Oleh: Dedy Hutajulu
Mendekati belokan ke arah Rumah Sakit Wesley, Jalan Setia Budi, Herman (39) mempercepat langkahnya. Di topangnya talam besar bertudungkan daun pisang di lengan kirinya. Isi talam itu tak lain, udang goreng, sate empelo, sate tahu, sate kerang, sate daging, dan telur puyu. Semuanya ditusuk pakai lidi berbahan bambu. Dagangannya masih sisa setengah talam lagi. Perjuangan masih panjang. Senja merayap makin dalam.
“Sate-sate... telor puyu...” teriaknya. Berharap ada pembeli. Dua ratus meter dari gang Berlian, dua pemuda yang duduk di gubuk kayu yang tegak di trotoar memanggilnya. Beberapa tusuk laku. Rejeki Herman pun cair.
Dia terus melangkah mencari pembeli. Lorong demi lorong dia susuri. Gang demi gang dia masuki. Perjalanan dimulai dari Simpang Pemda sintas ke Jalan Melati, lalu memblok ke Tanjungsari dan terakhir lewat Simpangpos.
Sedikitnya 20 kilometer dilalui dengan jalan kaki setiap hari. Sesekali dia duduk di pinggir jalan. Melepas penat. Tungkai kakinya terasa sakit. Tapi dia terus melangkah. Sudah tiga tahun pekerjaan ini dilakoninya.
Dulu sewaktu muda, dia sempat jadi kuli bangunan di Pancurbatu. Lima bulan lamanya. Dia hengkang karena gaji tersendat. Ia kemudian locat ke perusahaan mebel di Pasar VII Tanjung Morawa. Bekerja di perusahahan itu juga sangat tidak mengenakkan. Terpaksa ditinggalkan lagi.
Terakhir, dia memilih jualan sate asongan. Pekerjaan ini dipilihnya sebab, teramat sulit mendapatkan pekerjaan di Kota Medan. Lapangan kerja sempit. Sialnya, dia bukan lulusan universitas yang bisa menaikkan nilai tawarnya sebagai pencari kerja.
Orang-orang seperti Herman kerap dinomorduakan dalam pelamaran kerja. Kesulitan mencari kerja memaksanya harus bisa mandiri. Modalnya cuma satu. Nekad.
Dia tak punya jiwa dagang. Hanya sebuah nekad, sebuah keberanian untuk mengubah hidup. Dia mesti berjuang demi sebotol susu untuk bayinya yang baru berumur empat bulan.
Bayi bermata cantik itu, lahir prematur. Istrinya cesar di RS Grand Medistra. Biaya cesar Rp 7 juta. Tak punya Jampersal. Tak punya kartu Jamkesmas, membikin Herman keriting muka.
Istrinya juga bukan anak orang kaya. Sehari-hari cuma jadi ibu rumah tangga. Untuk mengganti biaya rumah sakit, Herman terpaksa meminjam uang ke orangtuanya (keluarganya). Pembayaran dicicil.
Kenapa tak punya Jampersal? “Tak sempat urus,” jawabnya. Sibuk jualan telah membuatnya lupa untuk urusan sepenting ini.
“Tak pernah kepikiran, anak kami bakal lahir begini, prematur dan butuh biaya besar,” ucapnya.
Herman mengatakan, siap bekerja keras demi putri semata wayangnya itu. Meski harus melangkah puluhan bahkan ratusan kilo. Meski harus banting tulang.
Dari pengakuannya, sehari keuntungan yang diperolehnya rata-rata Rp. 50.000,- Keuntungan itu jelas tak sebanding dengan lelah yang dialaminya. Hidupnya persis pasar loak. Kadang untung, kadang apes.
Rejekinya baru terkucur deras, jika bekerja lebih keras.
Rejeki tergantung usaha. Makin rajin mutar ke mana-mana, makin banyak satenya yang laku. Inilah resiko yang dihadapi para penjual sate asongan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sulitnya mencari pekerjaan juga dirasakan Alex Silalahi. Alex ini, dari kalangan terdidik. Dia lulusan Teknik Mesin Politeknik Medan. Sepuluh tahun dia menganggur. Sepuluh tahun dia merasakan celoteh tak mengenakkan dari masyarakat dan kawan-kawan. Beragam penolakan dihadapinya dari berbagai instansi perusahaan, meski dia mengantongi ijazah D4.
Pada Jobfair dua bulan lalu di Pendopo USU, dia sebar lamaran sebanyak-banyaknya. Hampir semua perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam jobfair itu disebarnya. Berharap, ada perusahaan yang melirik potensinya.
Apa yang dialami Alex dan Herman, bukti konkret kerasnya hidup di kota, bukti sulitnya mendapatkan pekerjaan di ibukota. Selain minim lapangan kerja, persoalan tingkat daya serap tenaga kerja lulusan perguruan tinggi juga jadi persoalan. Celakanya, usaha Pemko Medan untuk orang-orang seperti Herman dan Alex ini hampir tidak ada.
Hanya jargon Pemko Medan yang kedengaran membesarkan hati, tapi faktanya jauh panggang dari api. Lapangan pekerjaan baru nyaris tak pernah dibuka. Dari tahun ke tahun lulusan baru membludak. Tingkat pengangguran melonjak.
Pemko Medan mesti segera bertindak. Buka lapangan kerja baru. Jika tidak, kita akan melihat makin dalam derita rakyat. Penganggur baru bakal bermunculan. Kemiskinan baru bakal dilahirkan. Kita akan saksikan saudara-saudara kita sendiri bakal senasib dengan Alex, semenderita Herman.
Persoalan ini mestinya ditangani Pemko secara komprehensif. Mengurainya dalam program berjangka, baik panjang, menengah dan pendek. Panjang lewat peningkatan mutu pendidikan, menengah lewat penciptaan lapangan kerja baru, dan pendek bantuan keterampilan.
Penganggur dan penderitaan orang miskin memang tak gampang diubah. Bukan berarti tidak bisa. Paling tidak, angka kemiskian dan pengangguran bisa ditekan. Usaha menekan laju kemiskinan dan pengangguran ini mesti disolusikan dengan menerapkan prinsip “memberi kail.”
Mendekati belokan ke arah Rumah Sakit Wesley, Jalan Setia Budi, Herman (39) mempercepat langkahnya. Di topangnya talam besar bertudungkan daun pisang di lengan kirinya. Isi talam itu tak lain, udang goreng, sate empelo, sate tahu, sate kerang, sate daging, dan telur puyu. Semuanya ditusuk pakai lidi berbahan bambu. Dagangannya masih sisa setengah talam lagi. Perjuangan masih panjang. Senja merayap makin dalam.
“Sate-sate... telor puyu...” teriaknya. Berharap ada pembeli. Dua ratus meter dari gang Berlian, dua pemuda yang duduk di gubuk kayu yang tegak di trotoar memanggilnya. Beberapa tusuk laku. Rejeki Herman pun cair.
Dia terus melangkah mencari pembeli. Lorong demi lorong dia susuri. Gang demi gang dia masuki. Perjalanan dimulai dari Simpang Pemda sintas ke Jalan Melati, lalu memblok ke Tanjungsari dan terakhir lewat Simpangpos.
Sedikitnya 20 kilometer dilalui dengan jalan kaki setiap hari. Sesekali dia duduk di pinggir jalan. Melepas penat. Tungkai kakinya terasa sakit. Tapi dia terus melangkah. Sudah tiga tahun pekerjaan ini dilakoninya.
Dulu sewaktu muda, dia sempat jadi kuli bangunan di Pancurbatu. Lima bulan lamanya. Dia hengkang karena gaji tersendat. Ia kemudian locat ke perusahaan mebel di Pasar VII Tanjung Morawa. Bekerja di perusahahan itu juga sangat tidak mengenakkan. Terpaksa ditinggalkan lagi.
Terakhir, dia memilih jualan sate asongan. Pekerjaan ini dipilihnya sebab, teramat sulit mendapatkan pekerjaan di Kota Medan. Lapangan kerja sempit. Sialnya, dia bukan lulusan universitas yang bisa menaikkan nilai tawarnya sebagai pencari kerja.
Orang-orang seperti Herman kerap dinomorduakan dalam pelamaran kerja. Kesulitan mencari kerja memaksanya harus bisa mandiri. Modalnya cuma satu. Nekad.
Dia tak punya jiwa dagang. Hanya sebuah nekad, sebuah keberanian untuk mengubah hidup. Dia mesti berjuang demi sebotol susu untuk bayinya yang baru berumur empat bulan.
Bayi bermata cantik itu, lahir prematur. Istrinya cesar di RS Grand Medistra. Biaya cesar Rp 7 juta. Tak punya Jampersal. Tak punya kartu Jamkesmas, membikin Herman keriting muka.
Istrinya juga bukan anak orang kaya. Sehari-hari cuma jadi ibu rumah tangga. Untuk mengganti biaya rumah sakit, Herman terpaksa meminjam uang ke orangtuanya (keluarganya). Pembayaran dicicil.
Kenapa tak punya Jampersal? “Tak sempat urus,” jawabnya. Sibuk jualan telah membuatnya lupa untuk urusan sepenting ini.
“Tak pernah kepikiran, anak kami bakal lahir begini, prematur dan butuh biaya besar,” ucapnya.
Herman mengatakan, siap bekerja keras demi putri semata wayangnya itu. Meski harus melangkah puluhan bahkan ratusan kilo. Meski harus banting tulang.
Dari pengakuannya, sehari keuntungan yang diperolehnya rata-rata Rp. 50.000,- Keuntungan itu jelas tak sebanding dengan lelah yang dialaminya. Hidupnya persis pasar loak. Kadang untung, kadang apes.
Rejekinya baru terkucur deras, jika bekerja lebih keras.
Rejeki tergantung usaha. Makin rajin mutar ke mana-mana, makin banyak satenya yang laku. Inilah resiko yang dihadapi para penjual sate asongan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sulitnya mencari pekerjaan juga dirasakan Alex Silalahi. Alex ini, dari kalangan terdidik. Dia lulusan Teknik Mesin Politeknik Medan. Sepuluh tahun dia menganggur. Sepuluh tahun dia merasakan celoteh tak mengenakkan dari masyarakat dan kawan-kawan. Beragam penolakan dihadapinya dari berbagai instansi perusahaan, meski dia mengantongi ijazah D4.
Pada Jobfair dua bulan lalu di Pendopo USU, dia sebar lamaran sebanyak-banyaknya. Hampir semua perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam jobfair itu disebarnya. Berharap, ada perusahaan yang melirik potensinya.
Apa yang dialami Alex dan Herman, bukti konkret kerasnya hidup di kota, bukti sulitnya mendapatkan pekerjaan di ibukota. Selain minim lapangan kerja, persoalan tingkat daya serap tenaga kerja lulusan perguruan tinggi juga jadi persoalan. Celakanya, usaha Pemko Medan untuk orang-orang seperti Herman dan Alex ini hampir tidak ada.
Hanya jargon Pemko Medan yang kedengaran membesarkan hati, tapi faktanya jauh panggang dari api. Lapangan pekerjaan baru nyaris tak pernah dibuka. Dari tahun ke tahun lulusan baru membludak. Tingkat pengangguran melonjak.
Pemko Medan mesti segera bertindak. Buka lapangan kerja baru. Jika tidak, kita akan melihat makin dalam derita rakyat. Penganggur baru bakal bermunculan. Kemiskinan baru bakal dilahirkan. Kita akan saksikan saudara-saudara kita sendiri bakal senasib dengan Alex, semenderita Herman.
Persoalan ini mestinya ditangani Pemko secara komprehensif. Mengurainya dalam program berjangka, baik panjang, menengah dan pendek. Panjang lewat peningkatan mutu pendidikan, menengah lewat penciptaan lapangan kerja baru, dan pendek bantuan keterampilan.
Penganggur dan penderitaan orang miskin memang tak gampang diubah. Bukan berarti tidak bisa. Paling tidak, angka kemiskian dan pengangguran bisa ditekan. Usaha menekan laju kemiskinan dan pengangguran ini mesti disolusikan dengan menerapkan prinsip “memberi kail.”
Komentar