Oleh: Dedy Hutajulu.
Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Sebab jawabannya menyangkut masa depannya, harapan keluarga dan perannya bagi masyarakat dan bangsanya. Bagi yang benar-benar punya cita-cita (visi) dan telah berbulat tekad, pertanyaan ini akan dijawab dengan lancar. Bagi yang setengah hati atau belum memancangkan cita-cita, pertanyaan ini benar-benar dilema.
Daud Simamora mengalami sendiri dilema itu. Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) berharap bisa membahagiakan orangtuanya lewat pekerjaannya nanti. Mahasiswa yang akhir Mei nanti resmi diwisuda jadi sarjana, mengimpikan bekerja di sektor peternakan secara wirausaha. Supaya ilmu yang digalinya selama ini di kampus bisa diaplikasikan.
Orangtua dan kerabatnya mengharapkan yang lain. Daud diminta menjadi pegawai negeri sipil (PNS), yang terang-terang bertolak belakang dengan jiwa wirausahanya. Lantas apa keputusannya?
"Bagaimanapun saya harus lebih memilih menyenangkan hati ibu saya," ujarnya. Kemudian cepat-cepat ditambahkannya, "Soalnya sudah banyak duit habis untuk menguliahkan saya. Ini waktunya balas budi. Mau tak mau saya akan melamar PNS."
Padahal, Daud punya kemampuan membuat kompos sebagaimana dipelajarunya di kampus. Bersama komunitasnya, lembaga Kompos Center USU, mereka bisa memproduksi kompos dengan mudah dan dalam jumlah banyak dari sampah-sampah yang melimpah di sekeliling kita.
"Orangtua saya lebih menyukai pekerjaan yang berdasi ketimbang yang tampak kumal. Walau pendapatan dari yang berdasi belum tentu lebih besar dari usaha kompos ini. Saya tak mau jadi anak durhaka." jawabnya.
Beda dengan Eko. Mahasiswa stambuk 2008 jurusan ilmu komputer USU ini, sejak awal mendambakan bekerja di rumah produksi software. Dia ingin berwira usaha, sehingga ilmu komputernya tersalurkan. Dia tak kepincut jadi PNS, sampai saat ini. Demi cita-citanya itu, dia bertekun belajar pemograman.
"Saya ingin membikin media belajar yang menarik lewat game komputer, sehingga anak-anak sekolah merasa asyik belajar," ucapnya.
Visi membangun pendidikan ternyata juga dirasakan Mosarina Hutabarat. Buruknya mutu pendidikan hari ini benar-benar menggelisahkan hatinya. Di hati dan benak mahasiswa Jurusan Biologi Unimed semester 8 ini, hanya ada satu cita-cita: ingin jadi dosen. Kenapa ingin jadi dosen?
"Sebab dosen itu berwibawa, intelek, berwawasan luas. Keluasan wawasan itu penting untuk memudahkan membina karakter mahasiswa." Terlebih lagi, lanjutnya, dosen berhadapan langsung dengan mahasiswa yang kelak merebut arah perubahan. Visi serupa juga membuncah dibenak Missi Magdalena. Mahasiswa Fisika semester 8 Unimed ini memilih bergerak di sektor pendidikan.
"Saya sudah bulat hati mau jadi guru. Maka sejak awal saya memperlengkapi diri, belajar banyak hal khusunya yang berkaitan dengan usaha membangun kompetensi mendidik. Jadi guru itu ya digugu dan ditiru," katanya.
Bagi Missi, PNS sama sekali tak menarik hatinya. Dia bahkan ingin segera balik ke kampungnya, Sibolga, untuk menjadi guru di sana. Dia ingin membuat perubahan di kampungnya lewat peningkatan proses belajar. Dia tahu, pendidikan di kampungnya belum pada kadar yang baik. Karena itu dia merasa perlu terlibat langsung.
Dilema soal masa depan benar-benar dialami Asrida. Saat pertanyaan di atas dialamatkan padanya, dia menyahut,
"Bingung. Saya belum tahu mau jadi apa nanti." Mahasiswa Biologi semester akhir ini belum menemukan kemana arah masa depannya sejauh ini. Dilema seperti ini harus sesegera mungkin dituntaskan. Kalau tidak, dia akan makin kebingungan ketika sudah memasuki dunia alumni, dunia yang menuntut sajian kreativitas dan inovasi.
Setelah sarjana, mau jadi apa?
Ini tantangan bagi generasi muda. Jawabannya harus disiapkan sesegera mungkin dan dimuarakan semata-mata demi masa depan Indonesia
Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Sebab jawabannya menyangkut masa depannya, harapan keluarga dan perannya bagi masyarakat dan bangsanya. Bagi yang benar-benar punya cita-cita (visi) dan telah berbulat tekad, pertanyaan ini akan dijawab dengan lancar. Bagi yang setengah hati atau belum memancangkan cita-cita, pertanyaan ini benar-benar dilema.
Daud Simamora mengalami sendiri dilema itu. Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) berharap bisa membahagiakan orangtuanya lewat pekerjaannya nanti. Mahasiswa yang akhir Mei nanti resmi diwisuda jadi sarjana, mengimpikan bekerja di sektor peternakan secara wirausaha. Supaya ilmu yang digalinya selama ini di kampus bisa diaplikasikan.
Orangtua dan kerabatnya mengharapkan yang lain. Daud diminta menjadi pegawai negeri sipil (PNS), yang terang-terang bertolak belakang dengan jiwa wirausahanya. Lantas apa keputusannya?
"Bagaimanapun saya harus lebih memilih menyenangkan hati ibu saya," ujarnya. Kemudian cepat-cepat ditambahkannya, "Soalnya sudah banyak duit habis untuk menguliahkan saya. Ini waktunya balas budi. Mau tak mau saya akan melamar PNS."
Padahal, Daud punya kemampuan membuat kompos sebagaimana dipelajarunya di kampus. Bersama komunitasnya, lembaga Kompos Center USU, mereka bisa memproduksi kompos dengan mudah dan dalam jumlah banyak dari sampah-sampah yang melimpah di sekeliling kita.
"Orangtua saya lebih menyukai pekerjaan yang berdasi ketimbang yang tampak kumal. Walau pendapatan dari yang berdasi belum tentu lebih besar dari usaha kompos ini. Saya tak mau jadi anak durhaka." jawabnya.
Beda dengan Eko. Mahasiswa stambuk 2008 jurusan ilmu komputer USU ini, sejak awal mendambakan bekerja di rumah produksi software. Dia ingin berwira usaha, sehingga ilmu komputernya tersalurkan. Dia tak kepincut jadi PNS, sampai saat ini. Demi cita-citanya itu, dia bertekun belajar pemograman.
"Saya ingin membikin media belajar yang menarik lewat game komputer, sehingga anak-anak sekolah merasa asyik belajar," ucapnya.
Visi membangun pendidikan ternyata juga dirasakan Mosarina Hutabarat. Buruknya mutu pendidikan hari ini benar-benar menggelisahkan hatinya. Di hati dan benak mahasiswa Jurusan Biologi Unimed semester 8 ini, hanya ada satu cita-cita: ingin jadi dosen. Kenapa ingin jadi dosen?
"Sebab dosen itu berwibawa, intelek, berwawasan luas. Keluasan wawasan itu penting untuk memudahkan membina karakter mahasiswa." Terlebih lagi, lanjutnya, dosen berhadapan langsung dengan mahasiswa yang kelak merebut arah perubahan. Visi serupa juga membuncah dibenak Missi Magdalena. Mahasiswa Fisika semester 8 Unimed ini memilih bergerak di sektor pendidikan.
"Saya sudah bulat hati mau jadi guru. Maka sejak awal saya memperlengkapi diri, belajar banyak hal khusunya yang berkaitan dengan usaha membangun kompetensi mendidik. Jadi guru itu ya digugu dan ditiru," katanya.
Bagi Missi, PNS sama sekali tak menarik hatinya. Dia bahkan ingin segera balik ke kampungnya, Sibolga, untuk menjadi guru di sana. Dia ingin membuat perubahan di kampungnya lewat peningkatan proses belajar. Dia tahu, pendidikan di kampungnya belum pada kadar yang baik. Karena itu dia merasa perlu terlibat langsung.
Dilema soal masa depan benar-benar dialami Asrida. Saat pertanyaan di atas dialamatkan padanya, dia menyahut,
"Bingung. Saya belum tahu mau jadi apa nanti." Mahasiswa Biologi semester akhir ini belum menemukan kemana arah masa depannya sejauh ini. Dilema seperti ini harus sesegera mungkin dituntaskan. Kalau tidak, dia akan makin kebingungan ketika sudah memasuki dunia alumni, dunia yang menuntut sajian kreativitas dan inovasi.
Setelah sarjana, mau jadi apa?
Ini tantangan bagi generasi muda. Jawabannya harus disiapkan sesegera mungkin dan dimuarakan semata-mata demi masa depan Indonesia
Komentar