Di abad 21, untuk bisa maju dan berkembang, kolaborasi menjadi kunci. Barangkali rumus itulah yang diterapkan banyak situs digital hari ini. Situs travelblog.id pun tak mau ketinggalan.
Oleh Dedy Hutajulu
DENGAN menyediakan platform, pemilik situs digital berbasis cerita perjalanan ini meyakini, akan banyak penulis sekaligus pelancong mau berbagi kisah. Didukung perkembangan jurnalisme partisipatif, dimungkinkan warganet bisa berkontribusi menyumbang pemikiran, pengalaman. Cerita-cerita itu bisa dituangkan dalam bentuk tulisan disertai foto, video maupun infografis. Sekalipun rewardnya berupa poin, namun yang paling dibutuhkan orang hanya sebuah pengakuan atas karyanya. Hadiah atau reward hanyalah bonus.
Pemilihan format digital memberi kesan situs ini akan menggaet kaum millenial, yang di dalamnya termasuk banyak penulis lepas maupun blogger. Dengan mengandalkan format tersebut, situs ini berpotensi menjulang dan diperhitungkan di blantika penulisan tanah air. Tentu saja, asal dikelola dengan serius, konsisten dan penuh dedikasi.
Apalagi, nama domain http://www.travelblog.id terbilang unik, menarik dan mudah diingat pembaca. Gambar logonya (berupa burung bangau terbang) juga gampang nempel di kepala dalam sekali melihat. Didukung pula landing page-nya yang langsung membawa mata ke artikel.
Dengan domain bernama travelblogid, fokus tulisan-tulisannya bisa diprediksi dan target pembacanya juga bisa ditebak. Katakanlah, orang-orang yang ingin jalan-jalan ke suatu daerah membutuh informasi soal lokasi, ragam kulinernya, kekayaan & keunikan seni-budayanya, dimungkinkan untuk merujuk situs ini. Rubrik yang tersedia juga sangat mendukung tagline situs ini. Diantaranya,, seperti rubrik jalan-jalan, kuliner dan seni-budaya.
Melibatkan publik sebagai penulis memberi manfaat besar bagi perkembangan situs itu sendiri sekaligus memberkati masyakat pembaca yang dilayaninya. Sebab, situs ini akan kaya informasi, raya gagasan dan cerita dari berbagai pelosok daerah. Belum lagi pola penulisannya yang beragam dan sudut pandang penulisnya yang tentu berbeda.
Artikel tentang dugong di pulau Alor, amat menarik karena kaya informasi. Poin ceritanya soal binatang mamalia langka yang mudah stress. Ada informasi baru yang disajikan penulisnya dan itu berguna bagi publik. Informasi itu sekaligus menjadi teguran dan peringatan bagi siapa saja yang datang ke Pulau Sikka atau pun Alor.
Model tulisan seperti ini layak untuk dikloning dan diperbanyak, karena sukses menunjukkan kekayaan dan keragaman flora dan fauna kita. Dengan tulisan begini, kita diingatkan untuk selalu memelihara alam, belajar menghargai mahluk hidup dan jangan mengusik kehidupan mereka.
Artikelnya bisa dibaca di sini:
http://www.travelblog.id/mawar-dugong-tampan-dari-alor/
Tulisan beginian mengajarkan kita bahwa manusia dan binatang dan tumbuhan bisa hidup berdampingan dan saling menjaga. Ini sebuah artikel yang tidak saja mengajak kita untuk jalan-jalan tetapi juga sukses menggugah kemanusiaan kita. Apalagi artikelnya disertai dengan empat lembar foto yang baku dukung dengan isi tulisan.
Berbeda dengan artikel-artikel lainnya, terasa berkepanjangan. Rerata artikel dalam situs ini 12 paragrap atau lebih dari lima kali scroll. Tulisan yang lebih dari tiga scroll sungguh membosankan. Mustinya jika fotonya banyak, katakanlah lebih dari tiga lembar, sebaiknya naskah tulisannya bisa dibikin pendek. Karena foto saja telah mendeskripsikan jutaan kata. Jika bsia usul, misalnya, ditetapkan aturan tulisan maksimal tujuh paragraph (sehingga tidak lebih dari tiga scroll untuk versi tampilan mobile.
Contoh naskah "Menyantap Lezatnya Bakso Cambah Malang". Judul artikel ini sudah benderang dengan diksi "lezat". Tidak perlu berpanjang-panjang sampai 14 paragrap. Terus format fotonya, tidak seragam. Sebaiknya foto diseragamkan, misalnya semuanya lanskap, bukan potrait. Apalagi kalau hanya sekadar foto semangkuk bakso. Ruang yang tidak penting dalam foto bisa dipangkas.
Memasukkan peta sebagai pendukung atau pandu bagi pembaca menarik sekali dan perlu. Termasuk juga informasi soal jam buka resto kulinernya. Itu membantu pembaca yang ingin mencari lokasi yang dituju. Namun beberapa artikel di situs ini belum menyajikan sesuatu yang lebih spesial. Misalnya, cerita humanis di balik usaha bakso, sejarah berdirinya usaha bakso itu, jatuh bangun usaha bakso. Publik tentu berharap, mendapatkan tulisan-tulisan segar yang bukan sekadar mampu menggugah lidah tetapi mengaduk-aduk perasaan. Bahkan bisa membangkitkan rasa penasaran pembaca untuk bertemu penjual baksonya, mengenalnya langsung sembari mencicipi baksonya. Pola penulisan naratif plus kemauan menginterviu memang diperlukan.
Liputan yang diangkat oleh channel History misalnya, memberi perspektif bagus. Bukan hanya soal kuliner tetapi sejarah lahirnya kuliner itu dan bagaimana pembuatan kuliner itu punya sejarah panjang dan ternyata terselip dalam celah DNA manusia. Model begituan bisa dijadikan contoh untuk karya-karya di travelblog.id
Satu kemewahan situs ini barang kali, karena mampu memuat banyak foto dan teks tulisannya berpanjang-panjang. Tulisan ini misalnya: http://www.travelblog.id/menjelajah-pantai-karangsong-pantai-berhutan-mangrove-di-indramayu/ termasuk bagus karena disertai dengan empat lembar foto. Dan foto-fotonya bagus-bagus. Sayang, artikelnya masih kepanjangan. Mustinya, tidak perlu sampai 12 paragraph. Tulisan yang panjang bisa dipecah menjadi dua atau tiga tulisan supaya pembaca lebih nyaman membaca.
Dan memproduksi video tentang jalan-jalan punya nilai jual tinggi. Apa yang dilakukan Micowendy, lewat video-videonya sungguh luar biasa. Di era vlogger ini, anak muda lebih menyukai karya audio-visual, karena mereka bisa menyaksikan seperti real apa yanh tersaji dalam video itu. Karena itu, narasi-narasi bisa disunting sedemikian rupa sehingga artikel lebih pendek namun isinya tetap kaya informasi. Penyunting punya kewenangan untuk memoderasi dan menyunting tulisan sehingga lebih memikat dan lebih berdaya gugah.
Saya percaya, travelblog.id ini punya peluang besar menjadi situs digital terbesar yang mengulas secara spesifik informasi jalan-jalan di Nusantara. Sekali, asal dikelola dengan baik. (*)
Oleh Dedy Hutajulu
DENGAN menyediakan platform, pemilik situs digital berbasis cerita perjalanan ini meyakini, akan banyak penulis sekaligus pelancong mau berbagi kisah. Didukung perkembangan jurnalisme partisipatif, dimungkinkan warganet bisa berkontribusi menyumbang pemikiran, pengalaman. Cerita-cerita itu bisa dituangkan dalam bentuk tulisan disertai foto, video maupun infografis. Sekalipun rewardnya berupa poin, namun yang paling dibutuhkan orang hanya sebuah pengakuan atas karyanya. Hadiah atau reward hanyalah bonus.
Pemilihan format digital memberi kesan situs ini akan menggaet kaum millenial, yang di dalamnya termasuk banyak penulis lepas maupun blogger. Dengan mengandalkan format tersebut, situs ini berpotensi menjulang dan diperhitungkan di blantika penulisan tanah air. Tentu saja, asal dikelola dengan serius, konsisten dan penuh dedikasi.
Apalagi, nama domain http://www.travelblog.id terbilang unik, menarik dan mudah diingat pembaca. Gambar logonya (berupa burung bangau terbang) juga gampang nempel di kepala dalam sekali melihat. Didukung pula landing page-nya yang langsung membawa mata ke artikel.
Dengan domain bernama travelblogid, fokus tulisan-tulisannya bisa diprediksi dan target pembacanya juga bisa ditebak. Katakanlah, orang-orang yang ingin jalan-jalan ke suatu daerah membutuh informasi soal lokasi, ragam kulinernya, kekayaan & keunikan seni-budayanya, dimungkinkan untuk merujuk situs ini. Rubrik yang tersedia juga sangat mendukung tagline situs ini. Diantaranya,, seperti rubrik jalan-jalan, kuliner dan seni-budaya.
Melibatkan publik sebagai penulis memberi manfaat besar bagi perkembangan situs itu sendiri sekaligus memberkati masyakat pembaca yang dilayaninya. Sebab, situs ini akan kaya informasi, raya gagasan dan cerita dari berbagai pelosok daerah. Belum lagi pola penulisannya yang beragam dan sudut pandang penulisnya yang tentu berbeda.
Artikel tentang dugong di pulau Alor, amat menarik karena kaya informasi. Poin ceritanya soal binatang mamalia langka yang mudah stress. Ada informasi baru yang disajikan penulisnya dan itu berguna bagi publik. Informasi itu sekaligus menjadi teguran dan peringatan bagi siapa saja yang datang ke Pulau Sikka atau pun Alor.
Model tulisan seperti ini layak untuk dikloning dan diperbanyak, karena sukses menunjukkan kekayaan dan keragaman flora dan fauna kita. Dengan tulisan begini, kita diingatkan untuk selalu memelihara alam, belajar menghargai mahluk hidup dan jangan mengusik kehidupan mereka.
Artikelnya bisa dibaca di sini:
http://www.travelblog.id/mawar-dugong-tampan-dari-alor/
Tulisan beginian mengajarkan kita bahwa manusia dan binatang dan tumbuhan bisa hidup berdampingan dan saling menjaga. Ini sebuah artikel yang tidak saja mengajak kita untuk jalan-jalan tetapi juga sukses menggugah kemanusiaan kita. Apalagi artikelnya disertai dengan empat lembar foto yang baku dukung dengan isi tulisan.
Berbeda dengan artikel-artikel lainnya, terasa berkepanjangan. Rerata artikel dalam situs ini 12 paragrap atau lebih dari lima kali scroll. Tulisan yang lebih dari tiga scroll sungguh membosankan. Mustinya jika fotonya banyak, katakanlah lebih dari tiga lembar, sebaiknya naskah tulisannya bisa dibikin pendek. Karena foto saja telah mendeskripsikan jutaan kata. Jika bsia usul, misalnya, ditetapkan aturan tulisan maksimal tujuh paragraph (sehingga tidak lebih dari tiga scroll untuk versi tampilan mobile.
Contoh naskah "Menyantap Lezatnya Bakso Cambah Malang". Judul artikel ini sudah benderang dengan diksi "lezat". Tidak perlu berpanjang-panjang sampai 14 paragrap. Terus format fotonya, tidak seragam. Sebaiknya foto diseragamkan, misalnya semuanya lanskap, bukan potrait. Apalagi kalau hanya sekadar foto semangkuk bakso. Ruang yang tidak penting dalam foto bisa dipangkas.
Memasukkan peta sebagai pendukung atau pandu bagi pembaca menarik sekali dan perlu. Termasuk juga informasi soal jam buka resto kulinernya. Itu membantu pembaca yang ingin mencari lokasi yang dituju. Namun beberapa artikel di situs ini belum menyajikan sesuatu yang lebih spesial. Misalnya, cerita humanis di balik usaha bakso, sejarah berdirinya usaha bakso itu, jatuh bangun usaha bakso. Publik tentu berharap, mendapatkan tulisan-tulisan segar yang bukan sekadar mampu menggugah lidah tetapi mengaduk-aduk perasaan. Bahkan bisa membangkitkan rasa penasaran pembaca untuk bertemu penjual baksonya, mengenalnya langsung sembari mencicipi baksonya. Pola penulisan naratif plus kemauan menginterviu memang diperlukan.
Liputan yang diangkat oleh channel History misalnya, memberi perspektif bagus. Bukan hanya soal kuliner tetapi sejarah lahirnya kuliner itu dan bagaimana pembuatan kuliner itu punya sejarah panjang dan ternyata terselip dalam celah DNA manusia. Model begituan bisa dijadikan contoh untuk karya-karya di travelblog.id
Satu kemewahan situs ini barang kali, karena mampu memuat banyak foto dan teks tulisannya berpanjang-panjang. Tulisan ini misalnya: http://www.travelblog.id/menjelajah-pantai-karangsong-pantai-berhutan-mangrove-di-indramayu/ termasuk bagus karena disertai dengan empat lembar foto. Dan foto-fotonya bagus-bagus. Sayang, artikelnya masih kepanjangan. Mustinya, tidak perlu sampai 12 paragraph. Tulisan yang panjang bisa dipecah menjadi dua atau tiga tulisan supaya pembaca lebih nyaman membaca.
Dan memproduksi video tentang jalan-jalan punya nilai jual tinggi. Apa yang dilakukan Micowendy, lewat video-videonya sungguh luar biasa. Di era vlogger ini, anak muda lebih menyukai karya audio-visual, karena mereka bisa menyaksikan seperti real apa yanh tersaji dalam video itu. Karena itu, narasi-narasi bisa disunting sedemikian rupa sehingga artikel lebih pendek namun isinya tetap kaya informasi. Penyunting punya kewenangan untuk memoderasi dan menyunting tulisan sehingga lebih memikat dan lebih berdaya gugah.
Saya percaya, travelblog.id ini punya peluang besar menjadi situs digital terbesar yang mengulas secara spesifik informasi jalan-jalan di Nusantara. Sekali, asal dikelola dengan baik. (*)
Komentar