Langsung ke konten utama

Mi Balap, Penyambung Hidup Keluarga Roni dan Wahyudi

Oleh: Dedy Hutajulu

Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Rony Irwansyah (75) tak peduli. Dia sudah sibuk menggoreng di pinggir jalan. Tangannya cekatan membolak-balik potongan sayur yang menggeliat dibantai panasnya minyak goreng. Menyusul mi tiaw dan bihun jagung juga diceburkan. Telor, kecap manis dan bumbu racikannya tak ketinggalan.

Serr... Belanga berdesir. Diterpa panas pada suhu tertentu, perpaduan bahan-bahan masakan itu menghasilkan aroma nikmat. Uap melesat-lesat dari dalam belanga membawa aroma nikmat ke sekeliling. Dua pengendara yang melintas di depan Rony pun berhenti dan tergerak ingin mencoba.

“Bang, mi-nya dua!”
“Aku lima bungkus ya,” pembeli lain menimpali.
“Aku makan disini, Bang.” seorang lagi memesan. Tak lama berselang, beberapa sepeda motor merapat dan segera memesan makan.

“Sabar ya!” Begitulah Roni meladeni pelanggannya sembari tangannya sibuk menggoreng. Istrinya Salma sibuk mencuci piring-piring kotor di belakang dengan air seember. Sesekali Salma ikut membungkusi mi pesanan pembeli.

Pagi-pagi antara pukul 06.00 ke pukul 08.00 adalah waktu kerja amat sibuk bagi Rony. Di jam-jam itu, dia kerap kewalahan menghadapi permintaan pelanggannya. Dalam keadaan sibuk itu, Rony tak mengeluh. Dia malah makin bersemangat menggoreng. Sebab, di kewalahan itulah, dia menikmati hidup. Setelah pembeli merampungkan santap pagi, Rony akan meraup rupiah-rupiah yang bisa membikin senyum istrinya tambah lebar.

Kurang lebih empat tahun Roni menjalani hidup sebagai penjual mi balap. Dia banting setir ke mi balap, sejak diminta bosnya mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai buruh di gudang mobil Capella. Penyebabnya, dia sering-sering sakit,  kondisi tubuhnya tak lagi prima dan kerja tak efisien. Dia sudah berobat kemana-mana, hingga  ratusan juta uangnya habis namun tak kunjung sembuh.

Akhirnya permintaan bossnya untuk berhenti bekerja tak bisa dielakkannya lagi. Sebagai kepala keluarga, ayah dua anak ini, berusaha mencari pekerjaan lain. Dia mengamini, pandangan: jalan selalu terbuka bagi yang mau berusaha.

Tak dinyana, pamannya memberinya gerobak lengkap dengan peralatan masak. Rony yang sejak SMA sudah pintar memasak, akhirnya memilih jualan mi balap. Setelah tak lagi banting tulang sebagai buruh di gudang mobil, kesehatan Rony perlahan-lahan membaik, hingga akhirnya pulih.

Selain karena tak punya pekerjaan, alasan lain memilih menggeluti jual mi balap,  karena dia percaya, cara ini paling cepat untuk mendapatkan uang. Dia pintar masak.

Pekerjaan barunya ini cukup santai dan tidak menguras banyak tenaga. Dengan modal Rp 300 ribu, dia belanja mi, sayur, udang dan bumbu. Lalu pagi-pagi di jam-jam sarapan pagi, dia jualan di jalan arah menuju Rumah Sakit Haji, Pancing, Medan.

Hasilnya, mi balapnya ramai dirubung pembeli. Rata-rata para mahasiswa dan pekerja menjadi langganan sarapan pagi padanya. Mi balap hasil racikannya rupanya mendapat tempat di lidah pembeli. Dia senang. Yang membuat pelanggan suka, bumbunya yang khas. Roni mengatakan, ada rahasia dalam bumbu racikannya. Dia enggan membeberkannya.

Rony menuturkan, keterampilannya memasak mi diperoleh secara otodidak. Dia tak bisa memungkiri, keterampilan itu juga tak lepas dari kebiasaannya melihat ayahnya memasak sewaktu Rony masih kecil.

Dari hasil jual mi balap, dia meraup untung bersih minimal Rp 4 juta sebulan. Padahal modal beli bahan-bahan masakan cuma sekitar Rp 400 ribu perbulan. Salma, istri Rony belanja bihun jagung sebanyak 10 ball  setiap 8 hari.  Mi tiaw 4 ball per hari. Satu ball 5,6 kg.

Wahyudi, penjual mi balap lain,  juga memilih menekuni jalan hidup sebagaipenjual mi balap lantaran sempitnya lapangan kerja. “Susah cari kerja di kota,” katanya.

Warga Benteng Hulu, Titi Sewa Tembung itu, baru empat bulan menekuni pekerjaan barunya ini. Sebelumnya dia bekerja serabutan. Melihat derasnya permintaan pembeli terhadap mi balap, dia pun bersemangat. Dalam sehari, Wahyudi bisa memasak minimal 23 kg mi tiaw dan bihun. Semua bahan-bahan itu di belinya di pasar Sukarame.

Jam kerjanya juga cukup ringan, mulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 12.00. Dia mengambil tempat jualan di pinggir jalan dekat pintu masuk ke Unimed ke arah Fakultas Teknik. Pembelinya rata-rata mahasiswa dan beberapa pekerja kantoran. Wahyudi juga meraup untung bersih minimal Rp 150 per hari. Dalam sebulan pendapatannya mencapai Rp 4,5 juta. Bahkan, dia  menggaji dua karyawannya.

Rejeki penjual mi balap persis jual loak, kadang apes kadang melimpah. Bagi yang mau bekerja, sepasti Roni dan Wahyudi, selalu tersedia berkat. Makin berusaha makin dekat dengan berkat itu. Mi balap mungkin terkesan tak berkelas, karena makanan pinggir jalan, namun darinya ratusan, mungkin ribuan keluarga ternafkahi.

Komentar

aw mengatakan…
nice artikel mas:) , sangat inspiratif

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P