Oleh: Dedy Hutajulu
JARI-jari
tangan Rosmina Panjaitan (42), lincah dan lihai menisik benang empat
warna ke dalam barisan-benang hitam dan orange yang jadi kanvas ulos
yang akan ditenunnya. Pola bintang-bintang hijau dan tulisan HORAS MA
DIHAMU mulai tampak.
Suara ketak-ketuk dari pijakan kakinya disambut
hentakan papan penyisir benang saat benang empat warna rampung disisip,
dan disemarakkan gerak taropong—sejenis jarum raksasa khusus untuk tenun
ulos Batak—yang melesat bolak-balik di antara benang kanvas menjadi
tontonan asyik.
Bekerja serius membikin Rosmina lupa waktu. Hingga pukul setengah tiga sore, ia belum juga santap siang. Ia baru menyelesaikan separuh bagian. Gulungan ulos di kayu pejal di bagian bawah latar, tampak mulai rapat-padat. Tampak ia butuh konsentrasi untuk menyusun pola-pola motif yang sesuai dengan desain ulos Ragi Hotang.
Meski belum makan, semangat Rosmina tak merosot. Makin menanjak sore, pengunjung kian ramai. Ada yang sekadar melihat-lihat, ada juga yang membeli.
Sembari meladeni pertanyaan pengunjung yang penasaran, ia terus bekerja. Dua potografer koran lokal tak mau ketinggalan. Mereka berlomba mengabadikan keseriusan Rosmina menyelamatkan karya budaya asli Sumatera Utara ini dalam beberapa frame poto.
Wanita yang sudah 20 tahun menggeluti dunia tenun ini menuturkan, ulos hingga hari ini kurang diminati. Hal itulah yang membuatnya susah hati. Ia melihat, ternyata ulos tenun hanya dipakai saat ada pesta-pesta adat. Selanjutnya dilemarikan.
Lebih miris lagi, ternyata kesejahteraan penenun seperti Rosmina belum terjamin. Di tempatnya bekerja, di sebuah Workshop di Jalan Pasar Merah Medan, ia diupah Rp 1,4 juta per bulan. Padahal, harga ulos tenun ukuran panjang dua meter minimal Rp 300 ribu per helai.
Dan Rosmina bisa menenenun ulos sehelai dalam setengah hari. Benang yang dibutuhkan untuk satu ulos juga murah. “Cuma seratus ribu,” katanya.
Rosmina mengakui, ia tak lagi punya alat tenun. Sebelumnya ada satu tapi dijualnya untuk keperluan keluarga. Harga alat tenun minimal Rp 3 juta. Tentu mahal bagi Rosmina yang pendapatannya sehari tak seberapa. Sedang suaminya bekerja sebagai peniup seruling di pesta-pesta adat Batak di Medan. “Order musik juga jarang,” sambungnya,”jadi kami belajar mencukupkan diri.”
Saat mendengar kabar dari Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IX Sumut-Aceh, Hari Utomo bahwa BI melirik tenun ulos, ia sangat gembira. “Tahun ini, kita akan buka bengkel tenun,” ujar Utomo. “Tepatnya,” sambung Suti Masniari Nasution, Divisi Ekonomi Moneter Khususnya Pemberdayaan sektor Riil dan UKM BI Sumut, “akhir triwulan ketiga.”
Bengkel atau sekolah tenun gratis ini diperuntukkan bagi para pengrajin dan orang yang berminat menenun. “Siapa saja boleh asal berkomitmen untuk memproduksi ulos tenun secara rutin,” ujar Utomo. Workshop itu menjadi tempat pelatihan juga bagi remaja-pelajar serta bagi masyarakat awam.
Di bengkel tenun ini, pihak BI Sumut tak sekadar memproduksi ulos tenun tetapi juga melirik komodifikaso fashion dari ulos tenun. Karya komodifikasi ini diharapkan mampu makin melejitkan popularitas budaya lokal Sumut di kancah dunia sekaligus menambah nilai jual. Komodifikasi fashion yang sudah mereka pikirkan antara lain, jas, jaket, dompet, kemeja, dan tas. Seluruhnya bahannya dari kain ulos. “Gunanya,” terang Utomo, “semata demi melestarikan budaya bangsa.”
Lebih lanjut, Utomo mengatakan, alasan BI Sumut melirik kain tenun karena ingin Budaya Sumut makin terkenal dan dikenal semua orang. Ia melihat, tiap tahun permintaan karya seni hasil komodifikasi kain ulos tenun begitu deras datang dari pusat (Jakarta) bahkan luar negeri. “Kita tidak ingin momen ini diambil oleh bangsa asing.”
Komodifikasi barang dari kain tenun ulos ini memang bukan sembarangan. Hari Utomo mengakui itu. Tapi dia mengatakan, hal itu sudah mereka pikirkan. “Kita juga tidak berani melanggar hal-hal yang dianggap sakral oleh adat. Karena itu, kita terlebih dahulu akan berdiskusi, meminta pendapat dan masukan dari para penatua terhadap rencana ini,” sahutnya.
Bagi Rosmina, bengkel/workshop komodifikasi ulos tenun itu diharapkan mampu menjawab kegelisahan hatinya. Betapa berharganya kain ulos tenun. Betapa hebatnya dulu nenek moyang Batak merancangnya hingga menjadi mahakarya yang patut dilestarikan. Dan berharap BI Sumut tak sekadar menggadang-gadang isu ekonomi kreatif. Tetapi juga menjunjung hal-hal filosofis dari selembar ulos tenun.
Komentar