Oleh Dedy Hutajulu
MENYIKAPI pernyataan Plt Wali Kota Medan Randiman Tarigan tentang rencana mengangkat jadi pegawai negeri separuh dari 3.800 total guru honorer di kota Medan, pada 2015 ini, Akademisi Unimed Dr. Irsan Rangkuti, MPd dan Spesialis Tata Kelola Guru USAID PRIORITAS Rimbananto angkat bicara. "Itu konyol, namanya," ujar Irsan Rangkuti, saat diwawancarai di kantornya Jalan Sei Tenang, Medan, Selasa (1/12).
Padahal, kebutuhan guru (SD dan SMP Negeri) di kota Medan cuma 6.500 orang. Sementara guru PNS yang ada sekarang sudah 6.370 orang. Jadi hanya butuh sekitar 30 guru lagi, itupun jika semuanya yang dibutuhkan harus pegawai negeri. Tapi sekarang ada guru honorer sebanyak 1.700-an (untuk tingkat SD dan SMP), sehingga mengakibatkan guru berlebih sebanyak 1.549 orang. Kalau ditambah guru tingkat SMA totalnya sekitar 3.800 guru honorer.
Pada 2013 silam, USAID PRIORITAS sudah menghitung kelebihan guru (tingkat SD dan SMP) di kota Medan. Kelebihan guru SD (berstatus PNS) 900 orang, sedangkan tingkat SMP (status PNS) 600 orang. Jika ditotal, kelebihan guru PNS sebanyak 1.500 orang. Dan itu belum dihitung dengan guru honorer. Karena jumlah guru sudah berlebih. Jadi tidak mungkin mengangkat guru honor lagi, meski hanya satu orang. Menjanjikan separuh dari 3.800 guru honor akan diangkat menjadi pegawai negeri sesungguhnya tidak tepat.
Tetapi kalau distribusi guru ditata ulang, sesuai Perwal 2012, sangat tepat. Sebab problemnya bukan lagi kekurangan guru. Pengangkatan guru honorer sangat tidak perlu. Sekarang justru peningkatan mutu guru dan kelebihan guru. Jumlah guru SD dan SMP untuk negeri saja ada 1.018 orang yang tidak memenuhi jam mengajar 24 jam. Padahal, kalau si guru sudah sertifikasi, namun tidak mengajar 24 jam, haram hukumnya menerima dana tunjangan profesi.
Celakanya kekurangan jam mengajar guru-guru kita menyebabkan kelebihan jumlah guru. Sehingga guru-guru tidak bisa menerima tunjangan profesinya. Kemudian mereka mengejar jam mengajar di sekolah bahkan di kabupaten lain. Hal ini mendorong mereka untuk semakin tidak fokus mengajar di sekolahnya sendiri. "Kami menemukan bahwa ada 147 guru SMP yang mengajar di dua sekolah. Biangnya, karena kelebihan guru. Jadi tabu jika solusinya mengangkat guru honorer," ujar Rimbananto.
Seharusnya Medan,di HUT PGRI kali ini, lebih fokus ke peningkatan mutu guru. Sebab guru yang mendapat sertifikasi dengan yang tidak disertifikasi, kinerjanya hampit sulit dibedakan. Karena itu guru harus membekali dirinya. Sedang Pemko Medan harus mendesain program peningkatan mutu pendidikan dengan sungguh-sungguh pada semua level dan semua dan semua pihak yang bekerja di sektor pendidikan. Harus punya desain program peningkatan mutu pendidikan yang bisa dipahami semua pihak.
Miris jika program peningkatan mutu tidak jadi idola bagi Pemko Medan, yang notabene kota besar, metropolitan dan dekat dengan negara jiran. Kita berharap, PGRI juga punya anggaran untuk peningkatan mutu guru. Namun yang terjadi, justru guru-guru hanya membayar iuran organisasi tanpa pernah sekalipun mendapat pelatihan.
Padahal, pelatihan guru, kata Anies Baswedan, Mendikbud, perlu sekali minimal setahun sekali. Ini bukti ril rendahnya mutu guru kita di Medan. Dalam Uji Kompetensi Guru 2013, Medan mendapat ranking 23. Kalau dibreakdown per kabupaten, ternyata yang nilai UKG-nya tertinggi bukan Medan melainkan Pematangsiantar, disusul Tebing Tinggi, lalu Binjai, dan Gunung Sitoli. Medan masih di bawah peringkat Gunung Sitoli. Berpijak pada hasil UKG ini, bisa dimaknai, jantung pendidikan di Sumut bukan lagi di Medan.
Dan kita juga melihat, kebijakan di kota Medan belum kondusif untuk guru mengembangkan kompetensi dirinya dibanding Jawa. Karena itu, rencana strategis pendidikan di kota Medan perlu diubah. Fokusnya harus ke peningkatan mutu pendidikan di semua jenjang. Hal ini penting untuk menekan angka anak-anak Medan yang hijrah studi ke Singapura.
Kita melihat, yang berkontribusi nyata dalam hal menghasilkan juara, justru sekolah-sekolah swasta. Harusnya sekolah negeri. Dengan jumlah biaya pendidikan yang besar, harusnya sekolah negeri hasilkan anak-anak yang mampu berkompetisi di level nasional dan internasional. Karena itu, manajemen sekolah perlu dimasukkan ke dalam Perda. Sehingga renstra pendidikan juga mendukung, demikian juga dengan manajemen sekolah. Tak pelak, penilaian kepala sekolah jelas dan objektif, bukan transaksi.
Tingkatkan mutu
Ada banyak cara meningkatkan mutu guru. Salah satunya dengan meningkatkan pelatihan bagi guru. Pertanyaannya darimana dana untuk bikin pelatihan? Oh..ada banyak opsi, yakni, pakai dana BOS, APBD atau memberdayakan sumbangan guru yang diambil dari tunjangan profesi.
Tunjangan profesi guru di kota Medan sebesar Rp 432 M dari pusat. Misalnya, satu persen saja diambil untuk biaya pelatihan guru, sudah terkumpul Rp 4,32 M. Atau bisa diambil Rp 1M per bulan untuk pelatihan guru dari tunjangan profesi yang dikirim pusat ke dinas pendidikan (Disdik) kota Medan. Asal Disdik mau mengkoordinir itu dengan baik atau dibikin peraturan daerah (perda) yang mengatur pelatihan tersebut.
Itu tahun 2013. Tentu anggaran di 2014 jauh lebih besar. Dana untuk pelatihan guru bisa bersumber dari dana BOS, dana dari sumbangan guru (diambil dari tunjangan profesi) atau dari APBD. Harusnya sumbabgan guru dari tunjangan profesi bisa 2,5 persen dialokasikan untuk pelatihan guru dan dana ini dikoordinir sekolah. Namun, di Medan, kita tidak melihat pelatihan yang dibiayai oleh Pemko Medan dari APBD. Lebih banyak biaya pelatihan guru dengan mengandalkan dana BOS.
Jadi ke depan, tunjangan profesi guru dari sekian ribu guru bisa diambil 2,5 persen. Namun apakah ada yang berani mencobanya? Katakanlah 2,5 persen dari tiga juta (dana tunjangan profesi) diperoleh dana Rp 75.000. Jika dikalikan 40 guru akan terkumpul Rp 300.000 per sekolah, per bulan. Dalam setahun terkumpul 3,6 juta. Jadi persoalannya sekarang adalah distribusi guru yang tidak merata dan rendahnya mutu guru.
Lantas kenapa Plt Walikota malah pengen mengangkat guru honorer? 2015 ini pula? Mungkin, Kata Irsan, Randiman kurang informasi tentang kondisi guru di Medan. Bisa jadi, dia tidak mendapat informasi yang lengkap dari anak buahnya (jajaran di bawahnya sepasti SKPD dinas pendidikan terkait). "Andaikan Ia tau, mungkin akan dicarinya solusi bersama, bukan menebar angin surga," katanya lagi.
Kalau soal peningkatan kesejahteraan guru honorer (banyak ditemukan digaji antara Rp 300.000-Rp 800.000), kata Irsan, kita dukung. Sebab, pada 2013, Balitbang Kota Medan sudah meneliti efektivitas penggunaan dana BOS untuk tingkat SD dan SMP. Hasilnya, banyak sekali guru honorer yang dibayar dari dana BOS. Padahal kita tau, pada tahun itu, banyak guru berlebih sehingga sedikitnya Rp 8 M per triwulan digelontorkan untuk membayar gaji guru honorer.
"Dengan problem ini, sudah sepantasnya petinggi kota Medan duduk bersama untuk memetakan kembali data guru di kota Medan, supaya 'Medan Rumah Kita 'yang dijargon-jargonkan itu tidak keropos dalam hal tata kelola guru," ungkapnya.
Pernyataan Plt Walikota Medan itu memang semakin jauh dari esensi. Beda betul dengan kebijakan Pemko Malang. Di sana terjadi apa yang dikenal dengan sebutan "pertumbuhan nol untuk pertambahan guru". Jadi, kalau ada guru yang pindah dari luar kota, otomatis masuk daftar tunggu karena kota Malang tertutup untuk penerimaan guru baru atau pindahan.
MENYIKAPI pernyataan Plt Wali Kota Medan Randiman Tarigan tentang rencana mengangkat jadi pegawai negeri separuh dari 3.800 total guru honorer di kota Medan, pada 2015 ini, Akademisi Unimed Dr. Irsan Rangkuti, MPd dan Spesialis Tata Kelola Guru USAID PRIORITAS Rimbananto angkat bicara. "Itu konyol, namanya," ujar Irsan Rangkuti, saat diwawancarai di kantornya Jalan Sei Tenang, Medan, Selasa (1/12).
Plt Walikota Medan Randiman Tarigan |
Padahal, kebutuhan guru (SD dan SMP Negeri) di kota Medan cuma 6.500 orang. Sementara guru PNS yang ada sekarang sudah 6.370 orang. Jadi hanya butuh sekitar 30 guru lagi, itupun jika semuanya yang dibutuhkan harus pegawai negeri. Tapi sekarang ada guru honorer sebanyak 1.700-an (untuk tingkat SD dan SMP), sehingga mengakibatkan guru berlebih sebanyak 1.549 orang. Kalau ditambah guru tingkat SMA totalnya sekitar 3.800 guru honorer.
Pada 2013 silam, USAID PRIORITAS sudah menghitung kelebihan guru (tingkat SD dan SMP) di kota Medan. Kelebihan guru SD (berstatus PNS) 900 orang, sedangkan tingkat SMP (status PNS) 600 orang. Jika ditotal, kelebihan guru PNS sebanyak 1.500 orang. Dan itu belum dihitung dengan guru honorer. Karena jumlah guru sudah berlebih. Jadi tidak mungkin mengangkat guru honor lagi, meski hanya satu orang. Menjanjikan separuh dari 3.800 guru honor akan diangkat menjadi pegawai negeri sesungguhnya tidak tepat.
Tetapi kalau distribusi guru ditata ulang, sesuai Perwal 2012, sangat tepat. Sebab problemnya bukan lagi kekurangan guru. Pengangkatan guru honorer sangat tidak perlu. Sekarang justru peningkatan mutu guru dan kelebihan guru. Jumlah guru SD dan SMP untuk negeri saja ada 1.018 orang yang tidak memenuhi jam mengajar 24 jam. Padahal, kalau si guru sudah sertifikasi, namun tidak mengajar 24 jam, haram hukumnya menerima dana tunjangan profesi.
Celakanya kekurangan jam mengajar guru-guru kita menyebabkan kelebihan jumlah guru. Sehingga guru-guru tidak bisa menerima tunjangan profesinya. Kemudian mereka mengejar jam mengajar di sekolah bahkan di kabupaten lain. Hal ini mendorong mereka untuk semakin tidak fokus mengajar di sekolahnya sendiri. "Kami menemukan bahwa ada 147 guru SMP yang mengajar di dua sekolah. Biangnya, karena kelebihan guru. Jadi tabu jika solusinya mengangkat guru honorer," ujar Rimbananto.
Seharusnya Medan,di HUT PGRI kali ini, lebih fokus ke peningkatan mutu guru. Sebab guru yang mendapat sertifikasi dengan yang tidak disertifikasi, kinerjanya hampit sulit dibedakan. Karena itu guru harus membekali dirinya. Sedang Pemko Medan harus mendesain program peningkatan mutu pendidikan dengan sungguh-sungguh pada semua level dan semua dan semua pihak yang bekerja di sektor pendidikan. Harus punya desain program peningkatan mutu pendidikan yang bisa dipahami semua pihak.
Miris jika program peningkatan mutu tidak jadi idola bagi Pemko Medan, yang notabene kota besar, metropolitan dan dekat dengan negara jiran. Kita berharap, PGRI juga punya anggaran untuk peningkatan mutu guru. Namun yang terjadi, justru guru-guru hanya membayar iuran organisasi tanpa pernah sekalipun mendapat pelatihan.
Padahal, pelatihan guru, kata Anies Baswedan, Mendikbud, perlu sekali minimal setahun sekali. Ini bukti ril rendahnya mutu guru kita di Medan. Dalam Uji Kompetensi Guru 2013, Medan mendapat ranking 23. Kalau dibreakdown per kabupaten, ternyata yang nilai UKG-nya tertinggi bukan Medan melainkan Pematangsiantar, disusul Tebing Tinggi, lalu Binjai, dan Gunung Sitoli. Medan masih di bawah peringkat Gunung Sitoli. Berpijak pada hasil UKG ini, bisa dimaknai, jantung pendidikan di Sumut bukan lagi di Medan.
Dan kita juga melihat, kebijakan di kota Medan belum kondusif untuk guru mengembangkan kompetensi dirinya dibanding Jawa. Karena itu, rencana strategis pendidikan di kota Medan perlu diubah. Fokusnya harus ke peningkatan mutu pendidikan di semua jenjang. Hal ini penting untuk menekan angka anak-anak Medan yang hijrah studi ke Singapura.
Kita melihat, yang berkontribusi nyata dalam hal menghasilkan juara, justru sekolah-sekolah swasta. Harusnya sekolah negeri. Dengan jumlah biaya pendidikan yang besar, harusnya sekolah negeri hasilkan anak-anak yang mampu berkompetisi di level nasional dan internasional. Karena itu, manajemen sekolah perlu dimasukkan ke dalam Perda. Sehingga renstra pendidikan juga mendukung, demikian juga dengan manajemen sekolah. Tak pelak, penilaian kepala sekolah jelas dan objektif, bukan transaksi.
Tingkatkan mutu
Ada banyak cara meningkatkan mutu guru. Salah satunya dengan meningkatkan pelatihan bagi guru. Pertanyaannya darimana dana untuk bikin pelatihan? Oh..ada banyak opsi, yakni, pakai dana BOS, APBD atau memberdayakan sumbangan guru yang diambil dari tunjangan profesi.
Tunjangan profesi guru di kota Medan sebesar Rp 432 M dari pusat. Misalnya, satu persen saja diambil untuk biaya pelatihan guru, sudah terkumpul Rp 4,32 M. Atau bisa diambil Rp 1M per bulan untuk pelatihan guru dari tunjangan profesi yang dikirim pusat ke dinas pendidikan (Disdik) kota Medan. Asal Disdik mau mengkoordinir itu dengan baik atau dibikin peraturan daerah (perda) yang mengatur pelatihan tersebut.
Itu tahun 2013. Tentu anggaran di 2014 jauh lebih besar. Dana untuk pelatihan guru bisa bersumber dari dana BOS, dana dari sumbangan guru (diambil dari tunjangan profesi) atau dari APBD. Harusnya sumbabgan guru dari tunjangan profesi bisa 2,5 persen dialokasikan untuk pelatihan guru dan dana ini dikoordinir sekolah. Namun, di Medan, kita tidak melihat pelatihan yang dibiayai oleh Pemko Medan dari APBD. Lebih banyak biaya pelatihan guru dengan mengandalkan dana BOS.
Jadi ke depan, tunjangan profesi guru dari sekian ribu guru bisa diambil 2,5 persen. Namun apakah ada yang berani mencobanya? Katakanlah 2,5 persen dari tiga juta (dana tunjangan profesi) diperoleh dana Rp 75.000. Jika dikalikan 40 guru akan terkumpul Rp 300.000 per sekolah, per bulan. Dalam setahun terkumpul 3,6 juta. Jadi persoalannya sekarang adalah distribusi guru yang tidak merata dan rendahnya mutu guru.
Lantas kenapa Plt Walikota malah pengen mengangkat guru honorer? 2015 ini pula? Mungkin, Kata Irsan, Randiman kurang informasi tentang kondisi guru di Medan. Bisa jadi, dia tidak mendapat informasi yang lengkap dari anak buahnya (jajaran di bawahnya sepasti SKPD dinas pendidikan terkait). "Andaikan Ia tau, mungkin akan dicarinya solusi bersama, bukan menebar angin surga," katanya lagi.
Kalau soal peningkatan kesejahteraan guru honorer (banyak ditemukan digaji antara Rp 300.000-Rp 800.000), kata Irsan, kita dukung. Sebab, pada 2013, Balitbang Kota Medan sudah meneliti efektivitas penggunaan dana BOS untuk tingkat SD dan SMP. Hasilnya, banyak sekali guru honorer yang dibayar dari dana BOS. Padahal kita tau, pada tahun itu, banyak guru berlebih sehingga sedikitnya Rp 8 M per triwulan digelontorkan untuk membayar gaji guru honorer.
"Dengan problem ini, sudah sepantasnya petinggi kota Medan duduk bersama untuk memetakan kembali data guru di kota Medan, supaya 'Medan Rumah Kita 'yang dijargon-jargonkan itu tidak keropos dalam hal tata kelola guru," ungkapnya.
Pernyataan Plt Walikota Medan itu memang semakin jauh dari esensi. Beda betul dengan kebijakan Pemko Malang. Di sana terjadi apa yang dikenal dengan sebutan "pertumbuhan nol untuk pertambahan guru". Jadi, kalau ada guru yang pindah dari luar kota, otomatis masuk daftar tunggu karena kota Malang tertutup untuk penerimaan guru baru atau pindahan.
Komentar