Langsung ke konten utama

Menjenguk Afrika dan Hongkong

ANTARA pemahaman agama dengan praktik hidup, kerap tidak sinkron. Selalu ada jurang yang pemisah. Itulah kesimpulan yang dipetikDeonal Sinaga saat  mengunjungi gereja-gereja anggota UEM di Afrika, yakni di Ruanda dan Tanzania.
Deonal Sinaga saat mebawakan materi perjumpaan kreatif bagi parhalado di distrik HKBP Jalan Uskup Agung Medan, Belakang Kantor Gubsu

"Saya melihat, pada umumnya di kedua negara ini, mereka sangat serius dengan kekristenan. Tapi di sisi lain saya menyaksikan realitas kemiskinan itu," cetusnya saat di wawancarai di kediamannya di Kompleks Gereja HKBP Cinta Damai, Medan Sunggal, tempo hari.

Ruanda adalah negara pascagenosida tahun 90-an. Mereka satu-satunya negara di dunia ini yang menetapkan aturan larangan pemakaian plastik. Karena pemerintah dan masyarakat sadar bahwa plastik sumber polisi terbesar untuk tanah dan susah terurai. Jadi pengganti kresek belanja, mereka menggunakan kertas.

Dari segi pendidikan, menurut Deonal, pendeta-pendeta di Ruanda tidak setinggi level pendeta di Indonesia. Tetapi, mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka memang jauh lebih unggul dari kita soal rasa percaya diri. Dan rasa percaya diri tersebut berbanding lurus dengan dampak yang ditularkan kepada jemaat.

Sedang di Tanzania, terang Deonal lagi, semangat kekristenan mereka sangat tinggi, tapi realitas kemiskinan tak kalah memprihatinkan. "Namun satu fenomena menarik di Ruanda dan Tanzania, mereka kini sangat memprioritaskan peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan, terlebih lagi dalam menghadapi ancaman HIV/AIDS," ungkapnya.

Atas pandangan itu, sambung Deonal, tak heran jika pelayanan diakonia kepada orang-orang lemah seperti korban HIV/AIDS dan anak-anak yang ditinggalkan orangtua mereka, kini sangat diperhatikan pemerintah Ruanda dan Tanzabia. Juga dalam pelayanan diakonia, dua negara ini jauh lebih serius ketimbang gereja gereja di Nusantara.

"Saya kunjungi banyak pusat-pusat diakonia du sana. Mereka punya panti asuhan untuk anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya akibat terjangkit HIV/AIDS umur 0-2 tahun yang dirawat dan dibiayai oleh gereja. Mereka juga memiliki sekolah untuk anak-anak difabel, yang tidak mampu mengikuti pembelajaran laiknya anak-anak normal. Namun gereja mengusahakan sekolah sendiri yang istimewa untuk anak-anak ini," beber Pendeta Lulusan Doktor Teologi dari Hongkong itu.

Tak hanya peduli pada anak anak, lebih jauh Deonal mengungkapkan kalau orang orang Nasrani di Afrika juga menyediakan pelayanan khusus untuk kaum difabel. Selain itu mereka memiliki universitas diakonia, Gereja Luteran Church di Tanzania. Satu sinode gereja Lutheran di Tanzania, yang berpusat di kota Lesotho, memiliki universitas pertama, di bidang Diakonia. Ternyata perkembangannya pesat. Dibuka pada 2007, dengan beberapa orang mahasiswa, kini sudah ribuan. Jadi semangat gereja-gereja di sana untuk membangun universitas luar biasa.

Deonal Sinaga

RESPEK PADA PENDIDIKAN
Menurut Deonal, ada beberapa gereja anggota UEM yang berusaha membangun universitas, satu fenomena menarik bagi saya karena saya perhatikan juga fasilitasnya sangat minim. Hanya kursi dan meja dan buku terbatas, dosennya juga minim. Akantetapi semangatnya luar biasa. Mereka ceritakan bahwa mereka bangga sudah punya universitas. Karena rasa bangga itu mendorong sejumlah dosen dari Asia dan Amerika datang sebagai dosen sukarela di sana untuk periode tertentu, misalnya, satu semester, setahun, bahkan lima tahun. Yang profesor-profesor dari Jerman juga datang ke situ. 

"Saya lihat rasa percaya diri orang Afrika itu sangat tinggi dan mereka juga sangat ramah. Mereka tidak minder. Nama universitas itu Secumo, Sebastian Colllogia College. Dulu Secuco." ujar suami Omega Sitorus itu.

Sementara di Hongkong, kala itu sekitar tahun 2000 ada 15.000 orang warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Celakanya, banyak sekali dari PRT ini yang mengalami diskriminasi. Deonal mengetahui penderitaan itu, karena dia ikut terlibat dalam komunitas  WNI yang coba menelusuri jejak jejak PRT. Banyaknya warga kita hijrah ke Hongkong sebagai PRT, menurutDeonal, dipicu kondisi ekonomi di bangsa kita yang sangat sulit, orang susah mendapatkan lapangan pekerjaan dan kalau dapat kerja, gajinya rendah. Beda dengan di Hongkong, gaji cukup tinggi dan lapangan kerja membludak.

Melihat banyaknya PRT itu, Deonal tergerak hati untuk menolong para WNI. Ia mulai memikirkan persoalan tersebut dan mencoba mengajukan usul ke HKBP untuk mengirimkan dua pendeta yang akan melayani para jemaat yang jadi PRT itu. "Sayang belum terealisasi," pungkasnya. (Dedy Hutajulu)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P