Langsung ke konten utama

Pendidikan Politik Aussie

Pemilu di Australia bukan urusan orang dewasa semata. Siswa sekolah dasar juga boleh ikut mencoblos.

media belajar pemilu rancangan Jody (foto oleh dedy hutajulu)

JODY meletakkan lima karton kecil bertuliskan nama-nama buah di lantai. Karton itu mewakili nama-nama kandidat yang akan dicoblos dalam simulasi pemilu. Ia begitu bersemangat mendemonstrasikan bagaimana cara memilih kandidat dalam pemilu. Murid-murid juga sama antusiasnya.

Guru berambut gonjes itu sangat bersemangat dan menguasai materinya. Ia begitu enerjik. Model active learning (pembelajaran aktif) dipraktikkannya di ruangan itu. Anak-anak benar-benar seperti berada di TPS (Tempat pemungutan suara). Padahal, itu hanya sebuah demonstrasi sederhana yang dilangsungkan di gedung NEEC (National Electoral Education Center) atau Pusat Pendidikan Kepemiluan, di Canberra, Australia.

Sebelum demonstrasi, anak-anak diajak menonton di ruang teater. Menerawang sejarah lahirnya kepemiluan, siapa tokoh-tokoh penting dalam sejarah lahirnya Australia hingga bagaimana jatuh bangunnya demokrasi di negeri Kanguru itu. Usai nonton, anak-anak dibawa ke ruang lain. Sebuah ruangan yang mampu memuat tiga puluh anak. Di ruangan ini, anak-anak belajar sendiri bagaimana mendaftarkan diri dengan menggunakan komputer. Sistem daftar online tersedia, dan layar komputer semuanya layar sentuh.

Ada banyak publikasi yang bisa dibaca anak-anak. Ada juga panduannya langsung di layar komputer itu. Asyiknya, progam daftar online itu juga diisi dengan game. Anak-anak seperti bermain-main saat mendaftarkan diri. Game-nya dirancang sesuai kebutuhan anak-anak. Usai mendaftarkan diri, anak-anak digiring ke ruang pusat pembelajaran. Di ruang inilah Jody memberikan kesempatan demonstrasi ke pada anak-anak tentang apa yang baru saja mereka pelajari.

Lima anak dipilih maju sebagai kandidat, lalu lainya ada yang berugas sebagai petugas pemungut suara. Satu kota suara diletakkan di bagian tepi ruangan. Lalu anak-anak mengambil kertas suaranya dan pergi ke TPS untuk menentukan pilihannya sebelum kertas suara itu dimasukkan ke kotak. Semua anak terlibat dan mereka senang dengan pola pembelajaran itu. Mereka kemudian sama-sama menghitung suara. Tugas Jody adalah mengawal kerja anak-anak dengan tetap memahamkan cara menghitung suara versi suara absolut.

Memang, sistem penghitungan suara ala Australia agak ribet, namun Jody mampu menciptakan model pembelajaran yang sederhana. Model itu membuat anak sekolah dasar  paham bagaimana cara menghitung suara dengan benar. Mereka begitu aktif selama proses pembelajaran itu. Tak satu anak pun yang pasif. Mereka semua terlibat aktif. Akhirnya mereka tahu tata cara pemungutan suara.

Direktur Pendidikan dan Komunikasi Australia Electoral Commission (AEC), Phil Diak mengatakan, Pusat Pendidikan Kepemiluan (NEEC) dibangun khusus untuk menggencarkan pendidikan politik ke masyarakat, khususnya anak-anak sekolah. Ide pembangunan gedung tersebut berasal dari hasil riset. Mereka menilai pendidikan politik harus diberikan secara khusus sejak masih sekoalah dasar. AEC merasa pendidikan kewarganegaraan (PKN) tidak cukup hanya diberikan di sekolah, tetapi perlu ada penguatan, karena itulah gedung tersebut didirikan.

NEEC tidak hanya digunakan untuk bermain pemilu-pemiluan. Programnya tidak akna berjalan jika tidak ada “guru-guru politiknya”. Guru-guru itu dilatih dan ditingkatkan mutunya di sini. Dan gedung hanya bagian sekundernya. AEC lebih fokus pada penyediaan dan peningkatan mutu guru.

AEC merekrut guru-guru muda yang cakap mengajar untuk didik dan dilatih menjadi pendidik dan pengajar di pusat pendidikan kepemiluan itu. Ada saringan yang ketat di sana. Dan pelatihan kepada guru di gedung tersebut harus bisa digaransi punya pemahaman kuat tentang kepemiluan serta keterampilan mengajarkannya ke murid-murid.

Pemerintah Australia juga menyediakan subsidi ke pada sekolah-sekolah untuk mengadakan kunjungan studi ke pusat pendidikan kepemiluan ini. Besarannya bervariasi, tergantung jauh-dekatnya sekolah yang mau berkunjung ke gedung tersebut. Sekolah dari negara bagian yang lebih jauh mendapat subsidi yang lebih besar. Banyak sedikitnya siswa juga dipertimbangkan. Rata-rata
subsidinya sebesar 200 dolar per siswa.

Paket kunjungan sudah diatur. Paket wajib adalah mengunjungi Pusat Pendidikan Kepemiluan (NEEC), Gedung Old Parliament House dan Australian War Memorial. Ketiganya berada di Canberra (ibukota). Selebihnya bisa memilih tempat kunjungan lain (sesuai selera), seperti gedung parlemen yang baru atau kebun binatang. Untuk mendapatkan kesempatan berkunjung, sekolah wajib memesan gedung-gedung tersebut jauh-jauh hari, minimal setahun sebelumnya. Biasanya pukul 8 sampai 4 sore jadwalnya sudah penuh. Materi belajarkan dalam durasi 50 menit. Cukup.

Lalu kenapa sekolah diwajibkan ambil sepaket? Alasannya, ketiga gedung tersebut menyediakan materi tentang sejarah demokrasi Australia. Jika ingin mengenal Australia lebih baik dan utuh, ketiga gedung itu perlu dikunjungi karena di sanalah narasi-narasi tentang sejarah Australia sejak awal hingga sekarang terekam dengan baik.

Dengan adanya subsidi, pemerintah Australia menunjukkan sikap pro demokrasi. Pemerintah ingin menjamin generasi mudanya mendapatkan pendidikan politik yang baik dan sehat. Mereka juga ingin generasi penerusnya memahami sejarah jatuh bangunnya demokrasi di negeri itu. Sungguh suatu sikap amat bijak dari negara yang peduli dengan pendidikan politik bagi anak-anak sekolah sejak dini. Tak heran jika pemilu adalah even terbesar dengan memakan dana terbanyak pula dari segala macam even yang ada di sana. Pemilu, suatu momen paling menentukan di sana.

Jody membersihkan papan tulis usai simulasi hitung suara (foto oleh Dedy Hutajulu)

Saking terskemanya kegiatan di pusat pendidikan kepemiluan tersebut, rombongan guru dari berbagai negara telah belajar ke sini. Bahkan kata Phil Diak, guru-guru asal Kathmandu, Nepal telah berhasil membangun gedung serupa setelah mereka belajar khusus kepemiluan dari Australia. Pusat pendidikan kepemiluan itu dibangun demi memajukan demokrasi di Nepal.

Pertanyaan berikutnya, mengapa pusat kepemiluan Australia ini berhasil mendorong Negara lain untuk belajar kepemiluan bahkan sampai mendirikan gedung serupa? Prof. Ian Mc Allister, pakar politik dari Australia National University menjawab, ada beberapa variasi dalam penyampaian metode pembelajaran di gedung tersebut tersebut. Pendidikan kepemiluan ini dirancang khusus untuk memberikan kesempatan bagi para pengajar dengan murid bertemu tatap muka membicarakan tentang pemilu.

Dan ini bagian dari program yang lebih besar yakni selain menyasar murid, sekaligus guru-guru agar lebih profesional dalam mengajarkan kepemiluan di sekolah. “Ini bagian kerja kami dalam mengajarkan pendidikan sipil. Ini juga sudah bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Tentunya semua ini butuh waktu untuk dapat menjangkau semua negara bagian,” sela Phil Diak.

anak-anak sekolah dasar mengantre untuk mendapatkan kertas suara dalam simulasi memilih di Pusat Pelatihan Kepemiluan Australia, Canberra. (Foto oleh Dedy Hutajulu)

Untuk pusat pendidikan kepemiluan, ada survei untuk guru-guru dan anak yang berkunjung. Butir pertanyaannya tentang apa pendapat mereka atas pengalaman mengunjungi pusat pendidikan kepemiluan tersebut. Apa bahan-bahan dan metodologi yang digunakan instrukturnya. Sekolah yang berkunjung ke gedung pusat pendidikan kepemiluan (NEEC), sekaligus dibawa ke gedung Old Parliament House dan Australian War Memorial. Kunjungan ini memang didesain terintegrasi dan dipusatkan di kota Canberra.

Dalam merekrut guru, terang Phil Dhiak, AEC menjaring kaum muda yang punya kualifikasi sebagai guru. Tapi harus yang bekerja paruh waktu. Orang-orang yang sesuai persyaratan itu kemudian dilatih dan digembleng bagaimana supaya terampil membelajarkan kepemiluan ke anak-anak sekolah. Setelah dirasa sudah matang, barulah mereka diterjunkan mengajar di gedung pusat pendidikan kepemiluan. Tetapi mereka selalu dievaluasi terkait proses pembelajaran yang dilakukannya di kelas. Guru-gurunya bahkan dilatih dan diakreditasi sehingga kompetensi dan kredibilitasnya diakui. Materi deksripsinya mesti sama untuk memastikan pelajaran tersebut tersampaikan dengan baik kepada anak-anak,” pungkas Phil Diak. (*)

Renee Fallah menunjukkan kepada Mas Vidi (simulasi) cara mendaftarkan diri dalam sistem online kepemiluan di Australia (Foto oleh Dedy Hutajulu)

Sistem pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih dibikin online (Foto oleh Dedy Hutajulu)

pintu masuk ke National Electoral Education Centre, Canberra, Australia (Foto oleh Dedy Hutajulu)

ruang masuk utama simulasi pendaftaran menjadi pemilih (Foto oleh Dedy Hutajulu)


Old Parliament House Australia di kota Canberra (Foto oleh Dedy Hutajulu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P