Langsung ke konten utama

Ulos Tenun dan Nasib Penenun

Oleh: Dedy Hutajulu

JARI-jari tangan Rosmina Panjaitan (42), lincah dan lihai menisik benang empat warna ke dalam barisan-benang hitam dan orange yang jadi kanvas ulos yang akan ditenunnya. Pola bintang-bintang hijau dan tulisan HORAS MA DIHAMU mulai tampak.

Suara ketak-ketuk dari pijakan kakinya disambut hentakan papan penyisir benang saat benang empat warna rampung disisip, dan disemarakkan gerak taropong—sejenis jarum raksasa khusus untuk tenun ulos Batak—yang melesat bolak-balik di antara benang kanvas menjadi tontonan asyik. 

Suara desir air dari pancuran dinding kaca dibelakang kerja Rosmina, membikin kesan serasa sedang tinggal di desa. Tempat kerja wanita bersuami marga Pandiangan sekaligus ibu tiga anak ini hanyalah sebuah stan seukuran 2x3 meter. Letaknya dipojok pameran kreativitas, di Lapangan Merdeka, Jumat (26/4).

Bekerja serius membikin Rosmina lupa waktu. Hingga pukul setengah tiga sore, ia belum juga santap siang. Ia baru menyelesaikan separuh bagian. Gulungan ulos di kayu pejal di bagian bawah latar, tampak mulai rapat-padat. Tampak ia butuh konsentrasi untuk menyusun pola-pola motif yang sesuai dengan desain ulos Ragi Hotang.

Meski belum makan, semangat Rosmina tak merosot. Makin menanjak sore, pengunjung kian ramai. Ada yang sekadar melihat-lihat, ada juga yang membeli.

Sembari meladeni pertanyaan pengunjung yang penasaran, ia terus bekerja. Dua potografer koran lokal tak mau ketinggalan. Mereka berlomba mengabadikan keseriusan Rosmina menyelamatkan karya budaya asli Sumatera Utara ini dalam beberapa frame poto.

Wanita yang sudah 20 tahun menggeluti dunia tenun ini menuturkan, ulos hingga hari ini kurang diminati. Hal itulah yang membuatnya susah hati. Ia melihat, ternyata ulos tenun hanya dipakai saat ada pesta-pesta adat. Selanjutnya dilemarikan.

Lebih miris lagi, ternyata kesejahteraan penenun seperti Rosmina belum terjamin. Di tempatnya bekerja, di sebuah Workshop di Jalan Pasar Merah Medan, ia diupah Rp 1,4 juta per bulan. Padahal, harga ulos tenun ukuran panjang dua meter minimal Rp 300 ribu per helai.

Dan Rosmina bisa menenenun ulos sehelai dalam setengah hari. Benang yang dibutuhkan untuk satu ulos juga murah. “Cuma seratus ribu,” katanya.

Rosmina mengakui, ia tak lagi punya alat tenun. Sebelumnya ada satu tapi dijualnya untuk keperluan keluarga. Harga alat tenun minimal Rp 3 juta. Tentu mahal bagi Rosmina yang pendapatannya sehari tak seberapa. Sedang suaminya bekerja sebagai peniup seruling di pesta-pesta adat Batak di Medan. “Order musik juga jarang,” sambungnya,”jadi kami belajar mencukupkan diri.”

Saat mendengar kabar dari Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IX Sumut-Aceh, Hari Utomo bahwa BI melirik tenun ulos, ia sangat gembira. “Tahun ini, kita akan buka bengkel tenun,” ujar Utomo. “Tepatnya,” sambung Suti Masniari Nasution, Divisi Ekonomi Moneter Khususnya Pemberdayaan sektor Riil dan UKM BI Sumut, “akhir triwulan ketiga.”

Bengkel atau sekolah tenun gratis ini diperuntukkan bagi para pengrajin dan orang yang berminat menenun. “Siapa saja boleh asal berkomitmen untuk memproduksi ulos tenun secara rutin,” ujar Utomo. Workshop itu menjadi tempat pelatihan juga bagi remaja-pelajar serta bagi masyarakat awam.

Di bengkel tenun ini, pihak BI Sumut tak sekadar memproduksi ulos tenun tetapi juga melirik komodifikaso fashion dari ulos tenun. Karya komodifikasi ini diharapkan mampu makin melejitkan popularitas budaya lokal Sumut di kancah dunia sekaligus menambah nilai jual. Komodifikasi fashion yang sudah mereka pikirkan antara lain, jas, jaket, dompet, kemeja, dan tas. Seluruhnya bahannya dari kain ulos. “Gunanya,” terang Utomo, “semata demi melestarikan budaya bangsa.”

Lebih lanjut, Utomo mengatakan, alasan BI Sumut melirik kain tenun karena ingin Budaya Sumut makin terkenal dan dikenal semua orang. Ia melihat, tiap tahun permintaan karya seni hasil komodifikasi kain ulos tenun begitu deras datang dari pusat (Jakarta) bahkan luar negeri. “Kita tidak ingin momen ini diambil oleh bangsa asing.”

Komodifikasi barang dari kain tenun ulos ini memang bukan sembarangan. Hari Utomo mengakui itu. Tapi dia mengatakan, hal itu sudah mereka pikirkan. “Kita juga tidak berani melanggar hal-hal yang dianggap sakral oleh adat. Karena itu, kita terlebih dahulu akan berdiskusi, meminta pendapat dan masukan dari para penatua terhadap rencana ini,” sahutnya.

Bagi Rosmina, bengkel/workshop komodifikasi ulos tenun itu diharapkan mampu menjawab kegelisahan hatinya. Betapa berharganya kain ulos tenun. Betapa hebatnya dulu nenek moyang Batak merancangnya hingga menjadi mahakarya yang patut dilestarikan. Dan berharap BI Sumut tak sekadar menggadang-gadang isu ekonomi kreatif. Tetapi juga menjunjung hal-hal filosofis dari selembar ulos tenun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P