Oleh: Dedy Hutajulu
Tak cuma di bidang sains teknologi rupanya kita kalah unggul. Kelola serta lestari kuliner dan hasil alam pun kita turut tersungkur di hadapan bangsa asing.
Kuk gemar mengimpor masih saja melilit erat leher bangsa kita yang bertahun lamanya‘memperbudak’ kita.
Kenyataan ini mudah ditemukan di sekitar kita. Di sektor tani ini tampak mencolok. Tanah sesubur Berastagi dan seluruh wilayah Karo mestinya bisa memasok jeruk manis dalam jumlah mega yang barang kali cukup, bahkan lebih untuk dinikmati secara memadai bagi jutaan perut rakyat Sumut.
Tapi fakta bicara lain. Di mal-mal di Medan malah jeruk-jeruk impor terpapar segar mendepak jeruk-jeruk asal Brastagi dan Pacitan. Soal harga, jelas buah kita terjungkal. Anggur dan Kiwi malah menyesaki kulkas-kulkas raksasa di mal ternama di kota ini, barang kali isi kulkas kita juga dihiasi dengan buah impor.
Harganya juga menjerat leher. Sialnya, banyak pula warga kita yang meminati. Ini dilema. Anggur autum royal Australia misalnya dipatok seharga Rp 79.500 per kilo. Sedang anggur asal Afrika Selatan, seharga Rp 60 ribu. Kiwi asal Selandia Baru antara Rp 38 ribu hingga Rp 85 ribu. Tapi pembelinya, dilihat dari warna rambut, kulitnya serta perawakannya jelas-jelas pribumi.
Tak sampai di situ, apel fuji dari China yang mendominasi pasar buah di Medan, dipasang dengan harga yang kedengarannya merakyat, yakni Rp 26.500. Beda jauh dengan jeruk asal Berastagi yang cuma 20 ribu sekilo.
Sedang sunkis Pacitan cuma Rp 13.900, jeruk madu kecil Rp 15 ribu, alpukat mentega Rp 11 ribu. Tengoklah, buah-buah lokal kita, dipasarkan di bawah harga Rp 30 ribu. Sedang buah impor rata-rata di atas Rp 50 ribu.
Lebih mengherankan lagi, ternyata dari pengakuan Aslan, seorang pedagang di salah satu supermarket, membludaknya buah impor dikarenakan buah lokal sedang sepi.
Rendahnya pasokan buah lokal memberi peluang buah impor melejit tak karu-karuan. Kendati pemerintah memberlakukan pembatasan kuota impor, namun karena kebutuhan konsumsi buah tak bisa diredam maka mau tak mau permainan harga yang ditawarkan pihak asing sulit untukdielakkan.
Ini menunjukkan di bidang pertanian kita masih kalah sehingga tanah kita tak mampu memasok buah dalam jumlah cukup.
Membludaknya buah impor dan harganya yang mencekik leher menjadi satu cambuk bagi kita, bangsa yang dikarunia Tuhan, lahan subur. Jeruk, sayur, dan bunga dari Karo, Salak dari Padang Sidempuan, Rambutan dari Binjai, Durian dari Sidikalang mestinya cukup untuk menghadirkan salam sejahtera bagi Sumatera Utara. Namun, itu faktanya jauh panggang dari api.
Ini sulit diterima akal waras. Negeri limpah hasil alam se-raya Indonesia bisa inferior dalam bisnis perbuahan dari bangs asing. Kita ibarat ayam mati di lumbung padi. Apa sebab? Salah urus. Ya, negeri kita telah salah urus.
Rasa keberpihakan pada negeri ini mulai surut. Di sektor perbuahan, masyakarat kita lebih percaya pada buah impor. Pemerintah juga kurang gereget mengampanyekan cinta buah lokal. Itu ditandai dengan garis kebijakan pertanian dan perbuahan yang kurang ramah bagi petani dan masyarakat kita.
Jelas musim yang tak menentu tak bisa dijadikan kambing hitam minimnya pasokan buah lokal.
Sebab selama rasa keberpihakan pada negeri ini awet terpelihara, bukan tidak mungkin petani kita bisa menggarap lahan yang bisa menumbuhkan tanaman berbuah manis dan ranum.
Bukan tidak mungkin pula, rak-rak dan etalase mal-mal, bahkan juga kulkas-kulkas di rumah kita sesak dengan buah lokal.
Tapi apa boleh dikata, ketidakberpihakan itu telah menjadi bumerang. Pemerintah kurang memberi perhatian terhadap petani buah, kurang mengahrahai hasil tani serta pangsa pasar kita tak terjaga rapi dan ketat sehingga harga buah kita terbilang inferior dari buah impor sekalipun dari segi mutu kita tidak kalah unggul.
Jika hal ini terus berlanjut, pasar buah kita bakal lesu dan sektor perbuahan kita bisa benar-benar mati.
Ini harus segera diantisipasi. Pemerintah mesti berpihak pada petani buah dengan memberikan suntikan semangat agar terus mengelola-menggarap lahan pertanian sehingga produksi buah lokal tetap memadai dan harga pasar terjaga.
Keberpihakan pada petani juga bisa dilakukan dengan penyediaan bibit, pupuk dengan harga ramah bagi petani serta menyerap seluruh hasil ladang petani dengan harga yang bisa wajar.
Di saat bersamaan suntikan semangat juga harus dilakukan dengan mengupayakan ekspor dan mengurangi impor, sehingga petani bisa berlega hati atas usahanya.
Kita sebagai masyarakat penikmat buah juga mesti turut menikmati buah lokal dengan membelinya. Mesti timbul rasa bangga mengonsumsi buah dari daerah kita sendiri dan malu jika doyan makan buah impor.
Dengan begitu masing-masing kita telah berpartisipasi memajukan negeri kita. Inilah yang dinamakan keberpihakan pada Indonesia.
Tak cuma di bidang sains teknologi rupanya kita kalah unggul. Kelola serta lestari kuliner dan hasil alam pun kita turut tersungkur di hadapan bangsa asing.
Kuk gemar mengimpor masih saja melilit erat leher bangsa kita yang bertahun lamanya‘memperbudak’ kita.
Kenyataan ini mudah ditemukan di sekitar kita. Di sektor tani ini tampak mencolok. Tanah sesubur Berastagi dan seluruh wilayah Karo mestinya bisa memasok jeruk manis dalam jumlah mega yang barang kali cukup, bahkan lebih untuk dinikmati secara memadai bagi jutaan perut rakyat Sumut.
Tapi fakta bicara lain. Di mal-mal di Medan malah jeruk-jeruk impor terpapar segar mendepak jeruk-jeruk asal Brastagi dan Pacitan. Soal harga, jelas buah kita terjungkal. Anggur dan Kiwi malah menyesaki kulkas-kulkas raksasa di mal ternama di kota ini, barang kali isi kulkas kita juga dihiasi dengan buah impor.
Harganya juga menjerat leher. Sialnya, banyak pula warga kita yang meminati. Ini dilema. Anggur autum royal Australia misalnya dipatok seharga Rp 79.500 per kilo. Sedang anggur asal Afrika Selatan, seharga Rp 60 ribu. Kiwi asal Selandia Baru antara Rp 38 ribu hingga Rp 85 ribu. Tapi pembelinya, dilihat dari warna rambut, kulitnya serta perawakannya jelas-jelas pribumi.
Tak sampai di situ, apel fuji dari China yang mendominasi pasar buah di Medan, dipasang dengan harga yang kedengarannya merakyat, yakni Rp 26.500. Beda jauh dengan jeruk asal Berastagi yang cuma 20 ribu sekilo.
Sedang sunkis Pacitan cuma Rp 13.900, jeruk madu kecil Rp 15 ribu, alpukat mentega Rp 11 ribu. Tengoklah, buah-buah lokal kita, dipasarkan di bawah harga Rp 30 ribu. Sedang buah impor rata-rata di atas Rp 50 ribu.
Lebih mengherankan lagi, ternyata dari pengakuan Aslan, seorang pedagang di salah satu supermarket, membludaknya buah impor dikarenakan buah lokal sedang sepi.
Rendahnya pasokan buah lokal memberi peluang buah impor melejit tak karu-karuan. Kendati pemerintah memberlakukan pembatasan kuota impor, namun karena kebutuhan konsumsi buah tak bisa diredam maka mau tak mau permainan harga yang ditawarkan pihak asing sulit untukdielakkan.
Ini menunjukkan di bidang pertanian kita masih kalah sehingga tanah kita tak mampu memasok buah dalam jumlah cukup.
Membludaknya buah impor dan harganya yang mencekik leher menjadi satu cambuk bagi kita, bangsa yang dikarunia Tuhan, lahan subur. Jeruk, sayur, dan bunga dari Karo, Salak dari Padang Sidempuan, Rambutan dari Binjai, Durian dari Sidikalang mestinya cukup untuk menghadirkan salam sejahtera bagi Sumatera Utara. Namun, itu faktanya jauh panggang dari api.
Ini sulit diterima akal waras. Negeri limpah hasil alam se-raya Indonesia bisa inferior dalam bisnis perbuahan dari bangs asing. Kita ibarat ayam mati di lumbung padi. Apa sebab? Salah urus. Ya, negeri kita telah salah urus.
Rasa keberpihakan pada negeri ini mulai surut. Di sektor perbuahan, masyakarat kita lebih percaya pada buah impor. Pemerintah juga kurang gereget mengampanyekan cinta buah lokal. Itu ditandai dengan garis kebijakan pertanian dan perbuahan yang kurang ramah bagi petani dan masyarakat kita.
Jelas musim yang tak menentu tak bisa dijadikan kambing hitam minimnya pasokan buah lokal.
Sebab selama rasa keberpihakan pada negeri ini awet terpelihara, bukan tidak mungkin petani kita bisa menggarap lahan yang bisa menumbuhkan tanaman berbuah manis dan ranum.
Bukan tidak mungkin pula, rak-rak dan etalase mal-mal, bahkan juga kulkas-kulkas di rumah kita sesak dengan buah lokal.
Tapi apa boleh dikata, ketidakberpihakan itu telah menjadi bumerang. Pemerintah kurang memberi perhatian terhadap petani buah, kurang mengahrahai hasil tani serta pangsa pasar kita tak terjaga rapi dan ketat sehingga harga buah kita terbilang inferior dari buah impor sekalipun dari segi mutu kita tidak kalah unggul.
Jika hal ini terus berlanjut, pasar buah kita bakal lesu dan sektor perbuahan kita bisa benar-benar mati.
Ini harus segera diantisipasi. Pemerintah mesti berpihak pada petani buah dengan memberikan suntikan semangat agar terus mengelola-menggarap lahan pertanian sehingga produksi buah lokal tetap memadai dan harga pasar terjaga.
Keberpihakan pada petani juga bisa dilakukan dengan penyediaan bibit, pupuk dengan harga ramah bagi petani serta menyerap seluruh hasil ladang petani dengan harga yang bisa wajar.
Di saat bersamaan suntikan semangat juga harus dilakukan dengan mengupayakan ekspor dan mengurangi impor, sehingga petani bisa berlega hati atas usahanya.
Kita sebagai masyarakat penikmat buah juga mesti turut menikmati buah lokal dengan membelinya. Mesti timbul rasa bangga mengonsumsi buah dari daerah kita sendiri dan malu jika doyan makan buah impor.
Dengan begitu masing-masing kita telah berpartisipasi memajukan negeri kita. Inilah yang dinamakan keberpihakan pada Indonesia.
Komentar