Jika di Indonesia pemilu terjadwal secara periodik, di Australia kapan saja bisa dilaksanakan. Begitu ada pengumuman dari pemerintah, Australia Electoral Commission (AEC) harus menggelarnya dalam kurun waktu 33 sampai 58 hari.
MENGGELAR pemilu dalam waktu pendek, tentu saja bukan perkara mudah. KPU Australia ini musti sigap mengurus ragam kebutuhan pemilu. Mulai perkara rutin seperti logistik, sampai topik yang ribet semacam validasi daftar pemilih dan pengelolaan isu-isu politik terkini. Karena itu AEC sudah bekerja jauh sebelum hari pemilu diumumkan.
Khusus urusan validasi daftar pemilih dan pengelolaan isu politik, AEC sangat mengandalkan riset. Riset digunakan guna mencari cara terbaik meningkatkan partisipasi pemilu dan mendongkrak kualitas demokrasi.
Salah satu temuan riset yang digunakan AEC adalah memanfaatkan media jejaring sosial (medsos) dan digital. Medsos kini menjadi salah satu alat strategis untuk membantu edukasi kepemiluan dan mendongkrak tingkat partisipasi publik.
Pemanfaatan medsos seperti FB dan twitter begitu kentara. Bahkan penggunaan website dengan item link terus meningkat. Publik Australia secara umum sudah sangat melek literasi. Mereka bahkan bisa mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu lewat internet.
Melalui riset yang dilakukan Commisioner’s Advisory Board for Electoral Research (CABER/Dewan Riset Pemilu Australia) diperoleh fakta-fakta dan data kuat bahwa publik Australia rutin memanfaatkan medsos dan media digital untuk membantu kepemiluan. CABER menemukan kecenderungan 7-8 persen pemilih enggan menggunakan hak pilihnya saat pemilu. Dari jumlah itu sebagian besar didominasi generasi muda yang suka fesbukan dan twiteran.
Dengan temuan CABER ini, AEC memanfaatkan medsos untuk menjaring pemilih pemula dan mendorong mereka mendaftar secara online melalui website AEC. “Lalu kami usulkan agar penggunaan sosmed diterapkan sebagai metode strategis untuk merangkul kaum muda dan penduduk asli Australia,” terang Prof. Ian McAllister dari Australia National University (ANU).
Setelah diterapkan hasil riset itu, cukup banyak aktivitas yang terjadi di Facebook AEC. Dari sini, kami temukan berbagai strategi dan tantangan menggunakan kanal tersebut. “Pada dasarnya,” ungkap Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC, Phil Diak, “Kami merasa apa yang kami lakukan ini cukup sukses, tapi dari sini kami belajar bagaimana merangkul kaum muda penduduk asli Australia lewat sosial media, sebagaimana hal ini tak pernah terpikirkan dan tak terjangkau oleh strategi lama.”
Penggunaan media website sendiri bagi lembaga AEC, kata Phil Diak, sudah diterapkan di negeri kanguru sejak tahun 2013. Bahkan sistem pendaftaran untuk masuk DPT sudah online. Bisa diakses dimana saja, dan sistem pemutakhirannya juga online. "Semua itu dikerjakan demi menggaransi setiap warga Australia dapat memperoleh hak politiknya," ujarnya.
Prof. Ian Mc Allister dari Australia National University (ANU) mengatakan penggunaan medsos sebagai hasil riset telah disetujui pihak pemerintah dan parlemen Australia. Bahkan kini rekomendasi program itu sudah berjalan. Risetnya dimulai sejak pemilu federal 2013 silam berakhir. Ian adalah salah satu anggota Dewan Riset Kepemiluan Australia.
Anggota parlemen Australia juga memandang medsos sebagai alat strategis mengedukasi dan mengampanyekan pemilu. Termasuk dalam menyebarluaskan hal-hal berbau kegiatan para parlemen sehingga bisa diketahui publik. "Medsos seperti fesbuk kami pakai karena 50 persen warga kami memakainya. Fesbuk bahkan menyediakan ruang interaksi sehingga publik bisa bertanya, berkomentar mengeritik, memaparkan data-data dan fakta. Selama ini, aspirasi bersifat satu arah. Tetapi dengan medsos ada interaksi antara publik dengan parlemennya. Ini sangat membantu pemilu kami," ungkapnya.
Kini AEC berfokus pada bagaimana cara mengelola media jejaring sosial (medsos), misalnya bagaimana cara memberi respon kepada publik lewat fesbuk. AEC juga belajar dari pengalaman lembaga-lembaga di negara lain tentang bagaimana durasi waktu penyelenggaraan pemilu, apakah hasilnya langsung diumumkan ataukah menunggu beberapa hari. Sesudah itu mereka harus memilih format yang konsisten untuk menyebar-luaskan informasi. Semuanya satu format dan satu pesan yang sama untuk dikirim ke publik.
Intinya, bagaimana mengelola satu media yang sama untuk tujuan tersebut. Salah satunya, bagaimana menghadapi jika terjadi konflik atau perdebatan sengit di sosmed, agar jangan sampai terjadi kegaduhan berkepanjangan, tetapi bisa diredakan dengan baik nan elegan. Sehingga konflik terselesaikan bukan membesar. (*)
Komentar