Oleh Dedy Hutajulu
Prioritas KPU
Australia adalah memastikan semua warganya aktif memilih. Untuk mewujudkan itu,
penelitian menjadi amat penting dilakukan. Hasil riset mereka menunjukkan,
riset berhasil memengaruhi pengambilan keputusan pembuatan kebijakan nasional
kepemiluan.
SEBAGAI bukti, riset terbaru AEC (Australia Electoral Commission) berhasil mempengaruhi minimal tiga
hal. Pertama, partisipasi publik dalam kepemiluan terbukti lebih efektif. Kedua,
proses pemilu menjadi lebih baik, mulai dari desain hingga pelaksanaan
pemilihan, bahkan pengalokasian sumber daya manusia lebih efektif. Terakhir,
pengembangan anggaran lebih rasional.
Melalui riset, AEC mencoba menganalisa sistem pendaftaran
pemilih, sumber daya manusianya, serta jenis dukungan apa yang bisa dikerjakan
untuk menanggulangi pendaftaran yang membludak. Hasil analisis tersebut
membantu proses pendaftaran menjadi lancar sekaligus orang-orang yang bekerja
menyelenggarakan pemilu di tingkat daerah dilatih dengan baik untuk melakukan
pekerjaannya seoptimal mungkin.
Secara terus-menerut AEC menganalisa sistem pendaftaran,
partisipasi publik, kelompok golput dan suara tidak sah serta halangan-halangan
yang mereka hadapi sebagai pihak penyelenggara pemilu. Semua hasil penelitian
itu efektif meyakinkan publik tentang penyelenggaraan pemilu yang lebih baik.
Dan dampak lanjutannya, partisipasi publik meningkat tajam (mencapai 93 persen)
dibanding pemilu federal sebelumnya. Sebab, warga lebih terakomodir dalam
menggunakan hak pilihnya secara benar.
Untuk tujuh persen suara tidak sah, AEC meneliti apa biangnya
dan menemukan jawaban bahwa suara tidak sah ini muncul dari daerah yang masih
terisolasi (remote area). Persoalan ini, kata Phil Diak, Direktur Komunikasi
dan Pendidikan AEC, harus segera diatasi.
Ada beberapa daerah yang kebanyakan penduduknya dihuni warga
yang bukan berpenutur asli bahasa Inggris, sehingga mereka kebingungan dengan
sistem pemilu. Hasil riset itu kemudian melahirkan solusi antara lain, AEC
menyediakan informasi yang sesuai dengan budaya dan bahasa yang tepat.
AEC berinisiatif menyediakan informasi kepada para calon
pemilih. Cara lain yang ditempuh, dengan membangun komunikasi dengan warga di
daerah terisolasi tersebut secara komprehensif dan berkesinambungan, baik
berkirim surat maupun dengan melibatkan penduduk setempat menjadi staf AEC.
Melibatkan mereka sebagai bagian dari tim jauh lebih efektif untuk
menjangkau komunitas-komunitasnya.
Staf AEC yang bertugas menjangkau kelompok di daerah marjinal
rajin mengunjungi komunitas-komunitas warga, menggelar pelatihan dan diskusi
seputar kepemiluan. Bahkan, AEC mendesain sebuah peta yang mampu mengetahui
lokasi-lokasi di daerah terisolasi yang belum terjangkau, yang sudah dikunjungi
atau sudah diberi pelatihan. Peta ini hasil modifikasi google map yang
diolah, tim Andrew, dan kawan-kawan, ahli IT yang bekerja untuk AEC.
Mekanisme Riset
AEC menggelar riset terkait seputar kepemiluan. Riset dan
penelitian dimulai sejak satu periode pemilu berakhir. Begitu pemilu usai, AEC
langsung bekerja keras mengumpulkan data dan fakta-fakta penyebab pemilu
mengalami kendala.
Dari hasil temuan itu, AEC kemudian menyusun rekomendasi.
Rekomendasi yang disertai riset itu kemudian dikirim ke pihak donor, yang
sebelumnya diunggah di website AEC. Lalu Parlemen akan mengunduh laporan serta
rekomendasi tersebut untuk mereka pelajari. Parlemen akan memutuskan apakah
rekomendasi itu dipakai atau tidak.
Sepasti diterangkan di muka, parlemen sah-sah saja memakai atau
tidak hasil riset AEC tersebut. Parlemen juga kerap menggelar publik hearing
(dengar pendapat) sebelum sidang paripurna. Parlemen bisa mengadopsi sebagian
atau keseluruhan hasil riset AEC, tetapi bisa juga menolaknyamentah-mentah dan
memilih menggunakan hasil kajiannya sendiri atau riset pihak lain.
Transparan
Kadang kala, ada rekomendasi AEC yang berseberangan dengan
keputusan parlemen, karena parlemen memiliki data dan kajian sendiri, tetapi
prosesnya harus selalu transparan. Namun sebagai catatan, AEC tak pernah
mendapat intimidasi dari pihak manapun atas hasil risetnya.
Sebab, segala sesuatu yang mereka terbitkan selalu berdasarkan
data dan fakta berbasis riset. Setelah itu parlemen kemudian mengirimkannya ke
pemerintah. Rekomendasi dari parlemen ke pemerintah cukup lama, bisa makan
waktu setahun lebih untuk mendapatkan keputusan finalnya.
Besarnya tugas dan tanggung jawab AEC tampaknya tak sebanding
dengan jumlah krunya. Hanya mengandalkan delapan orang profesional, AEC tampil
sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang kredibel. Krunya datang dari berbagai
jenis keterampilan, staf berkemampuan teknis, tiga orang ahli analisis, satu
ahli demografi dan lainnya psikolog yang bertugas menganalisis perilaku
pemilih.
Namun kinerja AEC sejauh ini mendapat kepercayaan besar dari
publik. Hal ini tentu saja dari kinerja briliannya sekaligus hasil-hasil
risetnya yang disetujui parlemen dan pemerintah sehingga ketika diterapkan,
mendapat sambutan hangat dari rakyat.
Dua Riset Terbaru
Ada dua rekomendasi AEC terbaru yakni riset pendaftaran langsung
(direct enrollment) sekaligus pemutakhiran langsung (direct update)
data pemilih dan riset penggunaan media jejaring sosial dan media digital.
Kedua hasil riset tersebut diusulkan oleh CABER alias Dewan Riset
Kepemiluan. CABER sendiri bekerjasama untuk AEC. Menurut Prof. Ian McAllister,
Direktur CABER, dewan riset kepemiluan ini bukanlah hal baru. CABER juga ada di
Inggris dan Negara lain.
Ian memandang, dewan riset kepemiluan punya posisi sangat
penting dan strategis. Diantaranya melakukan survei yang disirkulasikan di
tengah masyarakat lalu menganalisisnya sehingga keputusan-keputusan yang dibuat
pemerintah tidak lagi berdasarkan kepentingan politik atau sekadar
opini/dugaan.
Ia menegaskan, dewan riset tidak ditujukan untuk mengelola grand atau dana hibah, melainkan
mengerjakan penelitian-penelitian yang menunjang kepemiluan lebih bermutu.
Topik risetnya sesuai dengan rencana jangka panjang AEC, yakni bagaimana
meningkatkan keterlibatan pemerintah, masyarakat dan penyelenggara pemilu untuk
menciptakan pemilu berkualitas.
Sebagai contoh, Ian menjelaskan bagaimana ia dan timnya di CABER
fokus meneliti tentang topik suara tidak sah, siapa yang datang ke TPS untuk
memilih dan mengapa mereka memilih serta kaitannya dengan pendidikan politik.
Ada tiga alasan kenapa Ian fokus pada area pemetaan suara tidak
sah. Pertama, terangnya, Australia punya suara tidak sah terbesar kedua setelah
Meksiko. Kedua, fakta bahwa memilih itu adalah kewajiban bagi warga negara Australia.
Terakhir, kondisi Australia yang punya sejumlah populasi bukan penutur asli
bahasa Inggris.
CABER juga melihat, suara golput juga muncul dari generasi muda.
Bahkan generasi muda terdeteksi enggan mendaftarkan diri dan ‘malas’ datang ke
TPS. Menurut Ian, warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih otomatis tidak
memilih. Mereka tidak memilih berarti tidak mau datang ke TPS.
Riset menunjukkan penyebab warga malas memilih adalah sistem
pendaftaran yang masih kaku dan terbilang jadul. Karena itu, pihaknya
mencarikan solusi bagaimana supaya warga lebih mudah mendaftar.
Rekomendasi itu kemudian disampaikan ke AEC, Salah satu
rekomendasinya yakni dengan meningkatkan penggunaan sosial-media untuk
menjangkau warga yang enggan mendaftar secara manual. Data menunjukkan, (lebih
50 persen) kaum muda sangat doyan dengan gawainya.
Selain pembenahan sistem pendaftaran, menurut riset CABER,
ditemukan bahwa orang cenderung datang ke TPS karena dilatari pengetahuan
politik yang baik. Maka AEC menggelar survei besar-besaran. AEC menyebar lembar
kuisioner ke publik. Salah satu butir pertanyaan dari enam yang diajukan
mendapat skor hanya 2,5. Artinya nilai tentang pengetahuan kepemiluannya sangat
rendah.
CABER berkesimpulan, selama 20 tahun pendidikan, ternyata pengetahuan
politik generasi muda tidak mengalami peningkatan. Ian mengatakan, ini bukan
salah sistem pendidikan di sana, tetapi disebabkan bagaimana informasi tentang
kepemiluan itu masih belum kuat dipahami anak-anak.
Dari riset tersebut, terang Ian, ditemukan dua metodologi yang
dinilai tepat, yakni pertama, parpol punya peran sangat besar dalam
menyelenggarakan pendidikan politik. Kedua, anak-anak perlu diberikan
pendidikan kepemiluan secara khusus.
Pendidikan kepemiluan tidak lagi cukup hanya dari guru PPKN,
tetapi juga dengan mengakses internet, organisasi kepemudaan, obrolan
sehari-hari dan diskusi di tempat nongkrong. Namun, program bekennya, AEC
menyelenggarakan pendidikan kepemiluan. Pendidikan kepemiluan ini dilaksanakan
di pusat pendidikan kepemiluan bertempat di salah satu ruang old parliement house, gedung parlemen
lama.
Vidi dan Renee Fallah sedang mencoba sistem simulasi pendaftraan online di Pusat Pendidikan Kepemiluan Asutralia, Canberra/foto oleh Dedy Hutajulu |
Early Voting Day
Pemilu di Australia juga unik. Selain wajib hari Sabtu,
undang-undang Australia juga memberikan solusi jitu bagi orang atau kelompok
tertentu untuk memilih di early voting day, artinya memilih duluan.
Orang-orang yang mungkin berhalangan pada hari H pemilihan disebabkan alasan
yang kuat, berhak menggunakan hak pilihnya terlebih dahulu, misalnya tahanan,
petugas rumah sakit atau dokter yang berhalangan di hari H, orang yang sakit
parah, orang yang mau pindah rumah ke daerah lain, atau hendak bepergian jauh,
maka dibuka TPS selama tiga minggu. Orang-orang yang berhalangan ini bisa
memilih di masa tiga minggu itu.
Ada kecenderungan hari ini bahwa warga Australia lebih menyukai
memilih pada early voting day. Kini CABER juga sedang meneliti fenomena
ini. “Kalau riset kita nanti mendapatkan data yang mendukung,” ujar Ian Mc
Allister, “bisa jadi akan kita rekomendasikan agar pemilihan bukan lagi satu
hari tetapi bisa tiga minggu.”
Semua kerja keras ini, jelas Phil Diak, dikerjakan karena AEC
punya prioritas: memastikan semua warga Australia bisa memilih. AEC juga harus
bisa memastikan SDM untuk menyelenggarakan pemilu tersedia cukup. (*)
Komentar