Langsung ke konten utama

Sitting Day dan Menteri Tak Bermeja




Oleh Dedy Hutajulu

Ada hal-hal unik yang saya temukan di gedung Parlemen Australia. Hal-hal yang kelihatan konyol, namun amat besar faedahnya. Ini menarik utnuk dipelajari.

 
betuk gedung parlemen di mudeum demokrasi Australia. Foto oleh dedy hutajulu
SIDANG paripurna Parlemen pagi itu berlangsung alot.  Pemerintah Australia baru saja mengumumkan anggaran 2015, tadi malam. Pengumuman itu jadi isu kontroversial dan perhatian luas publik Australia.

Saya berkesempatan menyaksikan jalannya sidang tersebut. Saya bias melihat Perdana Menteri Tony Abbot dan kabinetnya baku-bantah dan baku-cecar dengan pihak oposisi. “Anda datang di waktu yang tepat,” kata Juru Bicara Australian Electoral Commission (AEC) atau Lembaga penyelenggara pemilu Australia, Phil Diak.

Awalnya saya tidak mengerti apa maksud kata-kata Phil Diak tersebut. Namun setelah keluar dari ruang sidang, saya tanya lagi. Dan ia kemudian menjelaskan bahwa hari itu sedang berlangsung agenda “Sitting Day”. Saya penasaran apa itu sitting day?

Phil menjelaskan, Sitting day merupakan satu agenda wajib bagi anggota Parlemen di Australia untuk hadir di gedung The House of Refresentatif. Di hari sitting day mereka duduk bersama merembukkan hal-hal mendesak tentang persoalan publik. “Mereka wajib hadir. Mereka benar-benar rapat hingga tuntas. Bila perlu sampai tak pulang ke rumah. Kalau jalan rembuk tak menemui hasil, digelar voting,” ujarnya.

Sitting day  ini benar-benar dipatuhi anggota parlemennya. Dan hasil rembuknya diumumkan langsung esok harinya di website parlemen sehingga bias diakses publik. Agenda sitting day berlangsung 60 kali dalam setahun. Di luar agenda sitting day, mereka bisa di dapil-nya, semacam reses.

Tak Bermeja
Hal konyol lain yang saya saksikan di gedung parlemen tersebut, Australia adalah, ternyata untuk setiap sesi rapat ada batasan waktu berbicara bai tiap anggota parlemen. Mereka dibatasi bicara baik dalam bertanya atau menjawab/membantah dalam 60 detik. Tidak boleh lewat. Hanya perdana menteri yang punya waktu berbicara lebih lama.

Monitor  waktu dalam ruang sidang menjadi penentu. Bentuknya persis seperti stopwatch. Bentuknya persegi dan ukurannya sebesar bantalan telepon rumah. Benda itu diltempelkan di bagian tepi ruangan, di sisi kiri dan kanan. Dengan adanya alarm tersebut, setiap anggota parlemen yang bicara persis seperti ikut kuis tebak-tebakan.

Pembatasan ini membuat sidang lebih dinamis. Diskusi berjalan lancar. Saling bergantian antara pihak oposisi dan koalisi. “Hampir setiap sidang memang seperti ini,” kata Phil Diak.

Brian Leadbetler, pemandu di museum demokrasi Australia menyatakan pembatasan waktu itu diberlakukan, karena pernah ada kejadian seorang politisi berbicara dari pukul 10 malam sampai jam 5 pagi. Karena kapok, parlemen akhirnya mengeluarkan kebijakan pembatasan waktu berbicara saat sidang. Ini berbeda jauh dengan kebiasaan anggota DPR kita yang doyan bicara panjang–panjang dan berlama-lama. Salam pembuka dan pengantar saja bisa lebih dari lima menit. Belum lagi bicara. Dan kalau sudah bicara bisa tak berhenti-berhenti.

Hal lain yang mencuri perhatian saya adalah, tidak adanya meja untuk para menteri kabinet yang mengikuti rapat. Dalam formasi tempat duduk ruang rapat yang membentuk letter U, para menteri duduk di barisan depan. Tidak ada meja untuk mereka. Jadi saya lihat bagaimana para menteri duduk berderet satu bangku, dan mereka terpaksa memangku kertas atau bahan-bahan rapat yang mereka bawa. Saya juga lihat para menteri selama rapat meletakan minuman dan makanan di lantai, di bawah bangku.

Jika butuh bahan tertentu atau sekadar minuman, para anggota parlemen memberikan kode tangan, sehingga seorang dara muda yang khusus bertugas untuk itu datang menghampiri. Petugas tersebutlah kemudian yang akan mondar-mandir mengopi bahan, mengantarnya, menyajikan minuman yang dipesan dan semacamnya, sehingga anggota parlemen tidak akan meninggalkan ruangan sebelum sidang berakhir.

Tentu ini hal yang agak unik bagi saya yang sudah terbiasa melihat bagaimana mewahnya pelayanan terhadap pejabat-pejabat kita. Tapi sekali lagi, informasi ini, kata Phil Diak, bukan untuk membanding-bandingkan pemerintahan Australia dengan Indonesia. “Tentu ada sejumlah perbedaan mendasar, yang membuat cara-cara unik di Australia dengan di Indonesia. Apa yang kalian saksikan ini hanya sekadar berbagi pengetahuan dan pengalaman. Bukan untuk membeda-bedakan,” pungkas Phil Diak. (*)









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P