global. Pekerja kreatif harus memanfaatkan ilmu,
keterampilan, teknologi modern dan jejaring global. Perkembangan ilmu,
keterampilan dan teknologi modern dapat membantu pekerja kreatif
menghasilkan produk-produk yang lebih berkualitas. “Berjejaring global
itu sangat penting. Bukan soal memperluas pasar, tetapi juga belajar
memahami isu-isu terbaru soal dunia ekonomi kreatif. Di tengah ancaman
perubahan iklim yang ekstrim misalnya, pekerja kreatif juga ditantang
membuat produk yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Pemilik situs perjalanan kemanaaja.com,
Eka Tarigan mengatakan Industri kreatif bisa bertahan dan berjaya, jika
pelaku bisnis industri kreatif kaya inovasi dan punya keterampilan
membangun jejaring. Pelaku industri kreatif memerlukan bersinergi dengan
komunitas lain. Antar komunitas industri kreatif tidak perlu merasa
komunitas lain sebagai kompetitor/pesaing, tetapi mitra bisnis yang
saling bersimbiosis mutualisme. “Kemitraan bisa menjadi kekuatan besar
bagi pelaku industri kreatif,” tegasnya.
Selain ahli berinovasi, industri kreatif
juga mesti kuat dalam konsep. Memiliki konsep kuat menjadi syarat utama
seorang pelaku industri kreatif. Pelaku-pelaku industri kreatif
dituntut mampu menggali dan beraksi di level lokal, tetapi berpikir
global. Pengetahuan yang luas, pengalaman yang banyak, mesti disintesa
dengan tuntutan perkembangan zaman.
“Sebab, seorang yang berani menjajal
produknya ke ranah industri, ia mesti mampu mengelola semua sektor,
mulai dari ide, konsep, strategi manajemen distribusi, strategi promosi,
sekaligus mutu suatu produk,” ujarnya.
Kesimpulannya, jika ingin bersaing dalam pasar MEA, maka pekerja kreatif di Indonesia harus bermutu. (*)
Dedy Hutajulu pada acara penyerahan hadiah lomba menulis artikel yang diselenggarakan Telkom Witel Sumut Barat. |
*) Wartawan Harian Analisa Medan. Finalis Adiwarta Award 2014 untuk Katagori Laporan Investigasi. Tulisan ini juara 1 lomba menulis reportase bertajuk "
(Sumber: http://portalmedankreatif.com/index.php/artikel/192-hushus-land-identitas-adalah-kekuatan ) Baca juga linknya di http://hushusland.tobajourney.com/publikasi/hushus-land-identitas-adalah-kekuatan/
Komentar