DI MALAM paling mencekam dalam kehidupan Yesus, Dia bergumul dalam doa, di Taman Getsemani. Dia sangat gentar membayangkan jalan salib yang akan dilaluinya, demi menebus dosa manusia dan dunia. Kepada tiga muridnya, Petrus, Yakobus dan Yohanes, Ia berucap, “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” (Matius 26:38).
Di bawah bayang-bayang ketakutan yang luar biasa itu, Yesus makin bersungguh-sungguh berdoa (Luk 22:44a). Penulis Lukas mendeskripsikan suasana mencekam yang dialami Yesus itu secara dramatis. “Peluhnya seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah,” tulisnya, (Lukas 22:44b). Sedang murid-muridnya (11 orang) lelap dalam tidur.
Betapa tidak, mereka sebelumnya menempuh perjalanan jauh dan mengerjakan pelayanan yang amat melelahkan sepanjang hari. Tak pelak, kantuk berat merayapi tubuh mereka. Hanya Yesus yang terjaga.
Usai berdoa, tak berapa lama, segerombolan orang berpedang dan berpentungan menangkapnya tanpa dasar yang jelas.
Atas nama agama, Dia dituduh bersalah bahkan digelandang ke meja sidang. Dia juga dipermalukan di hadapan para pemuka agama, meski tak senoktah kesalahan pun ditemukan dari-Nya.
Lebih menyedihkan lagi, Dia terluka oleh penyangkalan Petrus, murid-Nya yang paling nyaring bicara. Meski demikian, Yesus tetap melangkah ke kayu salib, tempat Dia menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa-dosa kita.
Kisah haru atas Jalan Salib sekitar lebih 2000 tahun silam itu, sesungguhnya membuktikan, Yesus rela menanggung kegelapan dan kematian yang amat sangat sadis demi memberi kita terang dan kehidupan. Dia menebus utang dosa kita, sehingga kita beroleh pengampunan dan memiliki hidup yang kekal. Pengorbanan hingga kematian-Nya di kayu salib kemudian kita rayakan sebagai Jumat Agung.
Pada hari ketiga (terhitung dari hari mati-Nya), Dia bangkit. Kebangkitan-Nya itulah yang kemudian dirayakan sebagai Paskah. Kebangkitannya, memberi jaminan bagi kita akan adanya kebangkitan daging dan hidup kekal.
Hari ini ratusan ribu bahkan jutaan Kristen di dunia merayakan Paskah, tak terkecuali Kristen Indonesia yang tersebar di Sumatera Utara. Helena Turnip, mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan (Unimed) paham betul kisah “Jalan Salib” seperti uraian di muka. Karena itu, dia merayakan Paskah dengan tulus lewat ibadah di gereja. Bagi Helena, Paskah adalah era kebangkitan bagi orang berdosa, seperti dirinya, yang percaya pada Yesus.
Bagi seorang Katholik seperti Helena, Paskah, sangat penting dan berkesan, jauh melebihi Natal. “Natal itu kelahiran Yesus, tapi Paskah adalah tindakan nyata Yesus yang rela berkorban menebus dosa-dosa saya,” ujarnya. Dengan kesadaran itu, Helena rela hati menjalani puasa sebelum hari H, Paskah.
Dia juga bergairah ibadah sejak Rabu Abu, Kamis Putih ke Jumat Agung diteruskan ke Sabtu Kemenangan, hingga Minggu Paskah. Dia mengaku benar-benar menghayati ibadah yang dikemas dengan lagu-lagu bertemakan pengorbanan Yesus Kristus.
“Semacam meditasi,” ujarnya. Kisah-kisah perjalanan Isa mulai dari Getsemani sampai ke Bukit Kalvari sungguh menyentuh hatinya.
Seorang Katolik lain, Artha Nainggolan, mahasiswa jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Unimed mengutarakan, pengorbanan Yesus Kristus dalam Paskah sesuatu yang sangat besar, sangat agung. Karena itu, di momen paskah ini, Artha memilih berefleksi diri atas segala yang telah diperbuatnya dan menginsyafi segala dosa dan kesalahannya.
Artha berhasrat ingin memaknai pengorbanan Yesus dengan perbuatan-perbuatan baik-benar. Tak cukup hanya sekadar tidak melakukan dosa, tetapi lebih dari itu, dia ingin mengerjakan setiap hal yang dikehendaki Yesus untuk diperbuat di tengah bangsa ini. Dan perbuatan itu semata-mata sebagai luapan kasih, buah dari pertobatan, tanpa pamrih.
Kemauan manusia untuk bangkit dari kejatuhannya dalam dosa itulah, terang Artha, menjadi tantangan dalam memaknai Paskah. Pasalnya, manusia di era sekarang kerap jatuh ke lubang dosa yang sama, bahkan berulang kali.
Mestinya, katanya, manusia sadar diri, Yesus telah berkorban bagi kita. Dia terpaku, hingga meregang nyawa di kayu salib, Menyadari arti pengorbanan dan kasih sesempurna itu, patutlah kita bangkit dari keterpurukan dan mulai berkiprah demi kebenaran da kebaikan.
Sri Helena Tarigan, seorang Kristen Protestan yang juga mahasiswa Unimed menambahkan, melalui Paskah kali ini, kita jangan pernah menggantikan kebangkitan Yesus dengan apapun juga, entah itu uang, jabatan, profesi, karir, wanita/pria dan harta.
Sepasti terang yang telah diperbuat Yesus kepada hidup Helena, Artha dan Sri, maka kepada kita semua yang juga percaya pada-Nya, hendaklah merayakan Paskah dengan perbuatan kasih. Membawa terang ke sekeliling dengan tindakan-tindakan benar dan baik. Dan seperti nasihat Sri Tarigan, “Jangan pernah menggantikan Isa dengan apapun.”
Tema Paskah tahun 2013 ini diambil dari Kolose 1:18: “Ialah kepala, tubuh yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga dia yang lebih utama dalam segala sesuatu.
Komentar