Langsung ke konten utama

Guru Profesional Mesti Terampil Menulis


(Analisa/Dedy Hutajulu). DISKUSI: Dua puluh guru sedang mendengarkan paparan pemateri, Dedy Hutajulu, tentang pentingnya guru menulis. Diskusi digelar di Ruang Migdal, Sibolangit, Selasa (25/6).

Oleh: Dedy Hutajulu

Selain terampil mengajar/mendidik anak, kompetensi lain yang harus dimiliki guru adalah menulis. Demikian disampaikan narasumber, Dedy Hutajulu kepada 20 guru yang tergabung dalam kelompok penyuka tulisan. Diskusi dihelat di ruang Migdal, Gelora Kasih, Sibolangit, Selasa (25/6). Mahir menulis, katanya, bisa meningkatkan nilai tawar guru di dunia pendidikan.

Keuntungan lain, kepiawaian guru menulis akan membawa horizon baru bagi kazanah pendidikan kita. Guru yang terlatih menulis akan terbantu dalam mencelikkan murid-muridnya, lebih bijak dalam menggembalakan bangsa pada kemajuan, lebih kuat menghela cap "rendah minta baca-tulis" dari identitas manusia Indonesia.

Mendengar paparan narasumber, para peserta tertarik dan aktif bertanya. Etsas, satu dari peserta menanyakan apakah guru bisa menulis? “Ya, meski sulit!” sahut narasumber, “Tapi sulit bukan berarti tidak bisa.” Peserta mengaminkannya.

Dalam diskusi itu, peserta menuturkan sejumlah alasan mengapa mereka tidak menulis. Ada juga yang membukakan kendala-kendala yang mereka hadapi ketika sudah menulis, seperti menghadapi kebuntuan ide.

Namun dominan mengaku, tidak menulis karena tidak tahu teknik dasar penulisan. Mereka tak pernah dilatih. Mereka juga tidak percaya diri dengan ide/gagasannya sehingga enggan menuliskannya.
Secara jujur, mereka sadar sebagai guru mesti bisa menulis.

Mereka mengaminkan bahwa menulis ampuh menggembalakan bangsa. Daya gugah dan daya pikat tulisan mujarab untuk memandu ibu pertiwi.

Bahkan mereka juga sadar, banyak sekali hal-hal baru di kelas yang bisa mereka tuliskan. Sayang, sejauh ini media pencerahan tertua dan paling efektif ini, belum serius digeluti mereka. Mereka akui, sesibuk-sibuknya mengajar, mereka masih punya waktu luang.

Dan waktu luang itu sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk menulis. Menuliskan pengalaman mengajar harian, karakter siswa yang dihadapi, metode belajar baru, dll.

Demi meningkatkan profesionalisme, tukas narasumber, guru mesti mampu menulis jurnal refleksi. Ke depan, sesuai UU Guru dan Dosen yang menuntut profesionalitas, maka tantangan bagi guru untuk menulis menjadi kian kentara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P