Banyak
calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim
menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak
mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal
kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti?
Oleh Dedy Hutajulu
![]() |
Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu |
DESI SIRAIT malu-malu saat
lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama
teman sebaya. Bale Parsattian sebutan
bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale
Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan.
Desi Sirait baru berusia 19
tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir
dalam-dalam. “Aku takut nanti salah bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya.
Desi berasal dari
Pemantangsiantar. Ia pindah ke Medan karena kuliah. Saat ditemui, gadis pemalu
itu mengenakan mandar (sarung). Ia
baru selesai menunaikan ibadah. Sabtu adalah hari sakral bagi Parmalim. Itu
momen istimewa untuk menghadap Debata
Mula Jadi Na Bolon, sang Khalik langit dan bumi.
Desi mengaku tidak terlalu
memikirkan pemilihan legislatif. Ia dan kalangan pemuda Parmalim juga tak pernah menyinggung soal politik.
Mereka bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan calon anggota legislatif. “Kami
tak mengenal mereka (caleg). Kurasa mereka juga tak mengenal kami,” tambahnya.
Sebagai pemilih pemula, Desi
tidak yakin pemilu bisa membantu komunitasnya. Seperti Desi, Pimpinan Tertinggi
Parmalim Marnakkok Naipospos punya pendapat yang sama. Marnakkok bilang umat
Parmalim sudah berpuluh tahun berjuang agar diakui negara, tapi mereka tetap
didiskriminasi.
Parmalim adalah agama orang
Batak jauh sebelum Islam dan Kristen menyentuh wilayah sekitar Danau Toba.
Lewat UUD 1945 dan UU No.23 tahun 2006, Parmalim sebenarnya telah diakui
sebagai salah satu kelompok aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
(TYME). Namun pengakuan ini tidak berarti pengikut Parmalim mendapatkan hak
yang sama dengan warga negara lainnya.
Orang-orang Parmalim kerap
mendapatkan diskriminasi saat mengurus dokumen administrasi sipil. Mereka
kesulitan mencatatkan keyakinannya di lembar E-KTP. Di awal 2014 saja tercatat
50 lebih warga Parmalim di Sumut belum mendapatkan kartu penduduk elektronik.
Di bidang pendidikan dan
kesejahteraan juga, nasib pengikut Parmalim tidak lebih baik. Poltak Sirait
pernah protes gara-gara kedua anaknya, Tamara (kelas 3 SMA) dan Nobelin (kelas
2 SD) diharuskan belajar Agama Kristen di sekolah. “Padahal kamikan Parmalim,”
ujarnya.
Tohom Naipospos lebih kecewa
lagi. Tahun lalu ia gagal mendaftar sebagai calon peserta ujian Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumkam). Ia tidak bisa mengisi
borang formulir, karena panitia belum mengetahui kalau Parmalim sudah diakui
negara sebagai kepercayaan. Ia hanya bisa memilih salah satu dari lima agama
yang tertera dalam formulir. Tohom tidak bisa memilih satupun, akhirnya ia
gagal mendaftar.
Problem dihadapi penganut
Parmalim sesungguhnya masih seputar hak-hak sipil. Hak-hak yang seharusnya
sudah diakomodasi negara. Namun pemilu demi pemilu berganti, nasib Parmalim di
negeri ini masih tak jelas. Itu yang mengecewakan hati anak-anak muda Parmalim
sehingga kurang tertarik membahas politik. Apalagi mengikuti isu pemilu atau
mempelajari sepak terjang kandidat secara organisasi.
Sikap tertutup soal politik
bukan saja ditunjukkan Desi seorang. Rekan sebaya Desi juga bersikap sama. Sikap ini pula yang
membuat Caleg dari Partai Demorkat Amiruddin, Ilhamsyah dari Partai Golkar
(PG) dan Prananda Surya Paloh dari
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengkhawatirkan pemuda Parmalim bakal golput
di pemilu April nanti.
Golput singkatan dari golongan
putih. Orang-orang yang ketika pemilu, mereka tidak mau menggunakan hak
pilihnya. Perdebatan tentang terminologi golput kini terus bergulir dan selalu
menghangat di kala musim pemilu. Ada yang menyebut golput termasuk tindakan
orang bodoh. Tetapi tak sedikit yang menentangnya dengan mengatakan golput
justru tanda orang cerdas politik. Argumentasi mereka, memilih untuk tidak
memilih juga pilihan.
Tetapi benarkah Tunas Naimbaru
Parmalim golput? Rinaldi Rumapea, Wakil ketua Tunas Naimbaru, organisasi pemuda Parmalim menjawab,” itu tidak
benar!”
Sore itu Rinaldi mengenakan
kemeja putih liris-liris. Lengan panjang. Ia memelihara jenggot agar bengkok ke
samping. Berkacamata minus. Rinaldi sehari-hari bekerja sebagai guru fisika di
Sekolah Markus, Kecamatan Helvetia.
Kaum muda Parmalim, kata
Rinaldi, tidak apatis terhadap politik. Juga tidak buta politik. Tunas Naimbaru sama sekali
anti-golput. “Di dalam patik (hukum) Ugamo Malim dikatakan warga harus patuh pada raja. Dan di kehidupan
kini, raja itu adalah pemerintah. Jadi kami tak bisa lepas dari (patik) itu. Siapa pun pemimpinnya, kami akan patuhi. Itu sebabnya
kami tak boleh golput,” jelasnya.
Jumlah pemilih pemula dari Tunas Naimbarudi Medan ada 78 orang.
Tapi untuk seluruh kaum muda Parmalim yang aktif dan sudah punya hak pilih 384
jiwa. Di Medan ada lebih 100 Kepala Keluarga Parmalim. Populasi mereka
se-Indonesia kini 5.324 jiwa. Mereka tersebar di hampir seluruh belahan
Nusantara dengan populasi terbesar di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa).
![]() |
Tunas Naimbaru bercengkerama di bawah pohon beringin kecil--foto dedy hutajulu |
Parmalim
Menurut Caleg
MEDIA center Amiruddin di
Jalan Halat Medan, tak terlalu ramai
sore itu. Amiruddin duduk mengawasi staff dari balik ruang berkaca. Mejanya
penuh dokumen kampanye. Ia maju lagi menjadi calon legislatif Kota Medan dari
partai berlambang mercy. Bersama relawan, Ia tengahbersiap berebut suara di
daerah pemilihan (dapil) satu yang meliputi Medan Area, Medan Amplas, Medan
Denai dan Medan Kota. Saat ini Amiruddin menjabat sebagai Ketua DPRD Kota
Medan.
![]() |
Amiruddin di ruang media centernya, Jalan Halat, Medan--foto dedy hutajulu |
Amiruddin menilai kelompok
minoritas seperti Parmalim bakal golput di pemilu April nanti. Ia merasa
Parmalim sangat tertutup dan menutup diri sehingga sulit diakses para caleg. “Mereka
itu kurang berpendidikan. Apatis politik. Tertutup. Sulit dijangkau karena
kurang terbuka dengan orang luar,”tukasnya.
Amiruddin sendiri mengaku belum
pernah bertemu dengan komunitas Parmalim. Informasi soal Parmalim yang ia punya
juga terbatas. “Kalau masalah Parmalim, saya tidak tahu. Dulu, orang ini yang
setengah-setengah. Dia itu penganut ajaran. Bukan Kristen bukan Islam,”
katanya.
Amiruddin membuka tangan bagi
Parmalim. Ia tidak keberatan menyerap aspirasi komunitas ini. Di mata Amiruddin,
suara Parmalim sangat potensial. “Kalau ada yang membawa saya ke mereka, ya,
Saya mau,” ujarnya. Nada bicara Amiruddin pelan. Suaranya terdengar berat.
Menandakan usianya yang kian senja.
Amiruddin menyarankan Parmalim
membangun kelompok terstruktur seperti organisasi agar bisa memperjuangkan
haknya. Selain ituParmalim harus membuka diri bagi orang lain agar bisa
berdiskusi. Tujuannya agar aspirasi Parmalim bisa didengar para caleg.
Prediksi Parmalim bakal golput
juga dilontarkan Ilhamsyah. Ia caleg DPRD Medan dari Partai Golkar. “Parmalim
bersifat tertutup,” katanya.
Seperti Amiruddin, politisi
partai kuning ini juga mengakui belum mengenal kelompok Parmalim. Ia bahkan
belum pernah bertatap muka dengan seorang Parmalim. Karena itu, ia jujur
mengaku jika ia sama sekali tidak tahu dimana Parmalim berada dan
persebarannya.
Untuk program khusus bagi kaum
Parmalim, Ilhamsyah mengatakan belum memikirkannya. Pasalnya Parmalim
merupakan kelompok yang belum terbuka dengan hal-hal di luar kepercayaan
mereka. “Susah mengumpulkannya,” simpulnya.
Caleg DPRD provinsi dan DPR RI
juga tidak banyak bicara soal Parmalim. Tahan M Panggabean caleg DPRD Provinsi
Sumut dari Partai Demokrat bicara lugas soal kaum marjinal seperti nelayan,
buruh, petani dan tukang becak. Namun saat disinggung soal Parmalim, Tahan
mengatakan tidak banyak tahu soal komunitas agama orang Batak itu.
Tahan hanya menekankan
fokusnya maju kembali sebagai calon anggota legislatif karena ia ingin berjuang
agar anggaran dari APBN dan APBD untuk Sumut bisa bertambah besar. Jika jumlah dana
lebih besar, ia yakin upaya membangun infrastruktur bisa lebih bermutu. Soal
nasib Parmalim, katanya, aspirasi itu baru akan dipelajarinya.
![]() |
Prananda Suraya Paloh, Caleg Nasdem di ruang makan di Jalan KH A Dahlan, Medan. Foto oleh Dedy Hutajulu |
Tokoh muda Partai Nasdem
Prananda Surya Paloh secara terbuka mengakui tidak mengenal komunitas Parmalim.
Ia bahkan baru mendengar istilah Parmalim saat diwawancarai. “Jujur saya belum
pernah dengar Parmalim. Tapi mungkin suatu saat akan kita telusuri,” tutur
putra pemilik Metro TV itu.
Biarpun tidak banyak tahu soal
Parmalim, Prananda mengaku bersedia memperjuangkan hak kelompok minoritas ini.
Raut wajah Prananda menajam saat diberitahu kalau Parmalim sampai hari ini kesulitan
mendapatkan identitas. “Itu artinya hak-hak mereka telah dirampas negara,” kata
calon anggota DPR RI dapil I itu.
“Saya tidak ragu-ragu untuk membela (Parmalim)
itu. Tapi cara membelanya banyak. Saya akan ajak teman se-partai. Teman
se-fraksi. Bermitra beda partai, bahkah bila perlu lintas partai,” lanjutnya.
Jika Prananda memperjuangkan
Parmalim lintas partai, maka Gregorius Maninga Lumbanbatu akan memperjuangkan
Parmalim melalui APBD. Gregorius Maninga
Lumbanbatu, calon legislatif untuk DPRD Medan yang diusung Partai Keadilan dan
Persatuan (PKP). Maninga mengatakan akan berjuang secara pribadi untuk
Parmalim.
Jika terpilih menjadi anggota
legislatif, dia juga akan memperjuangkannya melalui anggaran. Aspirasi Parmalim
akan diupayakan masuk dalam nomenklatur anggaran pendapatan dan belanja
Pemerintahan Kota Medan. Seperti Prananda, Maninga juga terus terang mengaku
tidak tahu banyak soal Parmalim.
Pendapat lain disampaikan Wenila
caleg dari PDI-P. Ia mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa bagi komunitas
Parmalim jika ia tidak terpilih sebagai anggota DPRD Kota Medan. Ia baru bisa
memikirkan program bagi Parmalim jika berhasil memenangi kursi parlemen. Meski
sama sekali tak mengenal Parmalim, Wenila berjanji akan turut berjuang di garda
terdepan.“Mereka (Parmalim) juga adalah saudara-saudara kita, sebangsa dan
setanah air, yang hak-hak sipilnya harus diperjuangkan.” katanya.
Sebagai etnis Tamil, Wenila
mengaku bisa merasakan diskriminasi yang dialami Parmalim. Ia juga pernah
merasakan tersiksa batin sebagai kaum marjinal. Sebagai contoh, Wenila
mengatakan perayaan Dipawali, Hari Raya umat Hindu belum semeriah Natal,
Idulfitri, atau Imlek.“Begitu pula, guru-guru Agama Hindu di Medan bahkan
Sumatera Utara nyaris tidak ada. Terang saja, etnis Tamil, benar-benar belum merasakan
kesetaraan sebagai satu bangsa.” kata dia.
Kesetaraan yang dimaksud Wen
adalah kesamaan kedudukan seperti termaktub dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika: berbeda tetapi satu."Saya sendiri tidak berjuang untuk etnis Tamil.
Tapi juga Batak, Jawa, Cina, dan suku lain. Saya cinta Indonesia, " tutur putri Karang Berombak, kelahiran Medan 14
September 1981 silam itu.
Mungkin satu-satunya kandidat
legislatif yang lugas bicara soal Parmalim hanya Parlindungan Purba. Anggota DPD RI yang sudah
dua periode menjabat. Walau sudah dua periode, tapi Parlindungan mengaku belum
bisa berbuat banyak untuk Parmalim. “Saya akui belum apa-apa. Tapi saya akan
terus berjuang. Kan kerja saya legislasi. Banyak sekali,” jawabnya.
Parmalim di mata Parlindungan Purba adalah suatu
kelompok masyarakat yang cukup sakral dan punya tradisi tersendiri dalam memuji
Tuhan. Jadi, kata dia, persoalan yang dihadapi Parmalim selama ini, belum
diakuinya agama mereka di kartu penduduk. “Akibatnya hak-hak sipil mereka
terampas,” ujarnya.
Tiga tahun lalu, kenang Parlindungan
Purba lagi, ia pernah ikut acara adat si Pahalima yang diselenggarakan
Parmalim. Di situlah Parlindungan Purba makin menyadari betapa hak-hak sipil
kaum Parmalim tak boleh dibiarkan begitu saja.
“Saya kan anggota legislagif. Nanti akan saya
angkat lagi aspirasi ini sampai ke ranah nasional. Tapi perlu juga ada sentuhan
dari Departemen Agama,” gagasnya.
Kritik
Ahli
Minimnya pengetahuan dan
pemahaman caleg tentang isu minoritas, menuai kritik dari sejumlah ahli. Dadang
Darmawan dosen politik di Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan cara
caleg memahami istilah minoritas masih sangat dangkal. Caleg memahami minoritas
hanya sebagai kaum difabel (orang cacat) semata. Ia bahkan mengkritik keras
tidak adanya perkembangan paradigma tentang isu minoritas di kalangan caleg. Ia
menyebut bahwa memenuhi hak-hak sipil kaum marjinal seperti Parmalim sama
penting dengan pemenuhan kelompok difabel.
Direktur Pusat Kajian Politik
FISIP UI Sri Eko Budi Wardani juga menyayangkan ketidakmampuan para caleg
menyerap aspirasi kaum minoritas. Ia menduga para caleg tidak tahu apa defenisi
kaum marjinal atau minoritas. Dalam konteks pemilu, kaum-kaum yang suaranya
dipinggirkan dan didiskriminasi seperti kaum difabel, kelompok perempuan, kaum
miskin kota, serta komunitas kepercayaan seperti Parmalim adalah kelompok
minoritas.
Padahal, kata Wardani, kaum
marjinal punya kecerdasan politik tinggi. “Ini menandakan, pemerintah, para
politisi dan caleg-caleg sama sekali belum memikirkan kaum marjinal,” ungkapnya.
Wartawan senior dari Medan
Idris Pasaribu menyebut kaum marjinal sebagai rakyat yang sesungguhnya.
Kelompok inilah yang harusnya diwakili para caleg. Jika tidak, sambungnya, para
caleg tak layak jadi wakil rakyat. Idris menyebut, pemilih pemula apalagi dari
kaum Parmalim hanya massa mengambang bagi kandidat.
Ia menuding, kegagalan KPU dan
media yang menyebabkan munculnya massa mengambang. Padahal massa mengambang
sejatinya rebutan kandidat atau partai politik yang mengusungnya.
Massa mengambang adalah
istilah yang mucul di zaman Orde Baru (Orba). Istilah ini merujuk pada situasi
dimana warga negara tidak berpartisipasi aktif dalam politik. Warga tidak
memiliki pengetahuan, keterampilan dan alat politik yang cukup untuk
memperjuangkan aspirasinya. Massa mengambang digagas pertama sekali oleh Ali
Moertopo.
Menurut Idris banyak kandidat
yang ikut pemilu bukan lahir dari kader partai. Mereka hanya para pengangguran
yang mencari kerja. Kaum oportunis yang tidak tahu menghayati keluhuran
politik. Tapi ingin duduk di kursi wakil rakyat. “Akhirnya mereka hanya jadi
perpanjangan tangan partai, bukan lagi penyambung lidah rakyat,” kecamnya.
Sekretaris Pusat Studi HAM
(Pusham) Universitas Negeri Medan Arief Wahyudi berharap para kandidat mampu
menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan bermartabat serta menaati
etika-etika politik yang ada. Sehingga tujuan kita berdemokrasi tercapai.
Kaum marginal, kata dia, tidak
boleh lagi hanya sebagai jualan politik, dengan perhatian semu dan musiman
seperti masa kampanye. Tetapi kaum marjinal harus menjadi fokus perhatian utama
untuk menjamin adanya kesetaraan dan non diskriminasi.
Arief menyitir satu persoalan
besar demokrasi kita hari ini. Yakni tertutupnya ruang dialog bagi kaum
marjinal untuk menyampaikan aspirasinya. Bahkan untuk mengurus identitas
sipilnya saja, kaum marjinal seperti menghadapi tembok. “Pemerintahlah yang
terutama tidak menyediakan ruang dialog itu,” kata Arief.
Belum lagi kaum marjinal
terbentur oleh peraturan perundang-undangan yang mengharuskan mereka mengubah
keyakinannya demi mendapatkan identitas sipilnya. Itu nyata dari berbagai macam
persoalan seperti bantuan pemerintah yang hanya fokus pada agama-agama
mayoritas,” tudingnya.
Jangan
Golput
![]() |
Ajakan Memilih |
Pengamat komunikasi Erix
Hutasoit mengatakan angka golput pada pemilih pemula kelompok minoritas dapat
ditekan. Guna memperkecil angkat golput maka kualitas demokrasi harus
ditingkatkan dan partisipasi pemilih pemula diperluas. “Disini media massa
punya tiga peran yaitu advocacy, social mobilization dan behavior change communication,” tukas
peserta e-learning bidang komunikasi
di RTI University, AS ini.
Peran advovacy media ditujukan untuk memberikan informasi dan memotivasi
pemimpin politik baik partai politik dan penyelenggara pemilu agar menyediakan
lingkungan yang mendukung bagi pemilih pemula terlibat dalam pemilu. Setelah
lingkungan politik yang mendukung tersedia, maka seluruh pemilih pemuda harus
dimobilisasi untuk berpartisipasi. Partisipasi ini termasuk melibatkan kelompok-kelompok
minoritas seperti Parmalim.
“Selama ini kedua pihak saling
salah memahami. Partai politik dan caleg menganggap Parmalim tertutup. Di sisi
lain Parmalim menganggap partai politik dan caleg-calegnya tidak perduli.
Padahal keduanya saling membutuhkan,” lanjutnya.
Di titik ini media memainkan
peran keduanya yaitu social mobilization.
Kampanye, sanggar kerja, pelatihan dan simulasi yang berhubungan dengan
pemilu baiknya difokuskan di sekolah-sekolah, universitas dan tempat-tempat
umum secara massif.
Peran terakhir media adalah
menghubungkan kelompok-kelompok minoritas dengan institusi politik. Di sini
media melakukan peran behavior change
communication. Dalam peran ini media
menggagas terjadinya dialog dan kontak politik baik secara invidu maupun
institusi.
“Pemilih pemula harus
difasilitasi untuk terbiasakan berdialog dan berkomunikasi dengan elit partai
politik atau caleg. Tujuannya tidak sekadar membekali pemilih pemula mendapat
informasi yang cukup soal partai politik dan programnya, namun lebih dari itu
adalah membangun kepercayaan dirinya untuk mampu mengambil keputusan sendiri,”
terang Erix Hutasoit.
Erix Hutasoit mengatakan model
pendidikan di Indonesia tidak memberikan kemampuan kepada siswa agar mampu
menganalisis dan mengambil keputusan sendiri. Keterlibatan orang dewasa seperti
guru dan orangtua sangat mendominasi cara siswa mengambil keputusan. Begitu pula
saat mengambil keputusan politik di balik bilik suara, mereka biasanya mengonsultasikan
pilihannya kepada orang dewasa.
“Pemilih pemula itu umumnya
pelajar kelas 3 SMA atau semester awal kuliah. Mereka tidak terbiasa diberi
tanggung jawab untuk memutuskan sendiri keputusan politiknya. Karena itu mereka
harus dilatih untuk berani mengambil keputusan secara mandiri,”tambahnya.
![]() | |
Benget Silitonga, Komisioner KPU Sumut. Foto oleh Dedy Hutajulu |
Komisioner KPU Sumut Benget
Silitonga mengatakan pihaknya bekerja serius untuk menurunkan angka golput.
Keseriusan itu ditunjukkan KPU dengan serius memperbaiki dan mengembangkan
sistem data pemilih, termasuk menyinkronkan pendataaan manual dengan
elektronik. KPU bahkan menggagas mekanisme pemutakhiran data lebih baik dari
pemilu sebelumnya. Tiga strategi ditetapkan.
Pertama,
pemutakhiran/penyempurnaan data pemilih termasuk akurasinya. Kedua, menyasar
kepada lima sektor pemilih strategis dengan merekrut 25 orang “relawan
demokrasi” dari lima segmen pemilih yakni pemilih pemula, kelompok agama,
penyandang disabilitas dan kaum perempuan.
Terakhir bermitra dengan
lembaga sipil, asing, dan media massa. Hasil bermitra adalah merekrut 30 orang
presenter-presenter pemilu untuk penyedia informasi pemilu lewat media online.
Para presenter itu direkrut dari murid SMA atau perguruan tinggi angkatan baru.
Data pemilih tetap di Provinsi
Sumatera Utara versi KPU mendekati 10 juta (9.733.497) jiwa. Diprediksi 10
persen dari total penduduk adalah pemilih pemula (usia 17-19 tahun) yakni
sekitar 1,7 juta (1.711.878) jiwa. Mereka inilah yang akan menyambangi tempat
pemungutan suara pada 9 April. Pemilu di Sumut akan digelar di 4.108 TPS yang
tersebar di 21 kecamatan dan 151 kelurahan
![]() |
Contoh Surat Suara |
Komentar