Langsung ke konten utama

Sheila Mahal Siregar: Pelukis Bersuara "Agnes Monica"

foto ini saya diambil dari blog Sheila Mahal Siregar
DUDUK sambil melukis di atas kanvas dengan kuas dan cat biasa dilakoni pelukis. Tapi, Bagaimana kalau melukis sambil bernyanyi dengan suara merdu, tanpa mengurangi cita rasa lukisan? Tidakkah itu sesuatu yang luar biasa? Dan itulah yang ditampilkan Sheila Mahal Siregar dalam demo lukis-nyanyi saat Pagelaran Lukisan Tunggal Pelukis Remaja di gedung Simpasri Jalan Soeprapto No 1-A Medan, Kamis (21/6).

Tangan putri semata wayang pasangan polisi Zulkarnaen Siregar-Dara Sucita Lubis itu lihai memainkan kuas di atas kanvas putih sambil melantunkan beberapa lagu. Salah satunya, lagu Agnes Monica "Matahariku". Suaranya merdu sekali.

Dan kanvas itu awalnya putih bersih. Kosong, tak bergambar. Kemudian cat merah dan kuning bergantian disapukan ke atasnya. Kuas terus menari-nari di atas kanvas dan sesekali dihentakkan mengikuti irama lagunya.

Tak kurang dari setengah jam, kanvas ‘disulap’ jadi sebuah lukisan pemandangan suasana sore di kala matahari terbenam di satu kota. Kuas baru berhenti menari tepat di saat musik benar-benar menandakan habis. Tak pelak, tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda apresiasi bagi Sheila. Kadisdik Kota Medan M Rajab Lubis dan Anggota DPR RI Chairuman Harahap merasa berbahagia menyaksikan pameran itu.

Spektakuler

Ya, suara yang merdu, lukisan yang indah, dan penampilan yang spektakuler dari seorang pelajar remaja adalah sesuatu yang sulit ditemukan di Medan. Betapa tidak, di tengah sepinya pameran lukisan di Medan, karya Sheila seperti secangkir air segar di oase gurun pasir karya seni di kota ini.

Selain berprestasi dengan segudang gelar juara lomba lukis tingkat sekolah, tingkat kota Medan, dan tingkat provinsi, Sheila juga sudah menunjukkan satu keberanian untuk berpameran tunggal yang patut diacungi jempol. Terang saja, di Medan, ini yang pertama. Pamerannya hari ini menjadi pelecut bagi generasi muda. Sekalian, karya yang ditorehkan Sheila diyakini mampu menggairahkan dunia seni lukis khusunya di kalangan pelukis muda di daerah dan kota, sekaligus jadi pendorong bagi para remaja di kota Medan agar mau meyalurkan bakatnya.

Yatim, guru lukisnya di Sanggar Lukis Rowo mengatakan, Sheila itu memiliki kemauan dan semangat dalam melukis. Meski memang diakuinya, ditinjau dari segi teknik, muridnya itu masih banyak kepincangan dalam karyanya. Tetapi, apalah artinya teknik tanpa karya. "Yang terpenting lukisan itu punya kekuatan.", katanya.

Benar, identitas seniman dinyatakan lewat karya-karyanya. Sebab, karya-karya itu mampu berbicara lebih banyak dan lebih tajam dari pada kata-kata. Jadi, identitas Sheila adalah lukisannya dan suaranya. Ia mengikat ide-idenya di dalam warna dan mengurungnya dalam kanvas.

Lewat pamerannya, siswi kelas 2 SMAN 2 Medan itu, kata Chairuman, "berhasil menghadirkan momen inspirasi" bagi generasi muda. Benar adanya, apa yang telah dilakukan Sheila, tak lain dan tak bukan adalah agar anak-anak muda zaman sekarang jangan lagi malu-malu, minder, dan pesimis untuk mengembanagkan bakat dan potensinya.

Bakat dan talenta itu pada hakikatnya menuntut untuk digali, dikembangkan, dan disalurkan secara optimal. Sehingga berguna bagi banyak orang. Selain melukis dan menyanyi, rupanya pecinta kuas dan cat itu juga pintar bermain piano. Dengan ketiga kelebihannya itu, Sheila diyakini bakal lebih mudah mengembangkan sayap di dunia seni. Bakatnya itu kini dilirik oleh Kadisdik Medan M rajab Lubis dan Dosen seni rupa Unimed.

Zulkarnaen, ayah Sheila yang tak pernah menyangka kalau ia dikarunia seorang putri multi-talenta, dengan senyum lebar mengatakan siap mendukung ke manapun anaknya itu memilih jalan hidup kelak. "Saya dukung dia ke mana saja" ungkapnya.



*Tulisan ini adalah milik Dedy Hutajulu dan sudah pernah terbit di koran Harian Analisa, 23 Juni 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P

Belajar Kelompok dan Karakter yang Dibangunnya

Belajar berkelompok melatih beragam keterampilan, seperti tanggung jawab, solidaritas, menghargai pendapat orang dan memprediksi pertanyaan serta menyiapkan sanggahan. Oleh Dedy Hutajulu SUASANA belajar di kelas 3 SMP Negeri 42 Medan, Jalan Platina 3 Kelurahan Titipan Kecamatan Medan Deli terasa heboh. Perdebatan sedang alot-alotnya soal topik Seleksi Alam. Pelajaran Biologi pagi itu diwarnai dengan debat dan baku sanggah. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan antara lima sampai enam orang. Tiap kelompok duduk dengan posisi melingkari. Baru saja Dhea Fisabila (14) tersenyum lega. Ia dan timnya baru saja kelar presentase yang diwarnai adu argumen dengan kelompok lainnya. Pengalaman itu, katanya, sangan mengesankan. Dhea mengaku, belajar berkelompok bukan sekadar mengupas topik Seleksi Alam, tetapi mempraktikkan cara memimpin rapat, bagaimana menghargai pendapat teman, belajar mengorganisir diskusi, memprediksi pertanyaan dari kelompok