
(Analisa/dedy hutajulu) MEMULUNG DEMI
ANAK: Inang Boru Pakpahan (54), warga Jalan Kangkung, Tanjung Gusta
Deliserdang memulung sisa-sisa makanan, plastik, dan kertas di tempat
pembuangan sampah di pojok kampus Unimed, Jumat (17/5) demi membantu
dana kuliah anaknya. Fren Silaban (30), nama anak semata wayangnya, saat
ini sedang kuliah S2 di UGM Bandung. Kalau tak ada aral melintang bakal
wisuda Juli 2013 nanti.
Oleh: Dedy Hutajulu
Oleh: Dedy Hutajulu
Demi
engkau, nakkku. Ibu siap banting tulang. Apa saja, akan ibu kerjakan.
Tak peduli apa kata orang. Potret ini mewakili perjuangan Inang Boru
Pakpahan (54), warga Jalan Kangkung, Tanjung Gusta, Deliserdang. Inang
ini tak mau berdiam diri di rumah.
Ia proaktif dan gigih bekerja walau yang dikerjakannya kelihatan jauh dari yang bisa kita pikirkan. Namun di balik itulah, ia justru menjulang jadi mercusuar. Inang ini, tiap hari memulung sampah. Tak heran, jika Jumat (17/5) pagi, meski gerimis, ia tetap sibuk mengumpulkan kertas-kertas plastik kresek, dan nasi sisa dari tumpukan sampah di pojok kampus Unimed.
Sisa nasi itu dikumpulkan dalam ember eks wadah cet, sedang plastik dan kertas bekas digonikan dalam tiga karung. Makanan sisa itu untuk santap sore delapan ekor ternak B2-nya, sedang plastik dan kertas bekas dijual Rp 500 per kilo. Makin banyak yang terkumpul makin banyak rejeki yang didulangnya.
Uang hasil memulung itu digunakan untuk menambah penghasilan rumah tangganya. Suaminya, marga Silaban, seorang pensiunan pegawai di Unimed. Kendati pesangon pensiunan suaminya cukup untuk membiayai kuliah anaknya, tapi Boru Pakpahan tetap tak mau tinggal diam. “Anak saya sebentar lagi S2. Dan aku ingin dia bisa cepat nikah,” ujarnya.
Tampaknya, Inang ini menghidupi sekali prinsip hidup orang Batak yaitu menyekolahkan anak setinggi-tingginya serta beranak-cucu. Bagi orang Batak, sekolah lebih penting ketimbang punya rumaha gede atau mobil mewah. Tak kurang dari Nahum Situmorang, Komposer lagu Batak bahkan pernah mengabadikan filosofi Batak ini dalam syairnya bertajuk: “Anakkonki do hamoraon di au (Anakku, harta kekayaanku).”
Nama keluarga kian menjulang (sangap-bahasa Batak) ketika anak berpendidikan tinggi, bahkan sebisa-bisanya setinggi-tingginya. Demi cita-cita menyekolahkan anak sampai level tertinggi itulah, Inang Boru Pakpahan rela beternak B2 serta memulung, supaya ketika anaknya kuliah tak terganggu oleh ketiadaan dana.
Inang ini tak ingin cita-cita anaknya kandas di tengah jalan. Selain bisa buruk bagi anaknya, juga buruk bagi keluarganya. Dan rumusan serupa berlaku untuk hal positif. Jika itu baik-berguna bagi anaknya, baik berguna pula bagi keluarganya.
Upaya menjaga nama baik keluarga serta perwujudan cita-cita selalu menjadi pertaruhan bagi orangtua manapun, termasuk Batak, meski cara melakoninya berbeda. Iang ini misalnya, yang terampil beternak, maka beternaklah yang dilakoninya. Lain orang lain pula potensi dan kapasitasnya.
Namun, pada posisis Inang Boru Pakpahan, bagi banyak orang ini bukan hal biasa dan mudah. Tak banyak diantara kita mau terjun ke sarang-sarang sampah demi memberi dukungan ke anak kandung sendiri.
Pekerjaan ini menuntut pertaruhan ego dan harga diri, bagi banyak orang. “Gaji suamiku bukan tidak cukup untuk menguliahkan anak kami,” ucapnya, lalu cepat-cepat ditambahkannya, “tapi aku tak ingin diam di rumah.”
Sikap tak sudi “diam di rumah,” yang ditunjukkan inang Boru Pakpahan ini mendepak jauh-jauh prinsip bermalas-malasan dan menepis segala stigma dan cibiran. Baginya, menjunjung anak setinggi-tingginya selagi tenaga masih lekat di tubuhnya adalah ideal orangtua.
Demi ideal itu pula, ia nyalakan hati dan pikirnya, proaktif bekerja. Semua itu dilakukan demi hadirnya salam sejahtera bagi buah hatinya yang saat ini jauh dari pelupuk mata
Ia proaktif dan gigih bekerja walau yang dikerjakannya kelihatan jauh dari yang bisa kita pikirkan. Namun di balik itulah, ia justru menjulang jadi mercusuar. Inang ini, tiap hari memulung sampah. Tak heran, jika Jumat (17/5) pagi, meski gerimis, ia tetap sibuk mengumpulkan kertas-kertas plastik kresek, dan nasi sisa dari tumpukan sampah di pojok kampus Unimed.
Sisa nasi itu dikumpulkan dalam ember eks wadah cet, sedang plastik dan kertas bekas digonikan dalam tiga karung. Makanan sisa itu untuk santap sore delapan ekor ternak B2-nya, sedang plastik dan kertas bekas dijual Rp 500 per kilo. Makin banyak yang terkumpul makin banyak rejeki yang didulangnya.
Uang hasil memulung itu digunakan untuk menambah penghasilan rumah tangganya. Suaminya, marga Silaban, seorang pensiunan pegawai di Unimed. Kendati pesangon pensiunan suaminya cukup untuk membiayai kuliah anaknya, tapi Boru Pakpahan tetap tak mau tinggal diam. “Anak saya sebentar lagi S2. Dan aku ingin dia bisa cepat nikah,” ujarnya.
Tampaknya, Inang ini menghidupi sekali prinsip hidup orang Batak yaitu menyekolahkan anak setinggi-tingginya serta beranak-cucu. Bagi orang Batak, sekolah lebih penting ketimbang punya rumaha gede atau mobil mewah. Tak kurang dari Nahum Situmorang, Komposer lagu Batak bahkan pernah mengabadikan filosofi Batak ini dalam syairnya bertajuk: “Anakkonki do hamoraon di au (Anakku, harta kekayaanku).”
Nama keluarga kian menjulang (sangap-bahasa Batak) ketika anak berpendidikan tinggi, bahkan sebisa-bisanya setinggi-tingginya. Demi cita-cita menyekolahkan anak sampai level tertinggi itulah, Inang Boru Pakpahan rela beternak B2 serta memulung, supaya ketika anaknya kuliah tak terganggu oleh ketiadaan dana.
Inang ini tak ingin cita-cita anaknya kandas di tengah jalan. Selain bisa buruk bagi anaknya, juga buruk bagi keluarganya. Dan rumusan serupa berlaku untuk hal positif. Jika itu baik-berguna bagi anaknya, baik berguna pula bagi keluarganya.
Upaya menjaga nama baik keluarga serta perwujudan cita-cita selalu menjadi pertaruhan bagi orangtua manapun, termasuk Batak, meski cara melakoninya berbeda. Iang ini misalnya, yang terampil beternak, maka beternaklah yang dilakoninya. Lain orang lain pula potensi dan kapasitasnya.
Namun, pada posisis Inang Boru Pakpahan, bagi banyak orang ini bukan hal biasa dan mudah. Tak banyak diantara kita mau terjun ke sarang-sarang sampah demi memberi dukungan ke anak kandung sendiri.
Pekerjaan ini menuntut pertaruhan ego dan harga diri, bagi banyak orang. “Gaji suamiku bukan tidak cukup untuk menguliahkan anak kami,” ucapnya, lalu cepat-cepat ditambahkannya, “tapi aku tak ingin diam di rumah.”
Sikap tak sudi “diam di rumah,” yang ditunjukkan inang Boru Pakpahan ini mendepak jauh-jauh prinsip bermalas-malasan dan menepis segala stigma dan cibiran. Baginya, menjunjung anak setinggi-tingginya selagi tenaga masih lekat di tubuhnya adalah ideal orangtua.
Demi ideal itu pula, ia nyalakan hati dan pikirnya, proaktif bekerja. Semua itu dilakukan demi hadirnya salam sejahtera bagi buah hatinya yang saat ini jauh dari pelupuk mata
Komentar