Oleh: Dedy Hutajulu
Setelah melihat langsung karya-karya anak jalanan yang tergabung dalam komunitas The Bamboes, aku baru sadar, ternyata anak jalanan itu kaya kreativitas. Di dinding studio musik kantor KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) Jalan Stella III, Medan, Jumat (7/6) terpampang beberapa syair lagu ciptaan para anak jalanan. Lagu-lagu itulah yang sering dibawakan Grup The Bamboes tiap kali diundang manggung ke mana-mana.
The Bamboes lahir di era ‘95. Diasuh oleh KKSP hingga hari ini. Dari penuturan Alley, nama akrab Sofyan Adli, grup asuhannya itu sudah menggubah lebih 200 syair lagu. Sekian banyak dari syair itu telah mereka bawakan dalam panggung-panggung besar dan kecil bahkan sudah beberapa kali keluar masuk hotel.
Sebagian sudah direkam dalam cakram padat dan diedarkan hingga ke beberapa daerah. Bahkan telah sampai ke telinga warga Canada dan Malaysia, dua negeri yang berjarak ribuan kilo dari Medan.
Selain terampil mencipta lagu, kru The Bamboes juga piawai bermain musik dengan alat musik sampah. Apa itu alat musik sampah? Sulit menjelaskannya.
Sederhananya begini. Grup Bamboes melihat gergaji bukan sebatas alat pemotong kayu tetapi juga bisa dijadikan penghasil melodi yang kemudian mereka gunakan sebagai alat musik bernama biola gergaji.
Besi segitiga juga bukan sekadar besi. Bamboes menjadikannya triangle semacam perkusi yang terbuat dari kawat besi tebal yang dimodifikasi dengan potongan-potongan aluminium dengan pemukul dari besi juga.
Ada tamborin, ada juga galon agua, sendok, panci, baskom, drum pecah, pipa bekas, dan macam-macam yang semuanya bisa menghasilkan nada. Sekadar menghasilkan nada tidaklah kreatif. Kekreativan grup musik yang diawaki anak jalanan ini terlihat dari kemahiran mereka memadukan nada untuk mencipta harmonisasi.
Tak heran, dari sekian banyak lagu, hampir-hampir seluruhnya bisa mereka mainkan dengan harmonisasi lewat alat musik sampah. Ini yang kubilang kreatif. Syair lagu mereka tentu saja tak kalah kreatif. Simaklah yang satu ini.
“Dulu...
waktu aku bangun pagi lalu
buka jendela
terlihat hamparan padi
Kini...
Waktu aku buka mata
lalu membuka jendela
mataku terbentur tembok
-tembok gedung
Syairnya menohok hati kita, manusia kota, manusia moderen yang mengagungkan pembangunan di atas segalanya hingga sawah yang dulu menjernihkan mata saat bangun pagi kini digusur tembok-tembok gedung.
Kita kini hidup di zaman serba egois, yang mementingkan diri. Pesan inilah yang kutangkap dari kejernihan berpikir anak jalanan dalam syairnya yang notabene mereka hidup dalam kerasnya kota, tercebur larut dalam ingar-bingar jalanan.
Lebih menarik lagi, The Bamboes sangat solid. Rasa memiliki dan rasa kekeluargaan mereka kuat. Mereka saling membahu. Jika di jalanan terjadi kemacetan, dan tidak ada polisi, mereka sigap membantu menguai kemacetan tanpa pamrih. Maka, stigma negatif yang dialamatkan ke mereka kurasa tidak tepat.
Kekreativan, solidaritas, kekeluargaan dan kemauan berkarya yang mereka miliki modal cukup untuk sukses. Hanya saja kompetisi terlalu kencang. Apalagi stigma bagi mereka terlalu kentara. Karena itu, potensi mereka ini perlu digali dan diasah agar maksimal agar mereka siap bersaing dan tidak terdepak dari kompetisi.
Untuk memaksimalkan potensi itu, pendidikan menjadi jawaban.
Belum lagi dari segi usia, mereka dominan di bawah 18 tahun, sudah tentu masuk kategori anak. Apalagi UUD 1945 menggaransi mereka lewat pasal 34, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara.
Sayangnya, hak untuk mendapatkan akses pendidikan seluas-luasnya bagi anak jalanan di kota Medan-dan kota besar lainnya, masih sulit.
Tak heran tiap tahun jumlah anak jalanan terus meningkat. Padahal, di jalanan berbagai macam bahaya mengancam anak-anak. Dan pemicu anak-anak ini turun ke jalan sejauh ini, dua: akibat masalah kultur dan ekonomi keluarga.
Kultur keluarga yang tidak berpihak ke anak memaksa anak lari dari rumah lalu mereka berkeliaran di jalanan. Orangtua yang tak mampu secara ekonomi juga memaksa anak untuk ambil bagian dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari.
Celakanya. Anak yang turun ke jalan ini minim pendidikan sehingga mereka labil dan mudah terikut arus. Mereka rentan dengan godaan serta ancaman dari banyak pihak. Mereka belum bisa menentukan arah hidup. Kelabilan inilah yang kerap dimanfaatkan para preman. Para anak jalanan dipaksa mengamen atau berjualan rokok serta mengemis lalu hasil kerja keras anak-anak ini harus disetor sebagai upeti bagi kepala preman.
Kelabilan juga menjadi bumerang bagi anak-anak yang tak bisa mengambil sikap tegas untuk menolak menceburkan diri dalam dunia malam dan prostitusi.
Alley mengaku, seorang dari anggotanya telah menjadi pelacur, lantaran tuntutan ekonomi. Ia tidak bisa menahan anggotanya itu agar tidak menjadi pelacur, tapi ia kuasa mengintervensi ekonomi si anak. Maka dengan remuk hati ia terpaksa melepasnya. “Sebagian lagi, ada yang jadi penjahat, pencuri. Kami tak bisa naif dengan itu,” kata Alley lagi.
Pengakuan Alley menunjukkan ancaman bagi anak jalanan sangat besar. Anak jalanan sulit sekali melepas diri dari kebiasan lama karena pendidikan mereka yang rendah. Ditambah lagi kesetaraan sampai hari ini belum bisa mereka rasakan. Mereka masih dianggap sampah masyarakat. Mereka masih dipandang beban oleh kaum pemerintah.
Tak heran jika Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan gemar menghalau mereka, bukannya mencarikan jalan keluar kehidupan mereka.
Alley sendiri yang sejak ‘95 merangkul anak-anak jalanan ini, telah berulang kali menghadapi kegagalan. Telah berulang kali makan hati mengubah pola pikir anak jalanan ini. Ini jelas tidak mudah.
Karena itu, intervensi ke anak jalanan lewat pendidikan serta akses kesehatan mesti diupayakan secara komprehensif dan terus menerus. Pendidikan bagi mereka tidak harus formal. Pelatihan seperti workhsop kepemimpinan, pelatihan bermain musik, studi banding ke kampus-kampus, belajar fotografi dan teknik berjualan juga jauh lebih mendarat untuk menjawab kebutuhan mereka.
Mereka jelas butuh sekolah, tapi ekonomi keluarga serta kultur keluarga dua hal utama yang harus dibenahi. Jika ekonomi keluarganya sudah lebih baik, kata Alley anak jalanan ini bakal lebih mudah diarahkan. Dan ini bisa menekan angka anak jalanan yang tiap tahun pertumbuhannya pesat.
Pelatihan dan sejumlah workshop, kata Alley, sangat menolong anak-anak jalanan. Dari pelatihan yang mereka gelar, potensi anak-anak jalanan tergali maksimal. Ada yang terampil bermusik, mencipta lagu, bikin puisi, dan menyanyi. Asyiknya, media bermusik dan semacamnya, terang Alley, hanya sarana untuk membangun karakter anak.
“Hal tersulit dari anak jalanan adalah meredam emosi mereka yang meledak-ledak. Karena itu, karakter mereka harus diubah. Dididik pelan-pelan dan sabar,” ujarnya.
Pendidikan kareakter bagi anak jalanan tentu mesti berbeda pendekatannya. Tidak bisa disamakan dengan anak-anak lain yang tidak di jalanan. Anak jalanan butuh perangkulan dan perhatian ekstra. Kedua, jika kultur keluarga sehat, anak akan betah di rumah.
Selama ini, kultur keluarga yang tak ramah anak mendorong anak untuk kabur dari rumah lalu berkecimpung di jalanan. Sebab di sana mereka tak lagi berhadapan muka dengan keluarga mereka yang mereka benci. Namun jika kedua hal itu juga belum cukup.
Orang tua mesti inisiatif menarik kembali anaknya dari jalanan. Penarikan anak kembali ke rumah akan membesarkan hati mereka.
Lewat secuil ulasan ini, marilah kita tidak lagi melihat anak jalanan sebagai sampah masyarakat melainkan kita terima mereka setara dengan kita, bagian dari keluarga kita. Dan asyiknya, mereka juga bisa berkarya, berprestasi dan kita mesti mendukungnya.
Setelah melihat langsung karya-karya anak jalanan yang tergabung dalam komunitas The Bamboes, aku baru sadar, ternyata anak jalanan itu kaya kreativitas. Di dinding studio musik kantor KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) Jalan Stella III, Medan, Jumat (7/6) terpampang beberapa syair lagu ciptaan para anak jalanan. Lagu-lagu itulah yang sering dibawakan Grup The Bamboes tiap kali diundang manggung ke mana-mana.
The Bamboes lahir di era ‘95. Diasuh oleh KKSP hingga hari ini. Dari penuturan Alley, nama akrab Sofyan Adli, grup asuhannya itu sudah menggubah lebih 200 syair lagu. Sekian banyak dari syair itu telah mereka bawakan dalam panggung-panggung besar dan kecil bahkan sudah beberapa kali keluar masuk hotel.
Sebagian sudah direkam dalam cakram padat dan diedarkan hingga ke beberapa daerah. Bahkan telah sampai ke telinga warga Canada dan Malaysia, dua negeri yang berjarak ribuan kilo dari Medan.
Selain terampil mencipta lagu, kru The Bamboes juga piawai bermain musik dengan alat musik sampah. Apa itu alat musik sampah? Sulit menjelaskannya.
Sederhananya begini. Grup Bamboes melihat gergaji bukan sebatas alat pemotong kayu tetapi juga bisa dijadikan penghasil melodi yang kemudian mereka gunakan sebagai alat musik bernama biola gergaji.
Besi segitiga juga bukan sekadar besi. Bamboes menjadikannya triangle semacam perkusi yang terbuat dari kawat besi tebal yang dimodifikasi dengan potongan-potongan aluminium dengan pemukul dari besi juga.
Ada tamborin, ada juga galon agua, sendok, panci, baskom, drum pecah, pipa bekas, dan macam-macam yang semuanya bisa menghasilkan nada. Sekadar menghasilkan nada tidaklah kreatif. Kekreativan grup musik yang diawaki anak jalanan ini terlihat dari kemahiran mereka memadukan nada untuk mencipta harmonisasi.
Tak heran, dari sekian banyak lagu, hampir-hampir seluruhnya bisa mereka mainkan dengan harmonisasi lewat alat musik sampah. Ini yang kubilang kreatif. Syair lagu mereka tentu saja tak kalah kreatif. Simaklah yang satu ini.
“Dulu...
waktu aku bangun pagi lalu
buka jendela
terlihat hamparan padi
Kini...
Waktu aku buka mata
lalu membuka jendela
mataku terbentur tembok
-tembok gedung
Syairnya menohok hati kita, manusia kota, manusia moderen yang mengagungkan pembangunan di atas segalanya hingga sawah yang dulu menjernihkan mata saat bangun pagi kini digusur tembok-tembok gedung.
Kita kini hidup di zaman serba egois, yang mementingkan diri. Pesan inilah yang kutangkap dari kejernihan berpikir anak jalanan dalam syairnya yang notabene mereka hidup dalam kerasnya kota, tercebur larut dalam ingar-bingar jalanan.
Lebih menarik lagi, The Bamboes sangat solid. Rasa memiliki dan rasa kekeluargaan mereka kuat. Mereka saling membahu. Jika di jalanan terjadi kemacetan, dan tidak ada polisi, mereka sigap membantu menguai kemacetan tanpa pamrih. Maka, stigma negatif yang dialamatkan ke mereka kurasa tidak tepat.
Kekreativan, solidaritas, kekeluargaan dan kemauan berkarya yang mereka miliki modal cukup untuk sukses. Hanya saja kompetisi terlalu kencang. Apalagi stigma bagi mereka terlalu kentara. Karena itu, potensi mereka ini perlu digali dan diasah agar maksimal agar mereka siap bersaing dan tidak terdepak dari kompetisi.
Untuk memaksimalkan potensi itu, pendidikan menjadi jawaban.
Belum lagi dari segi usia, mereka dominan di bawah 18 tahun, sudah tentu masuk kategori anak. Apalagi UUD 1945 menggaransi mereka lewat pasal 34, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara.
Sayangnya, hak untuk mendapatkan akses pendidikan seluas-luasnya bagi anak jalanan di kota Medan-dan kota besar lainnya, masih sulit.
Tak heran tiap tahun jumlah anak jalanan terus meningkat. Padahal, di jalanan berbagai macam bahaya mengancam anak-anak. Dan pemicu anak-anak ini turun ke jalan sejauh ini, dua: akibat masalah kultur dan ekonomi keluarga.
Kultur keluarga yang tidak berpihak ke anak memaksa anak lari dari rumah lalu mereka berkeliaran di jalanan. Orangtua yang tak mampu secara ekonomi juga memaksa anak untuk ambil bagian dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari.
Celakanya. Anak yang turun ke jalan ini minim pendidikan sehingga mereka labil dan mudah terikut arus. Mereka rentan dengan godaan serta ancaman dari banyak pihak. Mereka belum bisa menentukan arah hidup. Kelabilan inilah yang kerap dimanfaatkan para preman. Para anak jalanan dipaksa mengamen atau berjualan rokok serta mengemis lalu hasil kerja keras anak-anak ini harus disetor sebagai upeti bagi kepala preman.
Kelabilan juga menjadi bumerang bagi anak-anak yang tak bisa mengambil sikap tegas untuk menolak menceburkan diri dalam dunia malam dan prostitusi.
Alley mengaku, seorang dari anggotanya telah menjadi pelacur, lantaran tuntutan ekonomi. Ia tidak bisa menahan anggotanya itu agar tidak menjadi pelacur, tapi ia kuasa mengintervensi ekonomi si anak. Maka dengan remuk hati ia terpaksa melepasnya. “Sebagian lagi, ada yang jadi penjahat, pencuri. Kami tak bisa naif dengan itu,” kata Alley lagi.
Pengakuan Alley menunjukkan ancaman bagi anak jalanan sangat besar. Anak jalanan sulit sekali melepas diri dari kebiasan lama karena pendidikan mereka yang rendah. Ditambah lagi kesetaraan sampai hari ini belum bisa mereka rasakan. Mereka masih dianggap sampah masyarakat. Mereka masih dipandang beban oleh kaum pemerintah.
Tak heran jika Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan gemar menghalau mereka, bukannya mencarikan jalan keluar kehidupan mereka.
Alley sendiri yang sejak ‘95 merangkul anak-anak jalanan ini, telah berulang kali menghadapi kegagalan. Telah berulang kali makan hati mengubah pola pikir anak jalanan ini. Ini jelas tidak mudah.
Karena itu, intervensi ke anak jalanan lewat pendidikan serta akses kesehatan mesti diupayakan secara komprehensif dan terus menerus. Pendidikan bagi mereka tidak harus formal. Pelatihan seperti workhsop kepemimpinan, pelatihan bermain musik, studi banding ke kampus-kampus, belajar fotografi dan teknik berjualan juga jauh lebih mendarat untuk menjawab kebutuhan mereka.
Mereka jelas butuh sekolah, tapi ekonomi keluarga serta kultur keluarga dua hal utama yang harus dibenahi. Jika ekonomi keluarganya sudah lebih baik, kata Alley anak jalanan ini bakal lebih mudah diarahkan. Dan ini bisa menekan angka anak jalanan yang tiap tahun pertumbuhannya pesat.
Pelatihan dan sejumlah workshop, kata Alley, sangat menolong anak-anak jalanan. Dari pelatihan yang mereka gelar, potensi anak-anak jalanan tergali maksimal. Ada yang terampil bermusik, mencipta lagu, bikin puisi, dan menyanyi. Asyiknya, media bermusik dan semacamnya, terang Alley, hanya sarana untuk membangun karakter anak.
“Hal tersulit dari anak jalanan adalah meredam emosi mereka yang meledak-ledak. Karena itu, karakter mereka harus diubah. Dididik pelan-pelan dan sabar,” ujarnya.
Pendidikan kareakter bagi anak jalanan tentu mesti berbeda pendekatannya. Tidak bisa disamakan dengan anak-anak lain yang tidak di jalanan. Anak jalanan butuh perangkulan dan perhatian ekstra. Kedua, jika kultur keluarga sehat, anak akan betah di rumah.
Selama ini, kultur keluarga yang tak ramah anak mendorong anak untuk kabur dari rumah lalu berkecimpung di jalanan. Sebab di sana mereka tak lagi berhadapan muka dengan keluarga mereka yang mereka benci. Namun jika kedua hal itu juga belum cukup.
Orang tua mesti inisiatif menarik kembali anaknya dari jalanan. Penarikan anak kembali ke rumah akan membesarkan hati mereka.
Lewat secuil ulasan ini, marilah kita tidak lagi melihat anak jalanan sebagai sampah masyarakat melainkan kita terima mereka setara dengan kita, bagian dari keluarga kita. Dan asyiknya, mereka juga bisa berkarya, berprestasi dan kita mesti mendukungnya.
Komentar