Saking teriknya matahari menjerang kulit, dua ibu-ibu gendut itu kembali berhenti untuk menanyakan warga setempat dimana gerangan lokasi TPS 29. Melihat seorang lelaki berbaju jersey Ayam Kinantan, ibu-ibu tadi menghentikan laju sepeda motor. "Pak, mau tanya, dimana ya TPS 29?"
Lelaki berbaju jersey PSMS itu kaget. Ia sendiri bukan warga setempat. "Kami mau menyoblos Pak, tapi kami gak dapat lokasi tepeesnya," kata ibu itu sembari cemas. Kedua ibu itu tak menyadari kalau yang ditanya justru salah stau kandidiat walikota Medan yang potonya tertampang di kertas surat suara pemilu hari itu. Ramadhan jadi gelisah melihat warga yang kesulitan menyalurkan hak suaranya dalam pesta demokrasi kali ini.
Sehari setelah pencoblosan usai, lembaga survey hitung cepat, Indobarometer, pada sore hari segera melansir hasil temuannya: pasangan Eldin Akhyar menang telak (70 persen) sedang REDI 30 persen. Namun yang bikin kaget, berita hari ini menyebut, tingkat partisipasi golput mencapai 70 persen. Yang bikin keder, 2.508 warga binaan (Lapas) kelas 1 A Tanjung Gusta malah tidak menyoblos lantaran tidak disediakan TPS oleh KPU Medan.
KPU Medan berdalih, Lapas masuk wilayah Deli Serdang. sedang KPU Deli Serdang juga buang badang karena merasa, Lapas Tanjung Gusta masih dalam wilayah kerja KPU Medan. Akhirnya warga binaan kehilangan hak politiknya.
Kondisi ini sangat menciderai hak-hak politik warga Medan. Padahal undang-undang kepemiluan menegaskan, orang sakit, orang-orang tahanan, difabel itu mendapat hak dalam pemilu. Mereka harus dilayani secara baik dan setara dengan warga lainnya.
Kondisi kepemiluan hari ini, kata Ramadhan Pohan saat memantau di TPS-TPS di Kecamatan Medan Perjuangan, jika warga kesulitan mencari TPS, atau warga memilih golput, itu salah satu indikasi, KPU tidak bekerja optimal. Minimnya sosialisasi mengakibatkan pemilu tidak berjalan sesuai yang diharapkan. "Mestinya KPU lebih gereget bekerja. Sosialisasi musti digencarkan. rangkul media. Libatkan para wartawan, karena mereka selalu turun ke lapangan. Ini yang tidak terjadi," tudingnya.
Tingginya partisipasi Golput dan dihilangkannya hak para warga binaan yang jumlahnya 2,5 ribu-an, Pengamat Hukum Daniel Bangun menuding KPU telah sangat kejam. "Gugat KPU Medan!" serunya.
BERKACA
Kondisi penyelenggaraan pemilu di Medan hari ini sangat memalukan. Berkaca pada KPU Australia, (AEC), hal semacam ini jarang terjadi. Mulai dari pemutakhiran DPT (Daftar Pemilih Tetap), pengiriman surat C-6 (undangan untuk mencoblos di TPS) hingga sosialisasi pilkada jauh hari, AEC melakukannya dengan sangat baik. tak heran jika tingkat partisipasi pemilih di Australia mencapai 93 persen.
AEC aktif memutakhirkan data pemilih setiap hari. Mereka melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, memastikan alamat dan nama pemilih rumah sesuai dengan DPT yang ada di database AEC. Padahal di Negeri Kanguru itu tidak memakai kartu penduduk. Lantas bagaimana mereka memutakhirkan DPT?
AEC bekerjasama dengan sejumlah lembaga-lembaga terkait. baik lembaga pemerintah maupun swasta. setiap warganya wajib didaftarkan di KPU (sesuai batas umur memilh). Jika seorang warga (usia memilih) pindah alamat, ia wajib melapor ke AEC. Dan databya selalu dicek kebenarann6ya dengan kantor tempatnya bekerja. Misalnya, jika ia kerja di asuransi, maka AEC juga melacak kebenarannya, apakah orang DPT nya itu sesuai dengan alamat yang tertera di perusahaan asuransi? Semua itu dilakukan demi mengakuratkan data basenya.
"Tapi data base kami tertutup untuk publik, khususnya alamat karena data ini riskan digunakan pihak tertentu untuk kejahatan. Sehingga sifatnya sangat rahasia," kata petugas di AEC state (sejenis KPU Kabupaten/Kota) di Canberra.
Petugas AEC juga membuat sejenis peta dengan modifikasi google map, demi menjangkau daerah-daerah terisolasi (remote area), guna mengetahui jumlah pemiliih di sana, jumlah petugas pemilu, logistik serta tingkat sosialisasi yang pernah dilakukan, yang sedang dan yang akan dilakukan. Termasuk bagaimana melibatkan penduduk setempat dalam membantu kampanye/sosialisasi pemilu.
Padahal pemilu Australia bisa berlangsung kapan saja, dan batas waktu persiapan pemilu hanya 33-58 hari. di kita? Bisa sampai satu setengan tahun. Namun yang menarik, Di negeri Kanguru ini, berlaku Early Voting Day, yang artinya, orang bisa memilih lebih dulu sebeluh hari H pencoblosan. Waktunya disediakan tiga minggu.
Namun yang berhak menggunakan masa Early Voting day ini hanya orang-orang tertentu dengan alasan yang kuat, misalnya seorang wanita hamil yang sudah memprediksi persalinannya pada hari H pencoblosan, atau ia pindah alamat dua minggu kemudian, atau ia seorang dokter yang sedang dalam tugas mengoperasi seseorang beberapa dari menjelang hari H atau ada hal-ahal emergensi, yang semuanya itu punya dasar yang kuat serta meyakinkan. Sebab di Australia, mewajibkan setiap warga negaranya memilih. Jika tidak memilih, undang-undang kepemiluan mereka memberi sanksi dan denda. Besarannya bikin bulu kuduk merinding!
Ada fenomena, kata Phik Diak, Direktur Eksekutirf AEC, warga Australia kini lebih mneggandrungi Early Voting day. AEC sendiri melalui lembaga riset kepemiluannya yang bernama CABER, sedang meriset apakah early voting Day ini akan diterapkan atau bukan? Mungkin usulan Early Voting day bisa dilakukan di Medan--Indonesia mengingat banyak sekali kasusu di mana-mana yang mengakibatkan hak-hak politik warga terciderai.
Begitu juga sosialisasi dan pemutakhiran DPT menjadi tantangan besar bagi KPU dari tahun-ke tahun. Barang kali, butuh ketegasan atau sanksi bagi KPU yang tidak bekerja optimal. Sebab, ketika warga mulai tidka percaya dengan KPU, itu berarti pemilu sebaiknya ditiadakan.
Komentar