
(Analisa/ferdy) SIAP MEMBANTU: Palang
Merah Indonesia (PMI) harus siap membantu sebagai sukarelawan disetiap
bencana alam yang terjadi.
Oleh: Dedy Hutajulu
Pepatah ini benar. Palang Merah Indonesia (PMI) korbannya. Kini lembaga kemanusiaan ini kian tak populer bagi kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa. Tak lain, Koordinator UKMKP Unit FMIPA Unimed Debora Siregar mengakui hal tersebut.
Jumat (17/5) lalu, Debora bilang peran serta keberadaan PMI kurang diketahuinya. PMI, katanya, hanya tampak ketika ada bencana. Sikap tanggap darurat PMI ini memang diperlukan, akan tetapi tidak tiap hari bencana terjadi yang memerlukan sepak terjang tanggap darurat PMI.
Pada saat-saat tidak darurat itu, lanjutnya, idealnya PMI menggelar program seputar kesehatan yang menjangkau sampai ke pelosok desa. Aksi-aksi kemanusiaan di luar donor darah dan tanggap darurat mesti diupayakan PMI. Jika tidak, masyarakat bisa tak kenal lagi PMI.Jawaban serupa juga dilontarkan Jakob Siringo-ringo, anggota KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). “PMI itu eksklusif” ujarnya.
Ke-esklusif-an PMI itu tampak ketika hanya dikenal orang menangani donor darah. Kalau bagian lain seperti bencana, banyak organisasi dan LSM yang terlibat. “Ini karena PMI minim program yang bisa menjual dirinya ke publik.” sahutnya.
Minim Promosi
Dian, Wakil Sekretaris PMI Unimed periode 2013-2014 juga mengakui hal tersebut. PMI kurang promosi. Bahkan untuk bidang donor darah sendiri PMI masih belum kuat. Tak heran jika sampai hari ini, terlampau banyak mahasiswa enggan mendonorkan darahnya untuk kemanusiaan dengan alasan klasik, yaitu phobia jarum suntik, takut melihat darah, serta stigma “darah disedot.”
Karena klasik, persoalan tersebut kurang enak untuk dikupas seba solusinya bakal klasik pula. Kesadaranlah yang perlu dikuatkan. Sadar bahwa mendonor darah itu baik dan penting, mulia dan berfaedah.
Sejauh ini, cara menginisiasi mahasiswa agar gemar mendonor yang dilakukan PMI Unimed, kata Dian, ya dengan menggelar program donor darah massal di kampus secara rutin dua kali setahun. Kemudian berbagi informasi di media jejaring sosial.
Promosi lain, membagikan selebaran serta menggalakkan diskusi empat mata dengan sesama teman sekelas di kampus untuk menjangkau lebih banyak relawan donor darah.
Dia mengakui, di kalangan mahasiswa, niat mendonor darah masih rendah. Pasalnya dalam setahun, pihaknya cuma bisa mengumpulkan 60-68 kantong darah dari ribuan mahasiswa Unimed.
Salah satu kendalanya, program PMI di bidang bakti sosial lebih banyak ketimbang donor darah. Bakti sosial berupa pemeriksaan gizi. Sedang Menurut Friska, alumni PMI Unimed, penjaringan donor darah juga dipengaruhi kebijakan pengurus.
Jika pengurus memandang kebutuhan stok darah minim dan mendesak maka donor darah bisa dihelat. Sebaliknya, jika pengurusnya kurang respek, ya donor darah bakal jarang digelar.
Makin sering menggelar donor, makin kencang pula kampanye pentingnya mendonor. Ini berimbas pada kian mudahnya menjangkau pendonor perdana.
Sebaliknya, sulitnya mendapatkan pendonor perdana tentulah diakibatkan kurang gigihnya pengurus menjangkau mereka yang masih hijau dengan donor darah. Mahasiswa yang sadar kalau donor darah itu baik untuk kesehatan tentu tidak takut untuk mendonor. Sekiranya mereka benar-benar tahu stok darah di PMI minim, mungkin saja mahasiswa bakal tergerak hati.
Inilah tantangan PMI. Mesti bisa memperkenalkan diri ke masyarakat lewat program-program populer yang mengena di hati masyarakat sehingga makin dikenal, dan makin disayang. Jika tidak, PMI bakal menguap dari benak masyarakat.
Pepatah ini benar. Palang Merah Indonesia (PMI) korbannya. Kini lembaga kemanusiaan ini kian tak populer bagi kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa. Tak lain, Koordinator UKMKP Unit FMIPA Unimed Debora Siregar mengakui hal tersebut.
Jumat (17/5) lalu, Debora bilang peran serta keberadaan PMI kurang diketahuinya. PMI, katanya, hanya tampak ketika ada bencana. Sikap tanggap darurat PMI ini memang diperlukan, akan tetapi tidak tiap hari bencana terjadi yang memerlukan sepak terjang tanggap darurat PMI.
Pada saat-saat tidak darurat itu, lanjutnya, idealnya PMI menggelar program seputar kesehatan yang menjangkau sampai ke pelosok desa. Aksi-aksi kemanusiaan di luar donor darah dan tanggap darurat mesti diupayakan PMI. Jika tidak, masyarakat bisa tak kenal lagi PMI.Jawaban serupa juga dilontarkan Jakob Siringo-ringo, anggota KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). “PMI itu eksklusif” ujarnya.
Ke-esklusif-an PMI itu tampak ketika hanya dikenal orang menangani donor darah. Kalau bagian lain seperti bencana, banyak organisasi dan LSM yang terlibat. “Ini karena PMI minim program yang bisa menjual dirinya ke publik.” sahutnya.
Minim Promosi
Dian, Wakil Sekretaris PMI Unimed periode 2013-2014 juga mengakui hal tersebut. PMI kurang promosi. Bahkan untuk bidang donor darah sendiri PMI masih belum kuat. Tak heran jika sampai hari ini, terlampau banyak mahasiswa enggan mendonorkan darahnya untuk kemanusiaan dengan alasan klasik, yaitu phobia jarum suntik, takut melihat darah, serta stigma “darah disedot.”
Karena klasik, persoalan tersebut kurang enak untuk dikupas seba solusinya bakal klasik pula. Kesadaranlah yang perlu dikuatkan. Sadar bahwa mendonor darah itu baik dan penting, mulia dan berfaedah.
Sejauh ini, cara menginisiasi mahasiswa agar gemar mendonor yang dilakukan PMI Unimed, kata Dian, ya dengan menggelar program donor darah massal di kampus secara rutin dua kali setahun. Kemudian berbagi informasi di media jejaring sosial.
Promosi lain, membagikan selebaran serta menggalakkan diskusi empat mata dengan sesama teman sekelas di kampus untuk menjangkau lebih banyak relawan donor darah.
Dia mengakui, di kalangan mahasiswa, niat mendonor darah masih rendah. Pasalnya dalam setahun, pihaknya cuma bisa mengumpulkan 60-68 kantong darah dari ribuan mahasiswa Unimed.
Salah satu kendalanya, program PMI di bidang bakti sosial lebih banyak ketimbang donor darah. Bakti sosial berupa pemeriksaan gizi. Sedang Menurut Friska, alumni PMI Unimed, penjaringan donor darah juga dipengaruhi kebijakan pengurus.
Jika pengurus memandang kebutuhan stok darah minim dan mendesak maka donor darah bisa dihelat. Sebaliknya, jika pengurusnya kurang respek, ya donor darah bakal jarang digelar.
Makin sering menggelar donor, makin kencang pula kampanye pentingnya mendonor. Ini berimbas pada kian mudahnya menjangkau pendonor perdana.
Sebaliknya, sulitnya mendapatkan pendonor perdana tentulah diakibatkan kurang gigihnya pengurus menjangkau mereka yang masih hijau dengan donor darah. Mahasiswa yang sadar kalau donor darah itu baik untuk kesehatan tentu tidak takut untuk mendonor. Sekiranya mereka benar-benar tahu stok darah di PMI minim, mungkin saja mahasiswa bakal tergerak hati.
Inilah tantangan PMI. Mesti bisa memperkenalkan diri ke masyarakat lewat program-program populer yang mengena di hati masyarakat sehingga makin dikenal, dan makin disayang. Jika tidak, PMI bakal menguap dari benak masyarakat.
Komentar