Lapangan Merdeka (Vukoraido) |
Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah.
Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa ini. Karena sejarah kita bukan sejarah tentang kapitalis, bukan tentang sejarah perparkiran, apalagi sejarah warung nasi,” ujarnya.
Lapangan Merdeka sendiri dengan segala bangunan di sekitarnya, dalam pandangan cerdas Dr Asmita Surbakti, Sejarawan dari USU, adalah aset yang bisa dipotensikan membangun ekonomi kota Medan, khususnya dalam pengembangan pariwisata budaya. Sebab, pariwisata budaya itu sendiri, katanya, adalah salah satu sarana untuk pelestarian budaya. Banyak bangunan bersejarah yang terbentang di sekitaran Lapangan Merdeka membentuk wajah kota Medan.
“Bangunan-bangunan itu menunjukkan, kalau disitu pernah ada kegiatan ekonomi, budaya, sosial dan politik masyarakat moderen tembakau di zaman kolonial Belanda. Ada nilai-nilai budaya dan sejarah yang dibawanya. Sejarah dan budaya itu melekat di dalam bangunan itu. Beserta potret masyarakat Medan di masa silam. Karena itu, Lapangan Merdeka sebagai jantung kota, tidak boleh dihancurkan,” pungkasnya.
Penghancuran Lapangan Merdeka dengan cara pendirian lahan parkir dan city cekin dan jembatan layang, menurut Sejarawan Unimed Dr Phil Ichwan Azhari, justru bagian upaya melenyapkan satu keping sejarah besar bangsa ini. Kata Ichwan, Lapangan Merdeka menyajikan banyak kisah heroik dan nilai-nilai sejarah yang patut dipertahankan. Salah satunya, kisah geliat perjuangan pemuda Indonesia di awal proklamasi kemerdekaan.
Dan monumen itu menunjukkan, betapa Medan juga punya andil besar dari sejarah hebat masa lalu, kala merebut kemerdekaan dari tangan kolonial. “Namun kini di altar monumen proklamasi itu, justru dibangun warung nasi milik PT kereta Api Indonesia. Sejarah telah digantikan dengan periuk nasi. Makna sejarah tergerus oleh persoalan perut dan hasrat monopoli,” pungkasnya.
Hamdari menegaskan kalau sejarah diubah, kita akan dianggap bukan warga negara, melainkan pendatang. Kita tidak lagi mandiri. Kedaulatan kita hilang.
Sebagaimana diterangkan Ichwan, monumen proklamasi itu merupakan sebuah sejarah besar bangsa ini. Itu sebuah awal kemerdekaan Indonesia menggeliat di Kota Medan, setelah kemerdekaan RI diproklamasikan di Vukoraido alias Lapangan Merdeka (teks proklamasi dibaca ulang oleh Muhammad Hassan, Gubernur Sumatera) dan suasana waktu itu, penjagaan dan pengamanan dikawal ketat oleh Ahmad Tahir, pahlawan Nasional, Dan berita kemerdekaan itu disiarkan oleh Domain, kantor berita Jepang.
“Untuk mengenang itulah, dibangun monumen proklamasi 1945 di Lapangan Merdeka Medan,” terang Muhammad Taufik Walhidayah, salah satu veteran.
Menurut Asmita, memang tidak selamanya bangunan-bangunan bersejarah tidak boleh diubah. Boleh diubah hanya jika hal itu menghambat pembangunan demi kemaslahatan rakyat. Dan itupun, sambungnya, perubahan hanya boleh diubah pada bagian permukaannya. “Tetapi jika pembangunan itu sampai mengganggu sejarah, itu tidakboleh,” tegasnya.
Jelang peringatan tujuh dekade Indonesia Merdeka, namun kemerdekaan berbangsa dan bernegara di kota Medan mulai hilang. Kemandirian berbangsa, kata Hamdani, masih jauh dari harapan. Pengkopak-kapikan lahan di sisi timur Lapangan Merdeka, adalah tanda sejarah bangsa ini telah dibelokkan, dan mulai dikubur pelan-pelan dan secara terang-terangan. Sejarah itu akan seperti debu diterbangkan angin. Tak ada jejak. Tak ada ingatan. Tak ada kenangan. “Dan kebajikan di masa lalu raib untuk selamanya,” kata Hamdani.
Ichwan turut remuk hati ketika memaparkan potongan-potongangambar-gambar tentang pengrusakan Lapangan Merdeka Medan dalam slidenya dihadapan ratusan mahasiswa Unimed, pada seminar bertopik “Menyelamatkan Lapangan Merdeka,” Sabtu (14/3) lalu. Ia teringat ujaran filosofis Bung Karno, “Jas Merah” alias jangan sekali-kalimelupakan sejarah. “Tetapi jasnya telah hilang. Tinggal Merahnya." Merah alias melupakan sejarah. Memunggungi monumen proklamasi berarti memunggungi sejarah. Dan itu sama saja dengan menghancurkannya.
Komentar