Langsung ke konten utama

Sampah Inilah Kehidupan Kami



(Analisa/ferdy) NILAI JUAL: Sampah plastik dari minuman kemasan kerap menjadi pilihan para pemulung untuk dijual kembali kepenampungan barang bekas atau botot karena mempunyai nilai jual yang tinggi.


Oleh: Dedy Hutajulu

Kokok ayam menajamkan pagi baru saja rampung. Ibu Boru Damanik (43) atau Mak Jefry yang mengenakan sandal dua rupa, satu putih, satu merah jambu, tengah sibuk menyortir sampah di teras rumahnya. Dia keluarkan seluruh tumpukan karung berisi aneka sampah dari dalam rumahnya.

Tumpukan sampah itu siap untuk dipilah-pilah. Plastik ke plastik, tembaga ke tembaga, kertas-ke kertas, juga botol-botol minuman ke satu tempat. Semua dikumpulkan dalam goni tertentu. Kardus disatukan dan diikat. Begitulah aktivitas dan rutinitas harian Mak Jefry, saban pagi.

Sakin banyaknya sampah, dia bisa menghabiskan waktunya sampai empat jam hanya untuk menyotir. Padahal hasilnya nanti tidaklah seberapa.

“Hasil tolak rata-rata Rp. 300 ribu. Artinya, dalam sebulan, Mak Jefry bisa mendulang rejeki minimal Rp. 1,2 juta. "Paling-paling cuma Rp. 200 ke 300 ribu,” ujarnya.

Uang segitu hanya akan tersisa sedikit sebab akan habis untuk membayar uang sekolah anaknya, kisaran Rp. 150-200 ribu sebulan. Kalau dibandingkan dengan uang rokok pejabat, tentu saja itu tidak seberapa.

Kendati demikian, Mak Jefry tak surut hati untuk bersyukur. “Ni hamauliatehon do i sude (Kami syukuri segalanya),” ujarnya.

Setelah selesai disortir, sampah itu kemudian segera ditolak (dijual) ke tauke. Tauke sendiri akan menjemputnya. Harga sampah ini bervariasi sesuai jenisnya. Paling mahal, sampah dari tembaga. Sekilo Rp. 40 ribu, tapi ini sulit dicari. Karton cuma Rp. 1.000,- mudah mencarinya dan timbangannya juga lebih berat. Plastik-plastik termasuk botol-botol miniman mineral juga tergolong mahal, p. 4.000,- sekilo.

Mak Jefry biasanya menolak sampah, seminggu sekali, tepatnya tiap Sabtu pagi. Hasilnya sangat membantu menambah pendapatan suaminya, Pak Situmorang yang hanya sopir bus Sejahtera Transport dengan gaji tak menentu. Gaji sopir tergantung jumlah setoran.

“Kadang cuma ngasih Rp. 30 ribu. Kadang Rp. 50.000,- per hari. Kadang tak ada, kalau busnya masuk bengkel,” ujar Mak Jefry.

Kendati demikian, Mak Jefry tetap bersyukur. Sejauh ini mereka tetap sehat dan bisa terus memulung. Dari hasil memulung sampah, keluarga ini mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk membiayai uang sekolah 6 anaknya. Sampah pula yang mengantarkan Jefry, sulungnya sampai tamat SMK.

“Sampah inilah kehidupan kami,” katanya, kemudian cepat-cepat dilanjutkannya, “Jika bukan karena sampah ini, bagaimana cara kami hidup di Medan ini? Susah hidup di kota.” tukasnya.

Pilihan hidup memulung (membotot) sampah bagi keluarga Mak Jefry dimulai sejak tahun 2000. Sejak mereka hijrah dari Siantar ke kota ini. Sebelumnya, Mak Jefry bekerja menenun ulos. Karena tak lagi punya mesin tenun, belum lagi, seiring waktu usia anak-anaknya terus bertambah dan harus sekolah, seiring itu pula tanggung jawabnya makin besar.

Dia harus berjuang menyediakan dana untuk membiayai uang sekolah anak-anaknya. Mau tak mau ia harus ikut bekerja untuk menambahi pendapatan suaminya.

“Kami tak ingin anak kami sengsara seperti kami. Mereka harus lebih baik dari kami,” katanya.

Tiap sore mulai pukul 14.00 WIB, Mak Jefry harus turun ke jalanan mencari dan mengutip sampah. Lokasi Jalan Palangkaraya, Jalan Bogor, Jalan Pandu, Jalan Sutomo, Pajak Sambu, Pajak Sambas, Jalan Tamrin hingga lokasi Jalan Stasiun Kereta Api menjadi lokasi kerja Mak Jefry dan anaknya.

Mak Jefry sedikit lebih ringan dari pembotot lain. Sebab, Mak Jefry kadang tinggal mengangkut saja sampah-sampah langganannya, toko-toko China, yang sudah dikemas dalam karung-karung. Sampah itu tidak seberapa jadi mesti tutun ke jalan dan memulung supaya lebih banyak. Semakin banyak tentu semakin besar rejeki.

Mak Jefry kini tak sendiri memulung. Dia juga dibantu Linda, anaknya yang nomor dua,  kini kelas  2 SMP. Sejak kelas 3 SD, Linda sudah dibawa-bawa ibunya untuk memulung. Cara ini digunakan Mak Jefry supaya anaknya mengerti betapa hidup di kota itu, susah.

Berharap, Linda dan anaknya yang lain makin bersungguh-sungguh belajar di sekolah supaya kelak menjadi orang sukses, bukan hidup sebagai pemulung. Cita-cita Mak Jefry sederhana: anaknya tak boleh jadi pemulung.

Mak Jefry sadar, sulitnya hidup di kotalah yang memaksanya melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaan hina dina ini. Betapa tidak, keberpihakan pemerintah pada kaum miskin semiskin keluarga Mak Jefry masih rendah. Belum terlihat kiprah pemerintah menyelematkan keluarag yang beginian.

Tak heran jika Linda turut terjun ke jalanan. Dia harus kehilangan masa-masa mudanya yang indah bersama teman-temannya. Saban hari dia cuma bersua dan bercengkrama dengan sampah-sampah. Dia tak punya banyak kesempatan untuk bermain.

Sebab, tiap pulang sekolah, Linda sudah menyambangi Pajak Sambas dengan membawa goni untuk wadah sampah yang nanti bakal banyak dikumpulkannya.

Hal yang bisa membesarkan keluarga ini, ketika sampah bisa mereka kumpulkan sebanyak-banyaknya. Hal lainnya, ya ketika mendengar kabar anaknya naik kelas atau lulus UN. Tak pelak, Sabtu, (24/5) kemarin, Mak Jefry tersenyum lebar.

Apa sebab, Sulungnya, si Jefry lulus UN (Ujian Nasional). Artinya satu tanggungan sekolah berkurang. Belum lagi, baru-baru ini, Jefry sudah diterima bekerja di sebuah bengkel sepeda motor dan bergaji Rp. 35 ribu per hari.

“Jefry itu anak yang baik. Bosnya suka pada dia karena kerjanya rapi dan cekatan.”

Jefry kini bisa meringankan beban keluarganya. Mak Jefry sedikit bisa tarik nafas. Kendati demikian tantangan yang dihadapi keluarga ini masih besar. Lima anak lagi harus dibesarkan dan disekolahkan.

Perjalanan masih panjang. Namun Jefry tetap akan berjuang demi anaknya bisa lebih baik dari dirinya. Kita berharap, pemerintah ulurkan tangan mengintervensi kehidupan keluarga seperti ini, paling tidak memurahkan biaya sekolah anak-anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P