Langsung ke konten utama

Dicari Caleg Perduli Parmalim*


Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti?
Oleh Dedy Hutajulu

Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu
 DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan.
Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya.
Desi berasal dari Pemantangsiantar. Ia pindah ke Medan karena kuliah. Saat ditemui, gadis pemalu itu mengenakan mandar (sarung). Ia baru selesai menunaikan ibadah. Sabtu adalah hari sakral bagi Parmalim. Itu momen istimewa untuk menghadap Debata Mula Jadi Na Bolon, sang Khalik langit dan bumi.
Desi mengaku tidak terlalu memikirkan pemilihan legislatif. Ia dan kalangan pemuda Parmalim juga tak pernah menyinggung soal politik. Mereka bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan calon anggota legislatif. “Kami tak mengenal mereka (caleg). Kurasa mereka juga tak mengenal kami,” tambahnya.
Sebagai pemilih pemula, Desi tidak yakin pemilu bisa membantu komunitasnya. Seperti Desi, Pimpinan Tertinggi Parmalim Marnakkok Naipospos punya pendapat yang sama. Marnakkok bilang umat Parmalim sudah berpuluh tahun berjuang agar diakui negara, tapi mereka tetap didiskriminasi.
Parmalim adalah agama orang Batak jauh sebelum Islam dan Kristen menyentuh wilayah sekitar Danau Toba. Lewat UUD 1945 dan UU No.23 tahun 2006, Parmalim sebenarnya telah diakui sebagai salah satu kelompok aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME). Namun pengakuan ini tidak berarti pengikut Parmalim mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Orang-orang Parmalim kerap mendapatkan diskriminasi saat mengurus dokumen administrasi sipil. Mereka kesulitan mencatatkan keyakinannya di lembar E-KTP. Di awal 2014 saja tercatat 50 lebih warga Parmalim di Sumut belum mendapatkan kartu penduduk elektronik.
Di bidang pendidikan dan kesejahteraan juga, nasib pengikut Parmalim tidak lebih baik. Poltak Sirait pernah protes gara-gara kedua anaknya, Tamara (kelas 3 SMA) dan Nobelin (kelas 2 SD) diharuskan belajar Agama Kristen di sekolah. “Padahal kamikan Parmalim,” ujarnya.
Tohom Naipospos lebih kecewa lagi. Tahun lalu ia gagal mendaftar sebagai calon peserta ujian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumkam). Ia tidak bisa mengisi borang formulir, karena panitia belum mengetahui kalau Parmalim sudah diakui negara sebagai kepercayaan. Ia hanya bisa memilih salah satu dari lima agama yang tertera dalam formulir. Tohom tidak bisa memilih satupun, akhirnya ia gagal mendaftar.
Problem dihadapi penganut Parmalim sesungguhnya masih seputar hak-hak sipil. Hak-hak yang seharusnya sudah diakomodasi negara. Namun pemilu demi pemilu berganti, nasib Parmalim di negeri ini masih tak jelas. Itu yang mengecewakan hati anak-anak muda Parmalim sehingga kurang tertarik membahas politik. Apalagi mengikuti isu pemilu atau mempelajari sepak terjang kandidat secara organisasi.
Sikap tertutup soal politik bukan saja ditunjukkan Desi seorang. Rekan sebaya Desi  juga bersikap sama. Sikap ini pula yang membuat Caleg dari Partai Demorkat Amiruddin, Ilhamsyah dari Partai Golkar (PG)  dan Prananda Surya Paloh dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengkhawatirkan pemuda Parmalim bakal golput di pemilu April nanti.
Golput singkatan dari golongan putih. Orang-orang yang ketika pemilu, mereka tidak mau menggunakan hak pilihnya. Perdebatan tentang terminologi golput kini terus bergulir dan selalu menghangat di kala musim pemilu. Ada yang menyebut golput termasuk tindakan orang bodoh. Tetapi tak sedikit yang menentangnya dengan mengatakan golput justru tanda orang cerdas politik. Argumentasi mereka, memilih untuk tidak memilih juga pilihan.
Tetapi benarkah Tunas Naimbaru Parmalim golput? Rinaldi Rumapea, Wakil ketua Tunas Naimbaru, organisasi pemuda Parmalim menjawab,” itu tidak benar!”
Sore itu Rinaldi mengenakan kemeja putih liris-liris. Lengan panjang. Ia memelihara jenggot agar bengkok ke samping. Berkacamata minus. Rinaldi sehari-hari bekerja sebagai guru fisika di Sekolah Markus, Kecamatan Helvetia.
Kaum muda Parmalim, kata Rinaldi, tidak apatis terhadap politik. Juga tidak buta politik. Tunas Naimbaru sama sekali anti-golput.  “Di dalam patik (hukum) Ugamo Malim dikatakan warga harus patuh pada raja. Dan di kehidupan kini, raja itu adalah pemerintah. Jadi kami tak bisa lepas dari (patik) itu. Siapa pun  pemimpinnya, kami akan patuhi. Itu sebabnya kami tak boleh golput,” jelasnya.
Jumlah pemilih pemula dari Tunas Naimbarudi Medan ada 78 orang. Tapi untuk seluruh kaum muda Parmalim yang aktif dan sudah punya hak pilih 384 jiwa. Di Medan ada lebih 100 Kepala Keluarga Parmalim. Populasi mereka se-Indonesia kini 5.324 jiwa. Mereka tersebar di hampir seluruh belahan Nusantara dengan populasi terbesar di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa).

Tunas Naimbaru bercengkerama di bawah pohon beringin kecil--foto dedy hutajulu

Parmalim Menurut Caleg
MEDIA center Amiruddin di Jalan Halat Medan, tak terlalu ramai sore itu. Amiruddin duduk mengawasi staff dari balik ruang berkaca. Mejanya penuh dokumen kampanye. Ia maju lagi menjadi calon legislatif Kota Medan dari partai berlambang mercy. Bersama relawan, Ia tengahbersiap berebut suara di daerah pemilihan (dapil) satu yang meliputi Medan Area, Medan Amplas, Medan Denai dan Medan Kota. Saat ini Amiruddin menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Medan.
Amiruddin di ruang media centernya, Jalan Halat, Medan--foto dedy hutajulu

Amiruddin menilai kelompok minoritas seperti Parmalim bakal golput di pemilu April nanti. Ia merasa Parmalim sangat tertutup dan menutup diri sehingga sulit diakses para caleg. “Mereka itu kurang berpendidikan. Apatis politik. Tertutup. Sulit dijangkau karena kurang terbuka dengan orang luar,”tukasnya.
Amiruddin sendiri mengaku belum pernah bertemu dengan komunitas Parmalim. Informasi soal Parmalim yang ia punya juga terbatas. “Kalau masalah Parmalim, saya tidak tahu. Dulu, orang ini yang setengah-setengah. Dia itu penganut ajaran. Bukan Kristen bukan Islam,” katanya.
Amiruddin membuka tangan bagi Parmalim. Ia tidak keberatan menyerap aspirasi komunitas ini. Di mata Amiruddin, suara Parmalim sangat potensial. “Kalau ada yang membawa saya ke mereka, ya, Saya mau,” ujarnya. Nada bicara Amiruddin pelan. Suaranya terdengar berat. Menandakan usianya yang kian senja.
Amiruddin menyarankan Parmalim membangun kelompok terstruktur seperti organisasi agar bisa memperjuangkan haknya. Selain ituParmalim harus membuka diri bagi orang lain agar bisa berdiskusi. Tujuannya agar aspirasi Parmalim bisa didengar para caleg.
Prediksi Parmalim bakal golput juga dilontarkan Ilhamsyah. Ia caleg DPRD Medan dari Partai Golkar. “Parmalim bersifat tertutup,” katanya.
Seperti Amiruddin, politisi partai kuning ini juga mengakui belum mengenal kelompok Parmalim. Ia bahkan belum pernah bertatap muka dengan seorang Parmalim. Karena itu, ia jujur mengaku jika ia sama sekali tidak tahu dimana Parmalim berada dan persebarannya.
Untuk program khusus bagi kaum Parmalim, Ilhamsyah mengatakan belum memikirkannya. Pasalnya ­­Parmalim merupakan kelompok yang belum terbuka dengan hal-hal di luar kepercayaan mereka. “Susah mengumpulkannya,” simpulnya.
Caleg DPRD provinsi dan DPR RI juga tidak banyak bicara soal Parmalim. Tahan M Panggabean caleg DPRD Provinsi Sumut dari Partai Demokrat bicara lugas soal kaum marjinal seperti nelayan, buruh, petani dan tukang becak. Namun saat disinggung soal Parmalim, Tahan mengatakan tidak banyak tahu soal komunitas agama orang Batak itu.
Tahan hanya menekankan fokusnya maju kembali sebagai calon anggota legislatif karena ia ingin berjuang agar anggaran dari APBN dan APBD untuk Sumut bisa bertambah besar. Jika jumlah dana lebih besar, ia yakin upaya membangun infrastruktur bisa lebih bermutu. Soal nasib Parmalim, katanya, aspirasi itu baru akan dipelajarinya.
Prananda Suraya Paloh, Caleg Nasdem di ruang makan di Jalan KH A Dahlan, Medan. Foto oleh Dedy Hutajulu
 Tokoh muda Partai Nasdem Prananda Surya Paloh secara terbuka mengakui tidak mengenal komunitas Parmalim. Ia bahkan baru mendengar istilah Parmalim saat diwawancarai. “Jujur saya belum pernah dengar Parmalim. Tapi mungkin suatu saat akan kita telusuri,” tutur putra pemilik Metro TV itu.
Biarpun tidak banyak tahu soal Parmalim, Prananda mengaku bersedia memperjuangkan hak kelompok minoritas ini. Raut wajah Prananda menajam saat diberitahu kalau Parmalim sampai hari ini kesulitan mendapatkan identitas. “Itu artinya hak-hak mereka telah dirampas negara,” kata calon anggota DPR RI dapil I itu.
 “Saya tidak ragu-ragu untuk membela (Parmalim) itu. Tapi cara membelanya banyak. Saya akan ajak teman se-partai. Teman se-fraksi. Bermitra beda partai, bahkah bila perlu lintas partai,” lanjutnya.
Jika Prananda memperjuangkan Parmalim lintas partai, maka Gregorius Maninga Lumbanbatu akan memperjuangkan Parmalim melalui APBD.  Gregorius Maninga Lumbanbatu, calon legislatif untuk DPRD Medan yang diusung Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Maninga mengatakan akan berjuang secara pribadi untuk Parmalim.
Jika terpilih menjadi anggota legislatif, dia juga akan memperjuangkannya melalui anggaran. Aspirasi Parmalim akan diupayakan masuk dalam nomenklatur anggaran pendapatan dan belanja Pemerintahan Kota Medan. Seperti Prananda, Maninga juga terus terang mengaku tidak tahu banyak soal Parmalim.
Pendapat lain disampaikan Wenila caleg dari PDI-P. Ia mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa bagi komunitas Parmalim jika ia tidak terpilih sebagai anggota DPRD Kota Medan. Ia baru bisa memikirkan program bagi Parmalim jika berhasil memenangi kursi parlemen. Meski sama sekali tak mengenal Parmalim, Wenila berjanji akan turut berjuang di garda terdepan.“Mereka (Parmalim) juga adalah saudara-saudara kita, sebangsa dan setanah air, yang hak-hak sipilnya harus diperjuangkan.” katanya.
Sebagai etnis Tamil, Wenila mengaku bisa merasakan diskriminasi yang dialami Parmalim. Ia juga pernah merasakan tersiksa batin sebagai kaum marjinal. Sebagai contoh, Wenila mengatakan perayaan Dipawali, Hari Raya umat Hindu belum semeriah Natal, Idulfitri, atau Imlek.“Begitu pula, guru-guru Agama Hindu di Medan bahkan Sumatera Utara nyaris tidak ada. Terang saja, etnis Tamil, benar-benar belum merasakan kesetaraan sebagai satu bangsa.” kata dia.
Kesetaraan yang dimaksud Wen adalah kesamaan kedudukan seperti termaktub dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika: berbeda tetapi satu."Saya sendiri tidak berjuang untuk etnis Tamil. Tapi juga Batak, Jawa, Cina, dan suku lain. Saya cinta Indonesia, " tutur  putri Karang Berombak, kelahiran Medan 14 September 1981 silam itu.
Mungkin satu-satunya kandidat legislatif yang lugas bicara soal Parmalim hanya  Parlindungan Purba. Anggota DPD RI yang sudah dua periode menjabat. Walau sudah dua periode, tapi Parlindungan mengaku belum bisa berbuat banyak untuk Parmalim. “Saya akui belum apa-apa. Tapi saya akan terus berjuang. Kan kerja saya legislasi. Banyak sekali,” jawabnya.
Parmalim  di mata Parlindungan Purba adalah suatu kelompok masyarakat yang cukup sakral dan punya tradisi tersendiri dalam memuji Tuhan. Jadi, kata dia, persoalan yang dihadapi Parmalim selama ini, belum diakuinya agama mereka di kartu penduduk. “Akibatnya hak-hak sipil mereka terampas,” ujarnya.
Tiga tahun lalu, kenang Parlindungan Purba lagi, ia pernah ikut acara adat si Pahalima yang diselenggarakan Parmalim. Di situlah Parlindungan Purba makin menyadari betapa hak-hak sipil kaum Parmalim tak boleh dibiarkan begitu saja.
 “Saya kan anggota legislagif. Nanti akan saya angkat lagi aspirasi ini sampai ke ranah nasional. Tapi perlu juga ada sentuhan dari Departemen Agama,” gagasnya.
Kritik Ahli
Minimnya pengetahuan dan pemahaman caleg tentang isu minoritas, menuai kritik dari sejumlah ahli. Dadang Darmawan dosen politik di Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan cara caleg memahami istilah minoritas masih sangat dangkal. Caleg memahami minoritas hanya sebagai kaum difabel (orang cacat) semata. Ia bahkan mengkritik keras tidak adanya perkembangan paradigma tentang isu minoritas di kalangan caleg. Ia menyebut bahwa memenuhi hak-hak sipil kaum marjinal seperti Parmalim sama penting dengan pemenuhan kelompok difabel.
Direktur Pusat Kajian Politik FISIP UI Sri Eko Budi Wardani juga menyayangkan ketidakmampuan para caleg menyerap aspirasi kaum minoritas. Ia menduga para caleg tidak tahu apa defenisi kaum marjinal atau minoritas. Dalam konteks pemilu, kaum-kaum yang suaranya dipinggirkan dan didiskriminasi seperti kaum difabel, kelompok perempuan, kaum miskin kota, serta komunitas kepercayaan seperti Parmalim adalah kelompok minoritas.
Padahal, kata Wardani, kaum marjinal punya kecerdasan politik tinggi. “Ini menandakan, pemerintah, para politisi dan caleg-caleg sama sekali belum memikirkan kaum marjinal,” ungkapnya.
Wartawan senior dari Medan Idris Pasaribu menyebut kaum marjinal sebagai rakyat yang sesungguhnya. Kelompok inilah yang harusnya diwakili para caleg. Jika tidak, sambungnya, para caleg tak layak jadi wakil rakyat. Idris menyebut, pemilih pemula apalagi dari kaum Parmalim hanya massa mengambang bagi kandidat.
Ia menuding, kegagalan KPU dan media yang menyebabkan munculnya massa mengambang. Padahal massa mengambang sejatinya rebutan kandidat atau partai politik yang mengusungnya.
Massa mengambang adalah istilah yang mucul di zaman Orde Baru (Orba). Istilah ini merujuk pada situasi dimana warga negara tidak berpartisipasi aktif dalam politik. Warga tidak memiliki pengetahuan, keterampilan dan alat politik yang cukup untuk memperjuangkan aspirasinya. Massa mengambang digagas pertama sekali oleh Ali Moertopo.
Menurut Idris banyak kandidat yang ikut pemilu bukan lahir dari kader partai. Mereka hanya para pengangguran yang mencari kerja. Kaum oportunis yang tidak tahu menghayati keluhuran politik. Tapi ingin duduk di kursi wakil rakyat. “Akhirnya mereka hanya jadi perpanjangan tangan partai, bukan lagi penyambung lidah rakyat,” kecamnya.
Sekretaris Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan Arief Wahyudi berharap para kandidat mampu menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan bermartabat serta menaati etika-etika politik yang ada. Sehingga tujuan kita berdemokrasi tercapai.
Kaum marginal, kata dia, tidak boleh lagi hanya sebagai jualan politik, dengan perhatian semu dan musiman seperti masa kampanye. Tetapi kaum marjinal harus menjadi fokus perhatian utama untuk menjamin adanya kesetaraan dan non diskriminasi.
Arief menyitir satu persoalan besar demokrasi kita hari ini. Yakni tertutupnya ruang dialog bagi kaum marjinal untuk menyampaikan aspirasinya. Bahkan untuk mengurus identitas sipilnya saja, kaum marjinal seperti menghadapi tembok. “Pemerintahlah yang terutama tidak menyediakan ruang dialog itu,” kata Arief.
Belum lagi kaum marjinal terbentur oleh peraturan perundang-undangan yang mengharuskan mereka mengubah keyakinannya demi mendapatkan identitas sipilnya. Itu nyata dari berbagai macam persoalan seperti bantuan pemerintah yang hanya fokus pada agama-agama mayoritas,” tudingnya.
Jangan Golput
Ajakan Memilih

Pengamat komunikasi Erix Hutasoit mengatakan angka golput pada pemilih pemula kelompok minoritas dapat ditekan. Guna memperkecil angkat golput maka kualitas demokrasi harus ditingkatkan dan partisipasi pemilih pemula diperluas. “Disini media massa punya tiga peran yaitu advocacy, social mobilization dan behavior change communication,” tukas peserta e-learning bidang komunikasi di RTI University, AS ini.
Peran advovacy media ditujukan untuk memberikan informasi dan memotivasi pemimpin politik baik partai politik dan penyelenggara pemilu agar menyediakan lingkungan yang mendukung bagi pemilih pemula terlibat dalam pemilu. Setelah lingkungan politik yang mendukung tersedia, maka seluruh pemilih pemuda harus dimobilisasi untuk berpartisipasi. Partisipasi ini termasuk melibatkan kelompok-kelompok minoritas seperti Parmalim.
“Selama ini kedua pihak saling salah memahami. Partai politik dan caleg menganggap Parmalim tertutup. Di sisi lain Parmalim menganggap partai politik dan caleg-calegnya tidak perduli. Padahal keduanya saling membutuhkan,” lanjutnya.
Di titik ini media memainkan peran keduanya yaitu social mobilization. Kampanye, sanggar kerja, pelatihan dan simulasi yang berhubungan dengan pemilu baiknya difokuskan di sekolah-sekolah, universitas dan tempat-tempat umum secara massif.
Peran terakhir media adalah menghubungkan kelompok-kelompok minoritas dengan institusi politik. Di sini media melakukan peran behavior change communication.  Dalam peran ini media menggagas terjadinya dialog dan kontak politik baik secara invidu maupun institusi.
“Pemilih pemula harus difasilitasi untuk terbiasakan berdialog dan berkomunikasi dengan elit partai politik atau caleg. Tujuannya tidak sekadar membekali pemilih pemula mendapat informasi yang cukup soal partai politik dan programnya, namun lebih dari itu adalah membangun kepercayaan dirinya untuk mampu mengambil keputusan sendiri,” terang Erix Hutasoit.
Erix Hutasoit mengatakan model pendidikan di Indonesia tidak memberikan kemampuan kepada siswa agar mampu menganalisis dan mengambil keputusan sendiri. Keterlibatan orang dewasa seperti guru dan orangtua sangat mendominasi cara siswa mengambil keputusan. Begitu pula saat mengambil keputusan politik di balik bilik suara, mereka biasanya mengonsultasikan pilihannya kepada orang dewasa.
“Pemilih pemula itu umumnya pelajar kelas 3 SMA atau semester awal kuliah. Mereka tidak terbiasa diberi tanggung jawab untuk memutuskan sendiri keputusan politiknya. Karena itu mereka harus dilatih untuk berani mengambil keputusan secara mandiri,”tambahnya.
Benget Silitonga, Komisioner KPU Sumut. Foto oleh Dedy Hutajulu
 Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga mengatakan pihaknya bekerja serius untuk menurunkan angka golput. Keseriusan itu ditunjukkan KPU dengan serius memperbaiki dan mengembangkan sistem data pemilih, termasuk menyinkronkan pendataaan manual dengan elektronik. KPU bahkan menggagas mekanisme pemutakhiran data lebih baik dari pemilu sebelumnya. Tiga strategi ditetapkan.
Pertama, pemutakhiran/penyempurnaan data pemilih termasuk akurasinya. Kedua, menyasar kepada lima sektor pemilih strategis dengan merekrut 25 orang “relawan demokrasi” dari lima segmen pemilih yakni pemilih pemula, kelompok agama, penyandang disabilitas dan kaum perempuan.
Terakhir bermitra dengan lembaga sipil, asing, dan media massa. Hasil bermitra adalah merekrut 30 orang presenter-presenter pemilu untuk penyedia informasi pemilu lewat media online. Para presenter itu direkrut dari murid SMA atau perguruan tinggi angkatan baru.
Data pemilih tetap di Provinsi Sumatera Utara versi KPU mendekati 10 juta (9.733.497) jiwa. Diprediksi 10 persen dari total penduduk adalah pemilih pemula (usia 17-19 tahun) yakni sekitar 1,7 juta (1.711.878) jiwa. Mereka inilah yang akan menyambangi tempat pemungutan suara pada 9 April. Pemilu di Sumut akan digelar di 4.108 TPS yang tersebar di 21 kecamatan dan 151 kelurahan 
Contoh Surat Suara

 
Pemilih pemula di FISIP USU belajar pemilu pada 11 Maret 2014 lalu
*Tulisan ini adalah salah satu pemenang penulisan ToR (Term of Reference) lomba menulis features yang diselenggarakan Yayasan KIPPAS dan didanai Uni Eropa dan Acted.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I