Oleh: Dedy Hutajulu
UJIAN
Nasional (UN) sudah berakhir. Tidak ada yang menarik untuk dikenang
da-ri program unggulan Kemendikbud ini. Jus-tru
kekecewaan-kekesalan-kegeramanlah yang masih menghangat di dada. Banyak
pihak yang mengeluh atas helatan UN tahun ini.
Komunitas (guru) lain juga merasakannya. Sebutlah, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) turut remuk hati melihat kekacauan UN. Baik di tingkat sekolah menengah atas maupun lanjutan pertama dan sekolah dasar. Selain guru dan pihak-pihak lain (orang dewasa), rupanya siswa juga membenci UN.
Sehari sejak twitter @SBYudhoyono diluncurkan, beratus kicauan dari murid-murid yang minta UN dihapus. Keberanian siswa mengungkapkan unek-uneknya soal UN ke presiden tentu bukan perkara sepele. Itu menunjukkan selama 11 tahun ini (UN telah berlangsung) ribuan siswa telah merasa terintimidasi, tertekan oleh kebijakan UN.
Namun sikap Kemendikbud yang kukuh dan tak sudi menghapus UN yang jelas-jelas kacau balau benar-benar bikin banyak pihak gondok. Saya bisa maklumi, bagaimana perasaan siswa-siswi itu saat UN dan menerima hasil UN. Seorang siswa di Laguboti, di Sumatera Utara menuturkan, gurunya mengajari mereka mencontek saat UN. Ini keterlaluan!
Menyontek
Bukankah ini praktek yang buruk? Ya. Guru mengajarkan yang tak baik dan muridnya tak membantah hal itu. Siswa yang menyontek saat UN di depan mata gurunya dan atas restu gurunya pula. Ini benar-benar menjungkalkan filosofi pendidikan yang seharusnya menunjung tinggi kejujuran dan jiwa mendidik.
Lebih konyol lagi, saat gelaran UN tingkat SMA/SMK bahkan tingkat SMP, banyak daerah kekurangan soal. Padahal UN program pemerintah dan naskah soal rahasia negara. Tapi pelaksanaanya buruk. Sejumlah siswa di Medan dan Laguboti saya wawancarai tentang perasaan mereka saat mendengar UN di tunda, mereka panik bukan buatan. Tak sedikit pula yang hilang semangat.
Itu tandanya, siswa sejak awal sudah menganggap UN, segalanya. Ini berbahaya. Inilah kegagalan pendidikan yang fokus mengejar nilai. Apalagi UN yang menempatkan tiap daerah dalam satu parameter yang sama, jelas sistem evaluasi beginian sangat tidak fair. Sebab lain daerah lain persoalannya, lain pula mutu supra dan infrastrukturnya.
Tak Menjawab
Persoalan utama sesungguhnya terletak pada suprastruktur. Henry Widiatomo, Peneliti Utama, anggota Tim penyusun Kurikulum 2013 dari Kemendikbud saya tanya, Desember 2012 lalu, berapa anggaran untuk pelatihan guru, ia tak bisa jawab. Saya tanya pula, kapan guru-guru dilatih, ia juga tak memberi jawab.
Di sinilah letak persoalannya. UN program tahunan dan pemerintah memberi perhatian penuh dan menganggarkan dana sangat fantastis. Sayangnya, untuk program harian, yakni peningkatan mutu guru, kemendikbud setengah hati. UN dengan anggaran miliaran rupiah tapi pelatihan guru nyaris tak berjalan secara berkala bahkan jarang terdengar.
Sekiranya mutu guru sudah bagus di tiap daerah, UN takkan jadi momok. Dan jika kualitas guru merata di tiap daerah, UN takkan digugat guru dan siswa. Namun, faktanya, hari ini mutu guru di tiap daerah belum seperti yang kita harapkan. Tak heran, UN dicaci panyak pihak.
Ayolah M Nuh, Mendikbud kami yang budiman. Beri perhatian pada peningkatan mutu guru. Latih dulu guru-guru kita. Distribusikan mereka secara merata di sekujur tu-buh Nusantara. Jangan habiskan banyak ener-gi, waktu dan dana hanya untuk UN. Mari juga guru-guru, berdemolah ke pemerintah dengan seruan: "Latih kami! Latih kami!"
Komentar